INDONESIA KRISIS SOSOK PANUTAN?


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Bulan April setiap tahunnya di negara Indonesia, identik dengan peringatan hari kelahiran salah satu pahlawan nasional yaitu Raden Ajeng Kartini. Meski sudah banyak literasi yang menjelaskan sebelum Kartini, Indonesia sudah memiliki banyak perempuan hebat seperti Laksmana Mahalayati, perempuan pejuang dari Aceh yang gagah berani melawan Portugis.

Ada Cut Nya Dien yang juga berasal dari Aceh, Martha Christina Tiahahu dari Maluku dan lainnya. Banyak pula ulasan bahwa foto Kartini yang beredar hari ini merupakan upaya pembelokan sejarah oleh Belanda, yang tak ingin kaum perempuan menyadari semangat perjuangan sesungguhnya.

Kartini digambarkan lebih feminim, tidak suka kekerasan sehingga cocok menjadi pahlawan gender. Padahal, Kartini adalah sosok pembelajar yang menjelang akhir hidupnya menyadari bahwa peradaban penjajah Eropa adalah busuk, Kartini justru mengungkapkan kekaguman kepada Islam, agama yang ia anut karena menempatkan perempuan secara tepat, yaitu ibu dan pembentukan generasi.

Mirisnya, dari tahun ke tahun tidak ada upaya dari negara untuk merestorasi sejarah, sebaliknya malah mengambil manfaat dengan berbagai perayaan peringatan hari lahir Kartini tersebut. Apalagi jika bukan eksploitasi kecantikan perempuan dan mendeskreditkan peran perempuan semata hanya bernilai jika di ranah sosial dan menghasilkan uang.

Krisis sosok panutan rupanya juga melanda presiden kita, Prabowo Subianto. Pidatonya di parlemen Turki menghebohkan, ia memuji Mustafa Kemal Atatürk, presiden pertama sekaligus pendiri Republik Turki modern, bahkan mengaku di kantor dan di rumahnya memiliki patung Mustafa Kemal Ataturk.

Meski juga memuji Sultan Muhammad Al-Fatih, yang dikenal sebagai Mehmed II Sang Penakluk, tak urung menuai polemik di antara para pengguna media sosial, baik di Indonesia maupun di Turki.

Sejumlah warganet memandang Prabowo tidak memahami konteks politik internal yang tengah terjadi di Turki, pasalnya, parlemen Turki kini didominasi oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partis - AKP) yang konservatif di bawah pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdoğan, yang kerap menunjukkan sikap anti-Kemalis (pendukung Atatürk). Di sisi lain pesainganya adalah kubu pendukung Kemal yang sekuler, di bawah Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi – CHP) yang menganggap pidato Prabowo sebagai hal yang tepat karena Atatürk dan Mehmed II merupakan tokoh bangsa Turki (BBC.com,16-4-2025).

Pakar hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menilai pidato seorang kepala negara di kancah internasional seharusnya netral, menggugah, dan memahami suasana sosial, ekonomi hingga politik yang terjadi secara global. Pidato Presiden Soekarno berjudul To Build the World Anew yang ditetapkan sebagai Memory of the World oleh UNESCO dianggap Rezasyah sebagai contoh terbaik.

Menurut Rezansyah, nilai-nilai itu yang "kurang tercermin" dalam pidato Presiden Prabowo Subianto di hadapan parlemen Turki, 10 April lalu.

Masih mengenai krisis idola, Gubernur Bali, I Wayan Koster, meminta rakyat Indonesia mencontoh Israel. Negara penjajah itu dianggap makmur meski tak punya tanah. Koster menyarankan agar Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan untuk segera belajar dari Israel terkait pertanian. Menurutnya, Israel memiliki teknologi yang sangat bagus dalam pertanian, mengingat Israel tidak memiliki lahan yang subur.

Gubernur Bali dua periode itu juga menyindir kinerja Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali yang lambat dan kurang inovatif. Koster mengatakan, jika segera belajar kepada Israel, maka pangan di Bali terkait sembilan kebutuhan dasar itu cukup untuk hidup. Bahkan produktifitasnya masih bisa ditingkatkan (balinews.id, 16-4-2025).


Kapitalisme, Menjadikan Fakta tak Bersambung dengan Solusi

Siapa yang tak paham Kemal Ataturk yang secara licik bersama Inggris berusaha melenyapkan negara Khilafah? Setelah Khilafah runtuh dengan arogan mengganti azan dengan bahasa Turki, melarang muslimah mengenakan penutup aurat, bahkan mengganti sistem negara dari Khilafah menjadi Republik. Mayatnya saja tidak diterima bumi, apalagi amal ibadahnya di hadapan Allah? Ia dengan sombong menanyakan, sekarang siapa yang berkuasa, aku atau Tuhan? Nauzubillah.

Lantas, siapa pula yang tak tahu Israel siapa? Begitu buta mata hatinya, Israel yang bahkan tak punya tanah hingga ia hanya bisa menjajah dijadikan contoh. Kartini yang jelas-jelas hanya menginginkan aturan di negeri ini lebih adil kepada perempuan sebagaimana Islam menempatkan posisi perempuan sangat mulia, yang bisa ditarik kesimpulan Kartini hanya ingin syariat Islam yang mengatur kehidupan masyarakat dan negara.

Kapitalisme yang diterapkan hari inilah akar persoalannya hingga semua orang tak punya idola yang layak diidolakan, jangan tanya pula bagaimana anak muda hari ini yang begitu tergila-gila dengan K-Pop. Mereka tak lagi mengenal Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Thariq bin Ziyad dan sederet manusia utama dalam sejarah Islam yang riil, sosok bertakwa, pejuang Islam dan tangguh.

Kapitalisme hanya memandang manfaat yang tak jarang hanya mengunggulkan nafsu dan cara berpikir pragmatis. Meski dunia penuh dengan cobaan namun tak tepat juga jika kita menyelesaikan setiap cobaan itu dengan pendapat pragmatis apalagi mencontoh tokoh perusak Islam atau yang malah sejarahnya dibelokkan dan tidak berusaha tabayun (cek dan ricek).


Islam Lahirkan Sosok Berkepribadian Islam

Dari Anas Ra. bahwa ada seorang lelaki penduduk pedalaman mendatangi Nabi ﷺ lalu bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ: وَمَاذَا أَعْدَدْتَ لَهَا؟ قَالَ: مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلَاةٍ، وَلَا صِيَامٍ، وَلَا صَدَقَةٍ، وَلَكِنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، قَالَ: فَأَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
Wahai Rasulullah, kapan hari kiamat itu?” Beliau menjawab, “Apa yang telah kamu persiapkan untuknya?” Ia menjawab, “Aku tidak mempersiapkan banyak salat, puasa, ataupun sedekah, tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Beliau bersabda, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. al-Bukhari no. 3688, Muslim no. 2639)

قَالَ أَنَسٌ: فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: «فَأَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ» قَالَ أَنَسٌ: فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ ﷺ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ
Anas berkata: “Kami tidak pernah merasa gembira atas sesuatu sebagaimana kegembiraan kami terhadap sabda Nabi ﷺ: ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’ ” Lalu Anas berkata: “Aku mencintai Nabi ﷺ, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap bisa bersama mereka karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku tidak mampu melakukan amalan seperti amalan mereka.” (HR. al-Bukhari no. 3688, Muslim no. 2639)

Maka butuh batasan siapa saja yang layak menjadi panutan, agar kita tidak mendapat kecaman dari Allah ﷻ. Karena Rasûlullâh ﷺ pernah bersabda,

‏مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Dawud, no. 4031).

Bagaimana bisa seorang muslim mengidolakan sosok di luar Islam? Apalagi sosok-sosok yang dimaksud telah menghancurkan kekhilafahan Islam?

Hal ini juga berkaitan dengan pendidikan, lagi-lagi karena asasnya sekuler maka output yang dihasilkan juga sekuler, bahkan memusuhi mereka yang mencoba berdakwah mengembalikan kemuliaan Islam adalah hasil yang wajar.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan Islam, syariat Islam mewajibkan negara sebagai penerapan hukum Allah ketika berpolitik atau mengurusi masalah rakyatnya. Sehingga tidak ada asas manfaat, melainkan periayahan sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari no. 893, Muslim no. 1829).

Islam melarang mengidolakan seseorang tanpa menjadikannya sebagai inspirasi untuk tetap taat, tunduk, patuh hanya kepada Allah. Bahkan Umar pernah mengasingkan salah satu rakyatnya bernama Nashr bin Hajjah ke Basrah, hanya karena ketampanannya. Dan agar tidak menjadi fitnah bagi kaum Hawa. Setelah sebelumnya Umar memerintahkan menggunduli rambut Nashr dan menutup kepalanya dengan serban. Akhirnya, Umar mengatakan,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا تَجْتَمِعِينَ مَعِي فِي هَذِهِ الْبَلَدِ
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kamu tidak bisa bersatu denganku di negeri ini.” Kisah ini diriwayatkan Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat 3/285 dan dishahihkan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah 3/579.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar