
Oleh: Dewi Ummu Syahidah
Penulis Lepas
Sudah menjadi tradisi setiap Hari Kemerdekaan dan Hari Besar Keagamaan, selalu ada remisi hukuman bagi narapidana. Dilansir dari jateng.inews.id, 31 Maret 2025 ada 84 orang narapidana di Jateng langsung bebas, dari 7.607 narapidana dari berbagai lapas dan rutan di Jateng yang menerima Remisi khusus Idul Fitri 2025.
Sebanyak 157.953 narapidana juga dapat remisi khusus dalam rangka Hari Raya Nyepi dan Idul Fitri 2025 dari Kementrian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Khusus Hari Raya Nyepi, 1.629 narapidana dan 12 anak binaan beragama Hindu memperoleh remisi, dengan 1.609 orang mendapatkan pengurangan masa hukuman, sementara narapidana yang langsung bebas setelah menerima remisi sebanyak 20 orang.
Kemudian untuk Hari Raya Idul Fitri, sebanyak 154.170 narapidana beragama Islam dapat remisi sebagian masa tahanan, sementara 908 narapidana langsung bebas setelah menerima remisi. Selain itu, terdapat 1.214 anak binaan yang mendapatkan pengurangan masa pidana, dan 20 anak binaan dibebaskan setelah menerima remisi. Pemberian remisi ini akan berlaku pada Idulfitri 1446 Hijriah, dengan tanggal yang akan ditetapkan oleh pemerintah. (Tempo.co, 31/3/2025)
Bahkan yang sempat menghebohkan adalah pemberian remisi hukuman kepada para napi koruptor 2022 lalu. Sebagaimana diberitakan, ratusan narapidana kasus tindak pidana korupsi pada 17/08/2022 lalu mendapat remisi dalam rangka Hari Kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia. Beberapa narapidana langsung mendapat remisi umum dua, yakni bebas langsung.
Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Ditjenpas Kemenkumham Thurman Hutapea menyebut ada 421 narapidana kasus korupsi menerima pengurangan masa hukuman penjara. Dari jumlah itu, empat di antaranya langsung bebas.
Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak yang berkonflik dengan hukum yang memenuhi syarat-syarat dalam peraturan perundang-undangan. Pemberian remisi dilakukan jika Narapidana memenuhi sejumlah syarat tertentu, seperti:
- Berkelakuan baik selama menjalani hukuman;
- Tidak terlibat dalam pelanggaran hukum selama menjalani hukuman;
- Tidak melarikan diri atau mencoba melarikan diri dari tempat penahanan;
- Tidak terlibat dalam kasus narkotika dan kejahatan terorisme.
Inilah yang menjadi alasan remisi terus diberikan, karena selama puluhan tahun diberlakukan dimana sejak ditetapkan tahun 1995 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) yang telah mengalami beberapa perubahan sejak diberlakukan. Dalam UU ini, remisi diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14. Sejak saat itulah berlaku remisi untuk para narapidana.
Tapi apakah pemberian remisi ini menjadi solusi atas problem kejahatan? Sama seperti amnesti, grasi, abolisi? Atau sebenarnya remisi merupakan strategi pengurangan hukuman akibat overloadnya lapas di negeri ini?
Yasonna Laoly dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, (12/6/2024), Yasonna mengatakan dari 531 rutan yang beroperasi di Indonesia kapasitas hunianny 140.424. Sementara jumlah penghuni lapas rutan saat ini sekitar 265.346. Dan overcrowded sekitar 89 persen. Menteri Hukum dan HAM pada periode lalu ini, juga menyoroti banyaknya napi dari kasus narkoba. Bahkan saking banyaknya, ia menyebut, napi dari kasus ini menjadi salah satu penyebab lapas-lapas di Indonesia overload.
Pemberian amnesti yaitu dengan menghapuskan seluruh akibat hukum pidana, termasuk status kesalahan terpidana. Juga Grasi yang hanya mengurangi atau menghapus hukuman, tanpa menghilangkan status kesalahan. Bahkan Abolisi yaitu dengan menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Sementara Remisi mengurangi masa tahanan tanpa menghapus status kesalahan. Berbagai bentuk pengurangan hukuman selalu dilakukan, pada kenyataannya problem mendasar dengan overload lapas, karena maraknya pelanggaran hukum menunjukkan bahwa hukuman dengan kurungan atau penjara sangatlah tidak efektif dalam mecegah makin banyaknya kejahatan bahkan membuat jera pun tidak.
Kejahatan Marak Akibat Liberalisme Kapitalisme Sekuler
Tak bisa menutup mata bahwa banyaknya kejahatan di negeri ini makin hari makin meningkat. Wajar jika penjara overload hingga akhirnya pemerintah harus mengotak atik regulasi untuk mencari solusi. Menuntaskan masalah napi dengan memberikan remisi juga bukan solusi sistemik atas kejahatan sistemik yang diciptakan liberalisme kapitalisme Sekuler.
Sistem hidup kita yang salah telah menjadikan manusia 'berubah' dengan makin mudahnya melakukan kemaksiatan. Liberalisme telah menjadikan manusia bebas hidup tanpa aturan. Narkoba, miras, seks bebas akhirnya dilakukan atas nama kebebasan berperilaku dan berekspresi. Akhirnya bertambah pula napi dari sektor narkoba dan sejenisnya.
Kapitalisme melahirkan para koruptor dan tindak kejahatan kriminal akibat dorongan kebebasan kepemilikan. Adanya aturan tidak membuat pelaku koruptor menurun, justru kasus korupsi makin naik tiap tahun.
Kebebasan makin terpelihara karena sekulerisme menjadi landasan kehidupan negeri ini. Agama diberi ruang hanya mengatur ibadah secara individu, sementara negara menerapkan aturan buah pemikiran manusia. Hal inilah yang tidak pernah mengurangi angka kriminalitas dan kejahatan. Karena hukum buatan manusia tidak membuat manusia tercegah melakukan kejahatan dan tak membuat jera atas hukuman kejahatan yang dilakukan.
Justru adanya lapas dan narapidana menjadi tanggungan negara untuk menghidupi mereka. Tahun 2022 saja negara menyiapkan dana 2 Triliun untuk kebutuhan pangan lapas. Untuk tahun 2025 dianggarkan sebesar Rp 15,9 triliun untuk berbagai program, termasuk untuk lapas dan rutan. Namun, anggaran tersebut akan dipotong efisiensi sebesar Rp 4,49 triliun. Artinya ada alokasi dana yang terus membesar tiap tahun seiring makin besarnya penghuni lapas.
Kejahatan yang terus meningkat pada akhirnya menjadi beban bagi negara untuk bisa mendisiplinkannya bahkan mencegah dan menghentikannya. Akan tetapi karena masalah kejahatan tak hanya satu sisi saja, yaitu dari pelakunya, lemahnya kontrol masyarakat juga makin memperparah merebaknya kejahatan. Apalagi jika negara juga abai, hukum yang diterapkan lemah tak membuat jera. Hasilnya, makin parah kejahatan dengan beragam jenisnya. Pada akhirnya, ujung dari hukuman adalah penjara, maka overload akan menjadi masalah selanjutnya.
Hanya Islam Solusi Atas Hukuman Kejahatan
Beragam kasus kejahatan dengan hukuman yang tidak menjerakan menegaskan bahwa solusi bagi permasalahan ini tidak bisa diselesaikan hanya satu aspek, melainkan harus menyeluruh, yakni secara sistemis. Ketika penerapan hukum manusia dalam sistem sekuler, liberal dan kapitalisme telah menampakkan kegagalannya mengurus urusan manusia, satu-satunya solusi adalah dengan mengganti sistem aturan yang ada yaitu menjadi sistem Islam.
Sistem sanksi dalam Islam tidak pandang bulu, melainkan adil dan tidak mengenal kompromi, apalagi jual beli hukum. Jelas, dalam hal ini remisi bukanlah solusi hakiki. Sebagai contoh dalam Islam ada hukum potong tangan bagi pencuri, berdasarkan hadis dari ‘Aisyah ra.,
“Rasulullah ﷺ memotong tangan pencuri itu yang mencuri seperempat dinar ke atas.” (HR Bukhari Muslim).
Konsep ini tidak tebang pilih dalam sistem sanksi Islam memungkinkan penerapan hukum Islam jauh dari fenomena tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hal ini sebagaimana hadis riwayat dari ‘Urwah bin Zubair ra., ia berkata bahwa Nabi saw. pernah berkhotbah dan menyampaikan,
“Sesungguhnya telah membinasakan umat sebelum kalian, ketika di antara orang-orang terpandang yang mencuri, mereka dibiarkan (tidak dikenakan hukuman). Namun, ketika orang-orang lemah yang mencuri, mereka mewajibkan dikenakan hukuman had. Demi Zat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR Bukhari Muslim).
Allah Taala telah menetapkan uqubat (hukuman) atas semua manusia secara adil, baik muslim ataupun nonmuslim. Semuanya wajib dikenai sanksi yang sama jika melakukan pelanggaran. Ini karena dalam pandangan Islam, sifat dasar manusia adalah sama, yakni sama-sama mempunyai potensi untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Di samping itu, Islam memandang uqubat (sanksi hukum) tersebut sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (kuratif). Disebut pencegah (preventif) karena dengan diterapkannya sanksi, orang lain yang akan melakukan kesalahan yang sama dapat dicegah sehingga tidak muncul keinginan untuk melakukan hal yang sama. Adapun yang dimaksud dengan pemaksa (kuratif) adalah agar orang yang melakukan kejahatan, kemaksiatan, atau pelanggaran tersebut bisa dipaksa untuk menyesali perbuatannya. Dengan begitu, akan terjadi penyesalan selama-lamanya atau tobat nasuhah. Penerapan sanksi di dunia ini bisa mencegah dijatuhkannya hukuman di akhirat.
Demikianlah, Islam mampu memberikan solusi sistemis bagi permasalahan kehidupan manusia. Obral remisi hanya sebuah solusi pragmatis produk sistem sekuler yang nyata-nyata tidak mampu menyentuh akar permasalahan atas maraknya kasus kejahatan. Demikian pula alasan penghematan anggaran bagi pemeliharaan napi dan lapas menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius memutus rantai kejahatan. Ini karena faktor-faktor lain penyebab terjadinya kejahatan juga tidak diatasi secara tuntas.
Wallahu a'lam bisshawab
0 Komentar