KEKUASAAN DALAM ISLAM: AMANAH UNTUK MENEGAKKAN KEADILAN DAN MENJAGA SYARIAH


Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas

Kekuasaan dalam pandangan Islam bukanlah sekadar alat dominasi, tetapi merupakan amanah agung untuk menegakkan agama Allah dan menjaga keadilan di tengah umat manusia. Sejak awal perjuangan dakwahnya, Rasulullah ﷺ telah menyadari pentingnya kekuasaan dalam menolong agama ini. Hal itu tergambar dalam doa beliau yang diabadikan dalam al-Qur'an:

وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَٱجْعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلْطَٰنٗا نَّصِيرٗا
"Katakanlah (Muhammad), 'Ya Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar, dan berilah aku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong (agama-Mu).' " (QS. al-Isra’ [17]: 80)

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ menyadari bahwa beliau tidak memiliki daya untuk menegakkan agama ini tanpa kekuasaan (sulthân), sehingga beliau memohon kekuasaan yang dapat digunakan untuk:
  • Menolong Kitabullah (al-Qur'an);
  • Menegakkan hudud (sanksi-sanksi hukum Allah);
  • Menunaikan kewajiban-kewajiban syariat;
  • Menjaga agama dan melindungi umat.

Rasulullah ﷺ menyebut kekuasaan sebagai rahmat Allah, karena tanpanya, umat manusia akan saling menzalimi dan yang kuat akan memangsa yang lemah. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 5/111)


Dua Fungsi Utama Kekuasaan dalam Islam

  • Menegakkan Agama Islam. Rasulullah ﷺ menggunakan kekuasaan sebagai kepala negara di Madinah untuk menegakkan syariah secara kaffah, menyebarluaskan dakwah, dan melindungi umat. Kekuasaan dalam Islam adalah alat, bukan tujuan, yang dipergunakan untuk menjalankan risalah Islam.
  • Mengurus Urusan Masyarakat dengan Syariah. Negara Islam menjamin perlindungan hak setiap individu baik Muslim maupun non-Muslim melalui penerapan hukum Islam yang adil. Rasulullah ﷺ memimpin dengan prinsip bahwa penguasa adalah pelayan umat, bukan sebaliknya.


Stabilitas dalam Kekuasaan Islam

Stabilitas hanya dapat tercapai jika kekuasaan dijalankan berdasarkan syariah yang lurus dan penguasa yang bertakwa. Dalam Islam, jika terjadi perbedaan atau perselisihan antara rakyat dan penguasa, maka solusinya adalah kembali pada hukum Allah dan Rasul-Nya. Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَـٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir." (QS. an-Nisa’ [4]: 59)

Dalam Islam, Allah ﷻ menjadi panglima pembuat hukum bukan hawa nafsu penguasa atau tekanan mayoritas. Setiap kebijakan tunduk pada standar syariah, sehingga penyimpangan bisa dikoreksi melalui mekanisme amar makruf nahi mungkar.

Kekuasaan juga dijalankan dengan prinsip transparansi dan pertanggungjawaban. Bila terjadi kezaliman atau pelanggaran, rakyat memiliki hak untuk mengoreksi dan mengadili penguasa. Bahkan, jika diperlukan, Mahkamah Mazhalim dapat memberhentikan seorang pejabat atau khalifah yang dinilai tidak layak menurut syariah.


Prinsip Kepemimpinan dalam Islam

Pemimpin dalam Islam bukan hanya dituntut profesional, tetapi juga harus memiliki keimanan dan ketakwaan yang tinggi. Rasulullah ﷺ memilih Abu Bakar dan Umar sebagai pembantunya dalam pemerintahan karena keduanya dikenal adil, amanah, dan bertakwa. Hal ini menjadi teladan bagi umat Islam bahwa penguasa ideal adalah mereka yang menjalankan amanah kekuasaan dengan penuh tanggung jawab di hadapan Allah. Selain itu, dalam hal kepemimpinan ada tiga pondasi untuk penyokong kekuasaan, yaitu:
  • As-Siyaadah li asy-Syar’i (Kedaulatan di Tangan Syariah). Hukum Allah menjadi sumber hukum tertinggi. Aspirasi masyarakat harus dikendalikan oleh syariat, bukan kehendak manusia.
  • As-Sulthaan li al-Ummah (Kekuasaan dari Umat). Umat memiliki hak untuk memilih dan membaiat penguasa berdasarkan syariah.
  • Hukum Syariah sebagai Patokan. Seluruh kebijakan penguasa harus bersandar pada syariah, sehingga terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).


Kekuasaan adalah Amanah yang Berat

Kekuasaan yang dijalankan dengan zalim akan menjadi beban di akhirat. Rasulullah ﷺ memperingatkan bahwa pemimpin yang menipu rakyat akan dijauhkan dari surga. Oleh karena itu, kekuasaan hanya layak diberikan kepada mereka yang siap menegakkan keadilan dan syariah, bukan kepada pencari keuntungan duniawi. Rasulullah ﷺ bersabda:

أَوَّلُ الإِمَارَةِ مَلاَمَةٌ، وَثَانِيَهَا نَدَامَةٌ، وَثَالِثُهَا عَذَابٌ مِنَ اللَّهِ، إِلَّا مَنْ عَدَلَ
"Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan celaan, kemudian menjadi penyesalan, dan akhirnya bisa mengundang azab dari Allah, kecuali pemimpin yang adil." (HR ath-Thabarani)

Ancaman bagi Penguasa yang Menipu Rakyat:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
"Tidaklah seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ketika meninggal dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah haramkan surga baginya." (HR al-Bukhari)


Pemimpin yang Bertakwa dan Kompeten

Rasulullah ﷺ memilih pemimpin yang bertakwa dan cakap seperti Abu Bakar dan Umar sebagai contoh ideal pejabat negara. Beliau ﷺ bersabda:

وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ وَأَمَّا وَزِيرَاي مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
Pembantuku dari penduduk langit adalah Jibril dan Mikail. Adapun pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar (HR at-Tirmidzi).

Namun, meski penguasa dan pejabat adalah orang-orang pilihan, mereka tetap perlu senantiasa dibimbing dan diarahkan. Tentu agar mereka tidak melenceng dari syariat Islam. Contohnya seperti Sahabat Muadz bin Jabal ra., yang keimanan dan ketakwaannya tidak diragukan lagi, tetapi saat Rasulullah ﷺ memilih dan mengangkat Muadz ra. sebagai gubernur di Yaman, beliau tetap menasihatinya.


Muhaasabah dan Mahkamah Mazhalim

Dalam Islam, rakyat memiliki hak untuk mengoreksi penguasa. Bahkan, ada pengadilan khusus Mahkamah Mazhalim untuk menyelesaikan sengketa antara rakyat dan negara. Qadhi Mazhalim berhak membatalkan kebijakan zalim dan memberhentikan pejabat atau bahkan khalifah sekalipun, jika terbukti menyimpang dari syariah.


Penutup

Kekuasaan dalam Islam bukanlah ruang bagi kepentingan pribadi, melainkan amanah berat yang harus dijalankan berdasarkan syariah. Ia adalah sarana untuk menegakkan agama, menjaga keadilan, dan melayani umat. Maka, hanya dengan pemimpin yang bertakwa, sistem syariah yang kokoh, dan rakyat yang sadar akan hak dan kewajibannya, kekuasaan akan menjadi rahmat, bukan laknat.

Lebih dari itu, kekuasaan yang menolong agama Allah sebagaimana didoakan oleh Rasulullah ﷺ tidak akan pernah terealisasi tanpa tegaknya Khilafah sebagai institusi pelaksana syariah Islam secara total pada setiap sendi kehidupan. Hanya dalam sistem itulah hukum Allah tegak, keadilan terjamin, dan umat dipimpin menuju ridha Allah.

Wallāhu a‘lam bis-shawāb.

Posting Komentar

0 Komentar