
Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas
Allah ﷻ memberikan ujian kepada manusia dalam dua bentuk: kenikmatan dan kesulitan. Kedua hal ini adalah bentuk "ibtilā'" (ابتلاء), yaitu ujian yang berasal dari kata balā', yang berarti cobaan. Ujian tidak selalu datang dalam rupa penderitaan dan kekurangan, tetapi juga bisa hadir dalam bentuk kekayaan, kelapangan, dan kesenangan dunia.
Hal ini Allah sampaikan dengan sangat jelas dalam Surah Al-Fajr ayat 15-16:
فَأَمَّا ٱلْإِنسَـٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ١٥ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَـٰنَنِ١٦
“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: 'Tuhanku telah memuliakanku.' Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata: 'Tuhanku telah menghinakanku.' ” (QS. Al-Fajr: 15-16)
Padahal, baik kaya maupun miskin, lapang maupun sempit, semuanya adalah ujian. Hanya saja, lebih banyak orang yang lulus ketika diuji dengan kesulitan daripada mereka yang lulus dalam ujian kemewahan. Kita bisa lihat bagaimana saudara-saudara kita di Gaza, meskipun berada dalam kondisi sangat sulit, tapi justru semakin kuat keimanannya, semakin kokoh tawakalnya, dan semakin besar cintanya kepada Allah ﷻ.
Sementara itu, tak sedikit orang yang ketika diberi kemewahan justru melalaikan Allah, bahkan berpaling dari agama. Hal ini sejalan dengan kekhawatiran Nabi Muhammad ﷺ dalam sabdanya:
واللهِ ما الفقرَ أخشى عليكم، ولكنِّي أخشى أن تُبسَطَ عليكم الدنيا كما بُسِطَتْ على من كان قبلَكم، فتنافَسُوها كما تنافَسُوها، فتهلِكَكم كما أهلَكَتْهم
“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Tetapi aku khawatir dunia akan dibukakan untuk kalian sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian akan berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan dunia akan membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Harta Tidak Mengubah, Tapi Mengungkapkan Sifat Asli
Ada pepatah yang mengatakan, “Uang tidak mengubah seseorang, ia hanya mengungkap siapa orang itu sebenarnya.” Orang yang awalnya terlihat baik bisa jadi berubah ketika ia memiliki kekayaan. Namun, sejatinya bukan berubah — karakter aslinya hanya muncul ketika ia punya kesempatan dan fasilitas untuk menunjukkannya.
Contohnya, seseorang yang dulu tidak bisa maksiat karena tidak punya biaya, bisa saja ketika sudah punya uang, justru digunakan untuk foya-foya, maksiat, dan pamer. Padahal, sebelumnya ia terlihat ‘baik’ hanya karena tidak ada modal untuk berbuat buruk.
Maka dari itu, ilmu dan karakter harus ditanamkan sebelum seseorang diberi kekayaan. Sebagaimana perkataan mulia dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA:
إِذَا انتَصَرَ المَسْجِدُ عَلَى السُّوقِ فَكِلاَهُمَا يَحْيَى، وَإِذَا غَلَبَ السُّوقُ المَسْجِدَ فَكِلاَهُمَا يَمُوتُ
"Jika masjid menang melawan pasar, maka keduanya hidup. Tapi jika masjid kalah melawan pasar, maka keduanya mati."
Maksudnya, jika ilmu agama dan akhlak yang baik mengiringi aktivitas ekonomi, maka dunia dan akhirat akan sama-sama hidup dan seimbang. Tapi kalau dunia mengalahkan agama, maka keduanya akan rusak — pasar penuh tipu daya dan masjid menjadi sepi.
Uang Adalah Alat, Bukan Tujuan
Anak-anak kita harus diajarkan dari dini bahwa uang hanyalah alat, bukan tujuan hidup. Jika ia sudah punya karakter baik dan ilmu agama yang cukup, maka saat ia kaya, kekayaannya akan digunakan untuk hal-hal bermanfaat: berdonasi, membantu orang lain, membangun kebaikan. Tapi jika ilmunya tidak ada, maka miskin maupun kaya, sama saja: mudah berbuat zalim, berpecah karena uang, bahkan hancur rumah tangga karenanya.
Sebab itu, dalam Islam, kekayaan bukan ukuran keberhasilan seseorang. Tapi bagaimana seseorang menyikapi kekayaan dan kesulitan, itulah ujian sejatinya.
Sebagaimana firman Allah ﷻ:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)
Penutup
Kesimpulannya, ujian itu bukan hanya dalam kesempitan, tapi juga dalam kelapangan. Dan sering kali, ujian kelapangan lebih berat daripada ujian kesempitan. Maka mari kita perkuat diri dengan ilmu dan iman, agar saat diuji dengan kekayaan, kita tidak lupa daratan — tapi justru semakin dekat dengan Tuhan.
Ilmu dulu, baru harta. Karakter dulu, baru kekuasaan. Karena yang membimbing harta adalah ilmu, bukan sebaliknya.
0 Komentar