
Oleh: Oktavia
Jurnalis Lepas
Jakarta, 17 April 2025 – Dua perempuan penyintas sirkus, Vivi Nurhidayah dan Butet, membongkar kisah kelam yang selama puluhan tahun tersembunyi di balik pertunjukan sirkus dan kemegahan Taman Safari Indonesia. Dalam tayangan investigatif Forum Keadilan TV, mereka mengungkap pengalaman hidup tanpa identitas, pendidikan, dan perlindungan hukum, sejak masa kecil mereka hingga berhasil kabur dari sistem yang mereka sebut sebagai bentuk “perbudakan modern.”
Vivi, yang pernah dikenal dengan nama Vivi Sumampau saat menjadi pemain sirkus, menyatakan bahwa ia sejak kecil diambil oleh pihak sirkus Oriental, yang kini menjadi bagian dari jaringan Taman Safari. Ia mengaku kerap disiksa, tidak diberi makan, disetrum, bahkan mendapatkan perlakuan seksual yang merendahkan. Vivi sempat dua kali mencoba kabur dari Taman Safari Cisarua. Pada pelarian pertama, ia ditemukan dan dipulangkan secara paksa oleh satpam. Ia kemudian disiksa, disetrum pada bagian tubuh vital, dan dipasung selama dua minggu dengan rantai besi.
“Saya tidur dipasung, buang air harus minta izin dulu. Kalau tidak dilepas, saya pipis di tempat,” ujar Vivi dalam wawancara tersebut.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Butet, perempuan lainnya yang juga sejak kecil tidak tahu asal-usul keluarga kandungnya. Butet menceritakan bahwa saat ia menjalin hubungan dengan salah satu karyawan, ia dipukuli hingga tulangnya retak menggunakan balok kayu karena kedapatan hamil. Ia dirantai selama dua bulan, melahirkan anak yang kemudian langsung diambil oleh pihak pemilik sirkus dan tidak pernah diberi kesempatan menyusui.
“Saya cuma lihat anak saya dari jauh. Saat dia umur dua tahun, baru ketemu lagi di basecamp Pondok Indah, itu pun dia tidak kenal saya. Anak saya pun akhirnya dijadikan pemain sirkus juga,” kata Butet.
Tiga Nama Dituding sebagai Pelaku Utama
Dalam kesaksian tersebut, mereka menyebut tiga nama sebagai dalang kekerasan dan eksploitasi yang mereka alami: Yansen Manangsang, Fran Manangsang, dan Tony Sumampau. Ketiganya merupakan pemilik Oriental Circus yang kemudian menjadi pengelola Taman Safari Indonesia.
“Kami tidak pernah digaji, tidak pernah sekolah. Dipaksa tampil, dipukul kalau tidak bisa. Bahkan teman kami, Ida, cacat permanen setelah jatuh saat latihan karena dipaksa tampil sebelum siap,” ungkap Vivi.
Laporan Sudah Ada Sejak 1997, Tapi Negara Abai?
Vivi melaporkan kasus ini ke Komnas HAM sejak 1997. Laporan tersebut direspons dengan investigasi dan dikeluarkannya rekomendasi yang menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat berupa eksploitasi anak, penyiksaan, dan pemisahan dari keluarga. Namun hingga kini, rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti secara hukum.
“Komnas HAM hanya jadi macan kertas. Mabes Polri malah menghentikan penyidikan dengan alasan kedaluwarsa,” ujar Muhammad Saleh, advokat yang mendampingi para korban.
Tuntutan Korban: Tutup Taman Safari, Bentuk Pengadilan HAM
Saat ini, para penyintas menuntut:
- Pengungkapan asal-usul identitas korban secara resmi.
- Pemeriksaan menyeluruh terhadap korban yang masih berada di dalam sistem sirkus dan Taman Safari.
- Pengadilan HAM terhadap para pelaku kekerasan.
- Pemberian ganti rugi atas penderitaan dan kerja paksa selama puluhan tahun.
Vivi dan Butet kini didampingi oleh dua advokat, Muhammad Saleh dan Happy Sebayang. Mereka menyatakan akan terus bergerak mendesak pemerintah, termasuk melalui Komisi III DPR dan Komnas HAM.
“Kalau negara tidak bisa melindungi kami, mungkin kami harus bersuara ke dunia internasional. Karena ini bukan hanya kekerasan, tapi perbudakan,” tegas Butet.
Pihak Taman Safari Membantah
Salah satu pendiri Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, akhirnya angkat bicara menanggapi tuduhan kekerasan dan eksploitasi terhadap mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). Dalam pernyataannya di Cisarua, Bogor, Tony membantah keras semua tuduhan yang dilontarkan para korban yang kini telah bersuara di media.
“Sama sekali tidak benar. Kalau memang itu benar kejadiannya, tahun 1997 itu kan ada yang melapor,” ujarnya, Rabu (16/4).
Tony juga menyatakan bahwa cerita soal penyiksaan dengan benda tajam atau logam, termasuk pemukulan hingga menyebabkan luka berat, adalah tidak masuk akal.
“Kalau dipukul pakai besi, mati mungkin. Jadi nggak benar itu. Itu suatu fitnah. Akan kami klarifikasi juga,” tegasnya.
Ia menantang para pelapor untuk menunjukkan bukti konkret kekerasan yang dituduhkan, dan menyebut bahwa para mantan pemain sirkus itu dahulu dirawat sejak bayi oleh pihak sirkus, bahkan diambil dari lingkungan prostitusi di kawasan Kalijodo, Jakarta.
“Dari bayi, masih bayi. Membesarkan mereka bukannya gampang. Ada suster yang jagain. Siapa yang mau kasih makan kamu orang dari bayi?” ujarnya.
Lebih jauh, Tony mengklaim bahwa tindakan Taman Safari saat itu justru mendapat apresiasi dari Komnas HAM.
“Ingat saya, dari Komnas HAM itu menyatakan, sudah ditampung saja sudah bagus, sehingga sehat-sehat gitu,” katanya.
Pernyataan Tony Sumampau ini menjadi bantahan resmi pertama dari pihak yang disebut dalam laporan para penyintas. Namun demikian, hingga berita ini diterbitkan, pihak Humas resmi Taman Safari Indonesia belum memberikan tanggapan institusional atau menghadirkan klarifikasi melalui forum terbuka bersama para korban.
0 Komentar