TRUMP TUTUP JALUR DIPLOMATIK, CHINA ANCAM BALAS NEGARA YANG BERSEKUTU DENGAN AS


Oleh: Diaz
Jurnalis Lepas

Washington, 22 April 2025 — Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi menutup hampir seluruh jalur komunikasi diplomatik dengan China, memilih untuk berunding langsung dengan Presiden Xi Jinping di tengah memanasnya perang dagang dua negara adidaya. Langkah ini, menurut laporan Politico, mengesampingkan semua saluran diplomasi tradisional dan memicu kekhawatiran global akan dampaknya pada stabilitas ekonomi internasional.

Sementara itu, tarif tinggi yang diberlakukan Washington terhadap ekspor China mencapai 145% langsung dibalas Beijing dengan bea masuk 125% pada produk-produk AS. Namun, persoalan kini melampaui konflik bilateral. Negara-negara mitra dagang AS seperti Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan, mulai terjepit di tengah dua raksasa ekonomi yang sama-sama dominan dan saling berseberangan.


Ancaman China: Bukan Sekadar Gertakan

Beijing tak tinggal diam. Dalam pernyataan keras, China menegaskan tidak akan membiarkan negara mana pun mengambil keuntungan dari hubungan dengan AS jika itu dilakukan dengan mengorbankan kepentingan China. "Kami dengan tegas menentang pihak manapun yang mencapai kesepakatan dengan merugikan Tiongkok," tegas juru bicara Kementerian Perdagangan China.

Ancaman ini bukan gertakan kosong. Dengan peran dominannya dalam rantai pasok global dan statusnya sebagai mitra dagang utama lebih dari 60 negara, China memiliki banyak cara untuk memberikan tekanan, mulai dari pembatasan impor, penundaan investasi, hingga hambatan dagang sepihak.


Indonesia di Tengah Badai

Indonesia, yang selama ini menekankan prinsip netralitas dan perdagangan multilateral, kini berjalan di tali yang semakin tipis. Pemerintah Indonesia telah menawarkan peningkatan pembelian produk energi dan agrikultur dari AS, mulai dari LPG hingga kedelai dalam upaya menjaga hubungan baik dengan Washington. Namun, langkah ini tak lepas dari sorotan Beijing.

Meski belum ada tanggapan langsung dari China terhadap Indonesia, peringatan keras yang dilontarkan Beijing jelas berlaku umum. Pertanyaannya kini: apakah strategi netral dan pragmatis Indonesia cukup hati-hati, atau justru terlalu riskan?


Dampak Global dan Risiko Jangka Panjang

Jika China betul-betul menindak negara-negara yang dianggap “bermain aman” di dua sisi, dampaknya bisa meluas. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang masih sangat bergantung pada ekspor komoditas dan investasi asing, akan berada di garis depan risiko ekonomi.

Perang dagang ini juga memiliki ancaman merusak tatanan perdagangan global berbasis prinsip multilateral. Langkah AS yang cenderung mengarah ke negosiasi bilateral agresif melemahkan peran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan menciptakan ketidakpastian jangka panjang di pasar internasional.


Pasar Merespons Positif, Tapi Risiko Tetap Ada

Di tengah tensi ini, pasar Asia-Pasifik justru menunjukkan penguatan. Indeks Nikkei 225 Jepang naik 1,85%, Kospi Korea Selatan menguat 1,02%, dan S&P/ASX 200 Australia melonjak 1,73%. Hal ini dipicu komentar Presiden Trump bahwa tarif akhir untuk China “tidak akan mencapai 145%”, meskipun tidak akan kembali ke nol.

Optimisme ini juga terlihat di Wall Street. Dow Jones melonjak lebih dari 1.000 poin, sementara S&P 500 dan Nasdaq masing-masing naik lebih dari 2,5%. Pasar menyambut baik sinyal bahwa ketegangan dagang mungkin mereda dan bahwa Trump tidak akan mencopot Ketua The Fed Jerome Powell, sebuah keputusan yang dianggap menenangkan investor.


Dunia Menanti Langkah Selanjutnya

Meski pasar memberi sinyal positif, kenyataan geopolitik tetap rumit. Negara-negara seperti Indonesia harus menavigasi tekanan dari dua arah, menjaga akses ke pasar AS, sekaligus mempertahankan hubungan jangka panjang dengan China.

Dalam konflik yang tak lagi terbatas pada dua negara, keputusan diplomatik dan ekonomi Indonesia akan diuji secara strategis. Dunia kini menunggu: ke mana arah langkah berikutnya?

Posting Komentar

0 Komentar