
Oleh: Rika Dwi Ningsih
Penulis Lepas
Maraknya kasus penahanan ijazah oleh perusahaan di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam publik. Kali ini, UD Sentosa Seal di Surabaya, Jawa Timur, menjadi pusat perhatian usai video sidak Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, viral di media sosial. Sidak tersebut direspons usai laporan mantan karyawan yang mengaku ijazahnya ditahan meski telah mengundurkan diri. Tak hanya itu, dugaan pelanggaran hak buruh lainnya pun terbongkar: pemotongan gaji saat shalat Jumat, bahkan penyekapan.
Kisah tragis ini menggambarkan wajah buram dunia kerja di Indonesia, di mana dokumen penting seperti ijazah, bahkan hak ibadah, bisa dirampas demi kepentingan korporasi. Alih-alih diberi perlindungan, para buruh justru diintimidasi, dikekang, dan dikendalikan bak budak. Ketika kapitalisme meresap pada tiap sendi kehidupan maka pengusaha merasa lebih berkuasa daripada hukum dan kemanusiaan, muncullah praktik-praktik yang menciderai nilai-nilai keadilan sosial. Dalam kapitalisme tidak ada cara halal dan haram, yang ada adalah bagaimana meraup untung sebesar-besarnya.
Ironisnya, praktik seperti ini bukan hal baru. Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto Suwarno, menyebut kasus penahanan dokumen karyawan telah lama terjadi, bahkan menyerupai modus perbudakan terhadap pekerja migran. Ijazah dijadikan alat penekan, agar pekerja tunduk tanpa banyak menuntut haknya. Ini adalah bentuk eksploitasi modern yang terang-terangan melanggar hukum negara dan prinsip hak asasi manusia.
Namun lebih dari itu, praktik ini juga bertentangan secara fundamental dengan nilai-nilai Islam. Dalam Islam, bekerja adalah bentuk ibadah, dan memperlakukan pekerja dengan adil adalah amanah besar yang harus dipenuhi. Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan bahwa pekerja adalah “saudara” dan harus diperlakukan seperti keluarga. Rasulullah bersabda,
إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ
“Saudara-saudara kalian adalah pelayan-pelayan kalian. Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaan kalian.” (HR. Al-Bukhari, no. 2545)
Bayangkan betapa jauhnya realita ini dari teladan Rasulullah. Bukan hanya hak atas upah yang layak dan tepat waktu yang dirampas, tapi juga hak dasar untuk beribadah. Di UD Sentosa Seal, shalat Jumat hanya diberi jatah 20 menit, lewat dari itu gaji dipotong. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk nyata perendahan agama dan kebebasan beribadah, hal yang bahkan dalam hukum sekuler pun dijamin oleh konstitusi.
Islam menempatkan pekerja dalam posisi terhormat. Dalam Al-Qur'an surat Al-Qashash ayat 26, putri Nabi Syu’aib berkata,
اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ
“Sesungguhnya orang yang paling baik untuk dipekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Amanah adalah pilar utama hubungan kerja. Maka, jika pengusaha menyalahgunakan kekuasaannya dengan menahan ijazah, membatasi ibadah, atau bahkan menyekap karyawan, itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah.
Rasulullah ﷺ juga bersabda,
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah, no. 2443).
Ini menunjukkan betapa besar perhatian Islam pada keadilan dalam hubungan kerja. Bukan hanya memberi upah, tapi memberikannya dengan cepat, tanpa penundaan, tanpa tekanan, tanpa manipulasi.
Apa yang terjadi di UD Sentosa Seal adalah cerminan sistem kapitalisme yang rakus dan tak manusiawi. Sistem yang menjadikan manusia sebagai roda produksi semata. Tak peduli hak, tak peduli ibadah, tak peduli martabat. Negara seolah hanya bertindak reaktif dan administratif, bukan protektif dan solutif.
Maka kita harus bertanya: sampai kapan ketidakadilan ini dibiarkan? Sampai kapan pengusaha bisa memperlakukan pekerja seperti budak, dan hukum hanya menjadi pelengkap yang tak digubris?
Islam menawarkan sistem kehidupan yang menempatkan pekerja pada posisi terhormat, dan pengusaha sebagai penanggung jawab yang amanah. Dalam sistem Islam (Khilafah), negara bertanggung jawab penuh atas perlindungan tenaga kerja, memastikan tidak ada satu pun perusahaan yang bisa memperlakukan buruh semena-mena. Negara akan bertindak tegas, bukan hanya sekadar menyarankan “tempuh jalur hukum”, tapi benar-benar memberikan keadilan yang nyata dan cepat.
Penahanan ijazah bukan hanya masalah administratif, ia adalah simbol penindasan sistemik terhadap kelas pekerja. Dalam Islam, ini adalah kezaliman, dan kezaliman tempatnya hanyalah kehancuran.
Sudah saatnya kita menolak sistem yang memungkinkan praktik seperti ini terus terjadi. Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang menjadikan kemanusiaan dan keadilan sebagai pondasi: sistem Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu A'lam Bishawab.
0 Komentar