MENYINGKAP TOPENG KAPITALISME: KEADILAN YANG HANYA UNTUK SEGELINTIR ORANG


Oleh: Dinda Amaliana
Aktivis Muslimah

Pancasila, sebagai dasar negara, memiliki cita-cita yang luhur, salah satunya terkandung dalam sila kelima: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Secara sederhana, makna dari sila ini adalah negara wajib hadir untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan di seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Namun, sangat disayangkan bahwa cita-cita ini kerap kali hanya sebatas retorika. Dalam kenyataannya, ketimpangan ekonomi dan sosial justru semakin mencolok, baik di kota besar maupun di daerah-daerah tertinggal. Lantas, keadilan sosial macam apa yang sesungguhnya ingin diwujudkan oleh sistem ini?

Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per Februari 2025, total rekening di perbankan nasional tercatat mencapai 615,41 juta akun. Namun, hanya 1,17% dari jumlah tersebut yang menguasai hampir 90% total dana simpanan di seluruh perbankan Indonesia. Sebanyak 7,08 juta akun dengan saldo lebih dari Rp100 juta menguasai Rp7.921 triliun, yang setara dengan 88,01% dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tercatat sebesar Rp9.000 triliun. Fakta ini menggambarkan bagaimana kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat masih terperangkap dalam kemiskinan.

Fenomena ketimpangan ekonomi ini berdampak besar pada kehidupan sosial, terutama pada generasi muda. Ahmad Syauqi Soeratno, Anggota Komite III DPD RI, mengungkapkan bahwa ketimpangan ekonomi mendorong banyak anak muda untuk tergoda bekerja di luar negeri sebagai TKI ilegal. Sayangnya, banyak dari mereka yang akhirnya terjerumus dalam eksploitasi yang mengerikan, seperti dijadikan operator judi daring atau bahkan dipaksa menjual ginjal. Ini menambah daftar panjang penderitaan yang dialami oleh warga negara yang seharusnya dilindungi negara (koranbernas.id, 19/4/2025).

Kapitalisme, yang selama ini dijual sebagai sistem yang menjanjikan kebebasan dan kemakmuran bagi setiap individu, sesungguhnya adalah akar dari ketimpangan ini. Kapitalisme menekankan kebebasan kepemilikan dan persaingan pasar tanpa batasan yang jelas. Negara, dalam sistem kapitalis, hanya berfungsi sebagai regulator minimal yang tidak mengatur secara serius bagaimana kekayaan negara harus didistribusikan secara adil. Alhasil, sistem ini memberikan ruang bagi kelompok elit yang menguasai sumber daya untuk terus memperkaya diri, tanpa memperhatikan kebutuhan rakyat banyak.

Lebih parah lagi, kapitalisme membentuk pola pikir individualisme yang berlebihan, di mana orang-orang hanya berfokus pada keuntungan pribadi tanpa memperhitungkan dampak sosialnya. Sistem ini mendewakan mereka yang sukses sebagai pahlawan, sementara mereka yang terpinggirkan dianggap sebagai pihak yang gagal beradaptasi dengan pasar. Ini jelas tidak mencerminkan prinsip keadilan sosial yang sejati.

Sistem kapitalis, dengan segala kebebasannya, malah menghasilkan kesenjangan yang lebih dalam dan memiskinkan sebagian besar rakyat. Mereka yang kaya makin kaya, sementara yang miskin makin terhimpit. Di sisi lain, negara seakan tidak memiliki kapasitas atau kemauan untuk memperbaiki keadaan ini. Ketimpangan ekonomi yang terjadi adalah produk dari kebijakan ekonomi yang berpihak pada korporasi besar dan individu-individu yang telah menguasai sumber daya. Dalam sistem ini, masyarakat pun dipaksa untuk bertahan hidup dalam sistem yang tidak memberi ruang untuk tumbuh secara adil dan merata.

Namun, dalam Islam terdapat solusi komprehensif untuk masalah ini. Islam mengatur secara tegas bagaimana negara harus menjalankan sistem ekonomi, dengan fokus utama pada keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Dalam pandangan Islam, negara memiliki hak dan kewajiban untuk mengelola sumber daya alam yang ada, seperti tanah, air, hutan, dan energi, untuk kemaslahatan rakyat. Negara juga tidak memperbolehkan pemilikan individu atas kekayaan yang bersifat strategis dan vital bagi masyarakat banyak.

Salah satu langkah untuk menciptakan keadilan sosial dalam Islam adalah dengan sistem zakat. Negara wajib memungut zakat dari harta yang melebihi kebutuhan pokok individu dan menyalurkannya kepada yang berhak. Selain itu, negara harus membatasi akumulasi kekayaan pribadi, untuk memastikan bahwa kekayaan tidak terkonsentrasi hanya pada segelintir orang saja. Semua harta yang dipungut melalui zakat akan disalurkan ke baitul mal untuk kepentingan rakyat, termasuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur yang merata.

Contoh keberhasilan sistem ekonomi Islam dalam menjaga kesejahteraan rakyat dapat dilihat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa itu, tidak ditemukan satu pun rakyat yang berhak menerima zakat karena semua rakyat hidup sejahtera. Ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islam, yang mendasarkan dirinya pada prinsip keadilan dan pemerataan, dapat menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.

Dengan demikian, kapitalisme, meskipun menawarkan kebebasan ekonomi, justru menciptakan ketimpangan dan kemiskinan yang mendalam. Sebaliknya, hanya sistem ekonomi Islam yang mampu memberikan solusi jangka panjang yang efektif dalam mengatasi ketimpangan dan memastikan kesejahteraan rakyat secara adil.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar