
Oleh: Rika Dwi Ningsih
Aktivis Dakwah
Langkah Universitas Harvard menolak tunduk pada tekanan pemerintahan Donald Trump menjadi babak penting dalam pertarungan antara idealisme akademik dan otoritarianisme negara. Dengan membekukan lebih dari Rp 37 triliun dana hibah dan mengancam status pajak, Trump mencoba memaksa institusi pendidikan paling prestisius di Amerika Serikat untuk mematikan suara-suara yang membela Palestina.
Trump tidak hanya menuntut perubahan kepemimpinan dan kebijakan internal Harvard, tetapi juga mendesak pembatasan kebebasan berpendapat mahasiswa, termasuk pembubaran kelompok pro-Palestina dan pelarangan demonstrasi dengan masker. Ironisnya, tuduhan antisemitisme yang dilontarkan pemerintah justru diarahkan pada kelompok mahasiswa yang justru menyerukan penghentian genosida terhadap rakyat Palestina, termasuk oleh sebagian mahasiswa Yahudi sendiri.
Kebebasan Akademik Tergadai demi Zionisme
Apa yang terjadi pada Harvard menyingkap kemunafikan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan yang selama ini dibanggakan Barat. Ketika kebebasan digunakan untuk mengkritik Israel, dengan cepat ia dibungkam atas nama “antisemitisme”. Ketika idealisme kampus berbenturan dengan kepentingan politik luar negeri AS yang pro-Zionis, maka institusi pendidikan pun dipaksa bertekuk lutut di bawah ancaman finansial dan hukum.
Langkah ini bukan hanya mengancam kebebasan akademik di AS, tapi juga menjadi sinyal berbahaya bagi dunia: bahwa mendukung Palestina kini bisa dianggap sebagai tindakan ilegal atau ekstremis. Deportasi mahasiswa asing, pencabutan visa, hingga larangan menerima mahasiswa luar negeri menjadi bagian dari teror politik yang dilancarkan pemerintah demi membungkam simpati pada Palestina.
Standar Ganda dan Runtuhnya Klaim Superioritas Barat
Sikap Trump membuktikan apa yang telah lama menjadi kritik utama terhadap Barat: standar ganda. Demokrasi hanya berlaku selama tidak menentang kepentingan Zionisme. Kebebasan berbicara hanya dijunjung selama tidak mengkritik penjajahan Israel atas Gaza dan Tepi Barat. Saat nilai-nilai ini bertabrakan dengan kepentingan politik, maka nilai-nilai itu dilucuti, dan digantikan oleh kebijakan koersif yang menindas.
Inilah kegagalan ideologi buatan manusia, nilai yang dibangun berdasarkan logika dan kepentingan duniawi, akan selalu bisa dibelokkan dan dipelintir saat berseberangan dengan kekuasaan dan dominasi global.
Solusi Islam: Ketika Kebenaran Berdiri di Atas Wahyu, Bukan Nafsu
Berbeda dengan sistem buatan manusia yang rapuh dan sarat kepentingan, Islam membawa seperangkat nilai dan sistem yang kokoh, karena bersumber dari wahyu. Dalam Islam, membela yang tertindas bukan hanya hak, tapi kewajiban. Dalam Islam, membungkam suara kebenaran adalah kezaliman, tak peduli siapa pelakunya.
Jika dunia hari ini dikuasai oleh kekuatan adidaya seperti Amerika Serikat yang bisa membungkam kampus elite dunia, maka umat Islam harus bertanya: di mana kekuatan dunia Islam untuk melindungi mereka yang membela Palestina?
Inilah pentingnya keberadaan Khilafah, sebuah institusi global yang akan berdiri sebagai pelindung umat dan penyeru kebenaran. Khilafah tidak akan tunduk pada tekanan politik global, apalagi mengorbankan suara mahasiswa yang memperjuangkan Al-Quds. Khilafah akan mengirim pasukan, bukan surat protes. Menghentikan penjajahan, bukan mencabut visa.
Saatnya Umat Islam Bangkit dengan Solusi Islam
Peristiwa di Harvard adalah panggilan bagi kita semua, khususnya umat Islam, untuk tidak lagi menaruh harapan pada sistem sekuler Barat yang sudah terbukti hipokrit. Solusi sejati bagi Palestina, bagi dunia Muslim, bahkan bagi para pencari kebenaran di manapun mereka berada, hanya akan lahir dari sistem Islam yang tegak dalam Khilafah.
Saat dunia menindas suara kebenaran, maka dunia membutuhkan pelindung yang hanya bisa diberikan oleh Islam.
0 Komentar