TRAGEDI DI MYANMAR: GEMPA BESAR DAN SERANGAN MILITER DI TENGAH KRISIS


Oleh: Darul Iaz
Jurnalis Lepas

Mandalay, Myanmar - Myanmar tengah berduka setelah gempa dahsyat berkekuatan magnitudo 7,7 mengguncang wilayah tersebut, menyebabkan lebih dari 2.000 orang tewas dan ribuan lainnya luka-luka. Tragedi ini semakin diperparah oleh serangan udara yang dilakukan oleh junta militer di tengah upaya penyelamatan korban.

"Lebih dari 2.000 orang kini dipastikan tewas di Myanmar setelah gempa bumi terbesar melanda," demikian pernyataan resmi dari pemerintah Myanmar, dilansir CNN, Selasa (1/4/2025). Selain itu, lebih dari 3.900 orang mengalami luka-luka dan sekitar 270 orang dilaporkan hilang.

Upaya pengiriman bantuan terhambat akibat pemadaman listrik dan jaringan komunikasi yang terganggu. Selain itu, keterbatasan alat berat membuat operasi pencarian dan penyelamatan tidak berjalan optimal.

Di Mandalay, petugas penyelamat masih mencari sekitar 150 biksu yang tertimbun reruntuhan biara U Hla Thein. Sementara itu, ratusan jemaah dilaporkan tewas akibat robohnya masjid saat salat Jumat.

"Bahkan sebelum gempa bumi ini, hampir 20 juta orang di Myanmar sudah membutuhkan bantuan kemanusiaan," kata Marcoluigi Corsi, Koordinator Kemanusiaan dan Residen PBB, menyerukan akses tanpa hambatan bagi tim bantuan.

Namun, di tengah penderitaan ini, junta militer Myanmar justru meningkatkan serangan udara ke beberapa wilayah, termasuk Sagaing dan Negara Bagian Shan. BBC Myanmar mengonfirmasi bahwa tujuh orang tewas dalam serangan udara di Naungcho, hanya tiga jam setelah gempa mengguncang.

Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews, mengecam tindakan junta militer. "Ini betul-betul keterlaluan dan tak dapat diterima," ujarnya kepada BBC. Ia menyerukan agar junta segera menghentikan semua operasi militer.

Dalam laporan terbaru, lebih dari 10.000 bangunan runtuh atau rusak parah di Myanmar bagian tengah dan barat laut. Bahkan, sebuah gedung prasekolah di distrik Mandalay runtuh, menewaskan 50 anak dan dua guru.

Di tengah upaya penyelamatan, kekhawatiran meningkat bahwa junta militer akan menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai senjata perang. "Mereka mengirimkan bantuan ke daerah-daerah yang mereka kuasai dan menolak mengirimkan bantuan ke daerah-daerah yang tidak mereka kuasai," ujar Tom Andrews.

PBB dan komunitas internasional kini menyerukan tekanan lebih besar terhadap junta militer agar menghentikan serangan dan memastikan bantuan dapat menjangkau seluruh korban gempa di Myanmar. Namun, dengan kondisi yang semakin memburuk, masa depan Myanmar masih diliputi ketidakpastian.

Posting Komentar

0 Komentar