PAJAK SEBAGAI TUMPUAN PENDAPATAN KAPITALISME


Oleh: Lilis Sumyati, S.Kep.,Ners
Pegiat Literasi

Pajak merupakan kontribusi wajib yang harus dibayar oleh setiap warga negara kepada pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara. Orang yang memiliki kewajiban tersebut disebut sebagai wajib pajak. Pajak sendiri merupakan sumber utama bagi pemerintah untuk membiayai kebutuhan masyarakat dan pembangunan nasional.

Begitupun pajak menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang dikelola untuk meningkatkan kemandirian pembiayaan bangunan. Peningkatan PAD ini sangat penting untuk menyejahterakan masyarakat daerah, termasuk di Kabupaten Bandung.

Dilansir dari laman www.ayobandung.com (27/02/2025), Kabupaten Bandung secara resmi telah meluncurkan program inovatif “Gerebeg Pajak” oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Kepala Bapenda Kabupaten Bandung, Akhmad Djohara mengatakan, program ini merupakan salah satu ikhtiar untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pajak. Langkah ini diambil sesuai arahan dari Bupati Bandung Dadang Supriatna menyusul temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menunjukkan potensi pendapatan daerah yang belum tergali atau lost potensi mencapai Rp 200 miliar. Sehingga program ini harus dimaksimalkam demi tercapainya target PAD yang direncanakan sebesar 2 triliun.


Pajak Memalak Rakyat

Pajak memang menjadi andalan pemasukan negara dalam sistem kapitalisme, maka pada dasarnya rakyatlah yang membiayai kebutuhannya sendiri. Artinya negara berlepas tangan dalam mengurus urusan kebutuhan rakyat. Dalam sistem kapitalis negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator. Wajar kalau pajak terus digenjot tanpa memperhatikan kondisi rakyat yang semakin susah. Alih-alih menyejahterakan rakyat, pada kenyataannya malah memalak rakyat.

Pemerintah merasa lost potensi ratusan miliar dari pajak dan retribusi, sementara sumber daya alam yang dikeruk dan dikuasai oleh swasta baik lokal maupun asing dibiarkan begitu saja. Sungguh ironis, seolah pemerintah memikirkan kesejahteraan rakyat, namun pada hakikatnya rakyat sendiri yang membiayai kesejahteraan mereka dengan berbagai pajak dan retribusi.

Rakyat terus saja di kejar-kejar dengan tagihan wajib pajak, akan tetapi korporasi dan asing terus mengeruk kekayaan alam yang ada di negeri ini dengan nafsu keserakahannya. Harusnya pemimpin fokus dengan harta kekayaan alam yang melimpah ruah, bukan hanya sibuk dengan pemungutan pajak kepada rakyat. Kalau saja kekayaan alam yang ada di negeri ini dikelola sendiri oleh negara, maka hasilnya akan melebihi pajak selama ini.

Beginilah, ketika negara diatur oleh sistem kapitalis yang selalu mengukur segala sesuatu demi keuntungan semata, bukan untuk kemaslahatan umat. Bahkan dalam ketidakberdayaan rakyat pun, tetap dicari celah untuk meraih keuntungan. Andai saja negara mengadopsi sistem ekonomi Islam, negara akan mengoptimalkan pengelolaan SDA dan sumber-sumber pemasukan lain sesuai ketetapan syariat yang sudah tentu cukup untuk membiayai rakyat, tanpa harus memalaknya dengan pajak.


Sumber Pendapatan Dalam Islam

Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Islam tidak akan membiarkan rakyatnya terzalimi karena pada hakikatnya seorang pemimpin itu pengurus dan pelayan rakyat. Islam akan memberikan pelayanan umum terbaik dengan tujuan demi kemaslahatan umat. Sebagaimana sabda Nabi saw.,

الإِمَامُ رَاعٍ، وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Imam (khalifah) adalah raa'in, pengurus (urusan rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya." (HR. Ahmad Bukhari)

Tidak dimungkiri bahwa dalam Islam pun dikenal adanya pajak, yang disebut dengan dharibah. Setidaknya ada tiga ketetapan syariat mengenai pajak yang berbeda dengan sistem kapitalis saat ini.

Pertama, pajak dalam Islam hanya diambil dalam keadaan genting saat kas negara kosong. Jika kondisi negara stabil, pemungutan pajak pun harus dihentikan. Berbeda dengan kondisi saat ini, pajak dipungut secara terus menerus dan tidak peduli apakah kas negara kosong atau tidak. Pajak menjadi kewajiban yang harus segera dibayarkan.

Kedua, ketika kondisi kas baitulmal kosong, negara berhak memungut pajak dari warga negara muslim. Dalam hal ini berarti nonmuslim tidak diwajibkan untuk membayar pajak. Ia juga harus dari kalangan orang kaya atau mampu sehingga tidak boleh dikenakan pada seluruh warga negara sebagaimana yang terjadi pada saat ini, mau miskin atau kaya tetap diberlakukan wajib pajak. Dengan demikian, pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman, melainkan di pandang sebagai bentuk kontribusi warga negara yang memiliki kelebihan harta atas urusan umat yang bernilai pahala dan kebaikan.

Ketiga, dalam Islam pemerintah tidak boleh sembarangan memungut pajak terhadap rakyatnya yang muslim. Pajak hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan dan tidak boleh lebih. Misalnya biaya untuk kewajiban menyantuni fakir dan miskin.

Jika dalam Baitul Mal tidak terdapat harta, atau terdapat harta namun tidak cukup untuk membiayai kewajiban syar’i itu, maka khalifah boleh mewajibkan pajak atas kaum muslimin sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syarak, ini mengutip dari pendapat Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Muqaddimat Al Dustur.


Islam Menyejahterakan

Ketika kita membandingkan konsep pajak dalam Islam dengan sistem kapitalisme, sungguh sangat berbeda. Salah satunya, dalam sistem kapitalisme pajak dibebankan kepada seluruh warga negara tanpa mengenal kaya dan miskin. Sehingga berpotensi terjadi kezaliman terhadap rakyat. Sedangkan dalam sistem Islam, meskipun beban pajak menjadi kewajiban kaum muslim, tetapi tidak semua kaum muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-muslim.

Islam dengan kegemilangannya terbukti telah menjadikan rakyatnya sejahtera. Salah satunya adalah Khalifah Umar bin Abdul Azis yang berkuasa selama 29 bulan memerintah wilayah seluas 15 juta km2, berpenduduk kurang lebih 62 juta orang (sepertiga penduduk dunia saat itu) yang sekarang setara dengan 39 negara. Dengan kepemimpinannya, beliau mampu menghasilkan nol mustahik.

Itulah keindahan ajaran Islam. Islam tidak pernah memaksakan kewajiban pajak dan menjadikannya sumber utama pemasukan negara. Negara memberikan pelayanan kepada rakyat dengan tulus demi kemaslahatan umat manusia.

Wallahu’alam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar