
Oleh: Hassan Hamdan
Dialih bahasakan Gudang Opini
Perundingan antara Iran dan Amerika Serikat telah dimulai di Oman untuk mencapai kesepakatan terkait program nuklir Iran dan pencabutan sanksi terhadapnya. Iran menyatakan bahwa Amerika ingin segera mencapai kesepakatan nuklir setelah pembicaraan langka yang digelar pada Sabtu di Oman. Sementara itu, Presiden Amerika mengancam akan mengambil tindakan militer jika upaya untuk mencapai kesepakatan baru gagal. Kementerian Luar Negeri Iran menyebutkan bahwa para negosiator juga berbicara langsung selama beberapa menit dan menegaskan bahwa perundingan berlangsung dalam suasana konstruktif serta saling menghormati.
Dinamika Hubungan Iran-Amerika
Dalam membahas hubungan Iran-Amerika, penting ditegaskan bahwa Amerika sangat berhasrat mencapai kesepakatan dengan Iran terkait program nuklirnya. Keinginan ini muncul karena Amerika menyadari pentingnya peran Iran dalam melayani kepentingannya. Namun, perundingan antara kedua negara kerap berlangsung panjang, terhambat, dan menghadapi perbedaan akibat kondisi politik serta keterlibatan pihak-pihak yang terkait dengan konflik regional, sehingga memperlambat tercapainya kesepakatan.
Masa Pemerintahan Obama dan Kesepakatan Nuklir 2015
Pembicaraan tentang perundingan nuklir dengan Iran dimulai pada era Presiden Barack Obama. Saat itu, Obama berupaya mencapai kesepakatan untuk meringankan tekanan ekonomi terhadap Iran sekaligus memungkinkannya menjalankan agenda Amerika di kawasan, khususnya di Suriah yang nyaris lepas dari pengaruh Amerika akibat lemahnya rezim Bashar al-Assad. Kesepakatan akhirnya ditandatangani pada 14 Juli 2015 untuk mengaktifkan kembali peran Iran di Suriah, terutama setelah munculnya fenomena "Khilafah" yang ditentang oleh Iran.
Isu Khilafah di Suriah semakin memperumit posisi Amerika dan Barat karena mereka menyadari kekuatan ideologi tersebut dan bagaimana kehadirannya dapat menggeser pengaruh negara-negara lain. Selain itu, Amerika yang tengah dilanda berbagai krisis internal menjadi kurang efektif dalam menangani gelombang kebangkitan Islam di Suriah. Oleh karena itu, Amerika mencari sekutu regional, termasuk Iran, untuk menjadi garis depan dalam melawan pengaruh Islam tersebut. Obama bahkan menyatakan bahwa kesepakatan dengan Iran merupakan "kemajuan signifikan" selama masa pemerintahannya.
Penentangan terhadap Kesepakatan
Kesepakatan ini awalnya ditentang oleh beberapa pihak, termasuk trio Eropa (Inggris, Prancis, dan Jerman), yang sejak Revolusi Khomeini memiliki hubungan tegang dengan Iran karena revolusi tersebut didukung Amerika untuk melawan pengaruh Inggris.
Selain itu, entitas Zionis juga menentang keras. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut kesepakatan ini sebagai "kesalahan sejarah" karena dinilai memberi keuntungan bagi Iran, termasuk pencabutan sebagian sanksi sementara program nuklirnya tetap berjalan. Penentangan Israel bukan karena perbedaan ideologis dengan Iran, melainkan karena persaingan politik dalam melayani kepentingan Amerika. Israel juga tidak ingin ada kekuatan regional lain yang dominan selain dirinya, bahkan jika itu adalah sekutu dekat Amerika.
Partai Republik di Amerika juga menolak kesepakatan ini, bukan karena dianggap menguntungkan Iran, tetapi karena alasan politis. Donald Trump kemudian memutuskan untuk menarik diri dari kesepakatan pada 2018 dengan beberapa alasan:
- Alasan Partai: Trump tidak ingin Partai Demokrat mendapat pujian atas kesepakatan tersebut dan lebih memilih agar dirinya yang dianggap berhasil.
- Alasan Elektoral: Basis pendukung Partai Republik, terutama kalangan Evangelis, mendukung kebijakan pro-Israel untuk alasan ideologis dan keamanan.
- Alasan Politik: Peran Iran tidak lagi dibutuhkan seperti pada 2015 karena posisi Bashar al-Assad di Suriah sudah menguat.
Amerika ingin memperbesar permusuhan dengan Iran untuk mengalihkan perhatian dari konflik dengan Israel sekaligus memberi hukuman kepada Eropa yang memanfaatkan kesepakatan untuk membuka hubungan dagang dengan Iran, sambil mengurangi ketergantungan pada Amerika.
Kembalinya Trump ke Meja Perundingan
Setelah menarik diri dari kesepakatan, Trump kini kembali membuka perundingan dengan Iran karena beberapa alasan:
- Mengklaim Kemenangan: Ia ingin kesepakatan baru dicapai di bawah pemerintahannya.
- Membatasi Pengaruh Iran: Situasi politik di kawasan telah berubah, dan kekuatan lain kini lebih aktif melayani kepentingan Amerika.
- Memaksa Iran Meninggalkan Program Nuklir: Trump melihat kelemahan Iran setelah pembunuhan Qasem Soleimani yang tidak dibalas secara berarti, serta merosotnya pengaruh Iran di Irak, Lebanon, dan Gaza. Amerika juga berhasil menggeser perusahaan-perusahaan Eropa dari Iran dan membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan AS.
Posisi Israel
Israel, di bawah kepemimpinan Netanyahu, kini menghadapi realitas baru di Gedung Putih. Media Times of Israel melaporkan bahwa kesepakatan baru harus "secara permanen mencegah" pengembangan senjata nuklir Iran. Trump dikabarkan tidak memberi tahu Netanyahu sebelumnya tentang pembukaan kembali perundingan dengan Iran, sehingga Netanyahu harus menerima keputusan tersebut.
Kesimpulan
Iran merupakan aset penting bagi Amerika, yang telah diuji coba di Irak, Afghanistan, dan Suriah. Trump ingin Iran tunduk sepenuhnya pada kepentingan Amerika, dan tampaknya Iran bersedia, asal ada proses yang menjaga sedikit harga dirinya. Namun, jelas bahwa Iran telah menunjukkan kelemahan dan kesediaan untuk berkompromi, bahkan meninggalkan program nuklirnya, demi menghindari serangan dan tekanan lebih lanjut.
0 Komentar