
Oleh: Oktavia
Pengamat Ekonomi
Di tengah gejolak dan perang dagang yang melanda dua kekuatan ekonomi dunia Amerika Serikat dan Cina ekonomi global sedang menghadapi masa-masa penuh ketidakpastian. Indonesia, sebagai bagian dari ekosistem ekonomi internasional, tidak bisa menghindar dari dampak buruk yang ditimbulkan. Namun, bukan hanya faktor eksternal yang membuat kondisi Indonesia rentan. Fundamentalisme domestik yang rapuh dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat memperparah situasi.
AS dan Cina: Dua Raksasa dalam Tekanan
International Monetary Fund (IMF) memprediksi ekonomi Amerika Serikat hanya tumbuh 2,6 persen tahun 2024 dan melambat menjadi 1,9 persen pada 2025. Masalah domestik yang kompleks seperti inflasi tinggi, mahalnya layanan kesehatan, serta meningkatnya defisit anggaran federal menjadi beban besar. Federal Reserve mulai melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga untuk menghindari kontraksi ekonomi yang lebih dalam. Namun, langkah ini menyiratkan kekhawatiran besar terhadap pertumbuhan yang mulai tersendat.
Sementara itu, Cina yang selama dua dekade terakhir menjadi motor pertumbuhan global juga tak luput dari guncangan. Krisis properti menghantam sektor yang menyumbang hampir sepertiga PDB mereka, utang pemerintah melonjak ke level 116 persen dari PDB, populasi menua, dan ketegangan geopolitik dengan AS kian memburuk. Akibatnya, proyeksi pertumbuhan ekonominya diperkirakan hanya di kisaran 4,5 persen tahun 2025.
Kondisi ini menjadi peringatan keras bagi negara-negara yang selama ini menggantungkan nasib ekspor dan investasi pada dua negara adidaya tersebut, termasuk Indonesia.
Indonesia: Dihimpit Tekanan Eksternal dan Krisis Internal
Dampak melemahnya ekonomi global sangat terasa bagi Indonesia. Permintaan ekspor untuk komoditas utama seperti batubara dan minyak kelapa sawit diperkirakan menurun drastis. Ketidakpastian kebijakan moneter AS dan krisis properti di Cina juga memicu fluktuasi nilai tukar dan gejolak pasar keuangan.
Namun, akar masalah Indonesia lebih dalam dari sekadar faktor eksternal. Fondasi ekonomi nasional sendiri sedang dalam kondisi goyah. Salah satu indikator utamanya adalah menyusutnya kelas menengah hampir 10 juta orang dalam lima tahun terakhir, dari 57,3 juta pada 2019 menjadi hanya 47,8 juta di 2024. Daya beli masyarakat menurun tajam, diperparah oleh lonjakan harga pangan, BBM, dan listrik.
Kemiskinan pun tetap tinggi. Jika menggunakan standar Bank Dunia (US$3,65 per hari), 18,25 persen penduduk Indonesia tergolong miskin, dua kali lipat dari angka resmi pemerintah. Bahkan, jika standar ditingkatkan ke US$6,9, maka 62 persen penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan tersembunyi.
Kesenjangan pun melebar. Indeks Gini (tingkat ketimpangan pendapatan atau pengeluaran di suatu wilayah) naik dari 30,3 pada tahun 2000 menjadi 35 pada 2023, mencerminkan semakin terpusatnya kekayaan pada kelompok elite.
Perekonomian dalam Jeratan Sistemik
Salah satu faktor yang memperparah kondisi ini adalah sistem ekonomi yang timpang. Suku bunga tinggi, rata-rata 8,9 persen, jauh melebihi negara-negara tetangga, menekan pelaku usaha kecil dan masyarakat yang bergantung pada kredit. Sementara itu, banjir produk impor terutama dari Cina membuat industri dalam negeri semakin terpuruk. Dugaan praktik dumping tidak direspon tegas oleh pemerintah, bahkan cenderung diakomodasi melalui pelonggaran aturan teknis impor.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya keberpihakan negara terhadap rakyat dan produsen lokal. Banyak kebijakan ekonomi cenderung berpihak pada kepentingan jangka pendek dan elit tertentu.
Alternatif Islam: Distribusi dan Keadilan
Dalam perspektif Islam, banyak masalah ekonomi ini berpangkal pada sistem kapitalisme yang berfokus pada pertumbuhan, bukan distribusi. Dalam Islam, negara wajib memastikan kebutuhan dasar tiap individu terpenuhi, serta menyediakan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan secara cuma-cuma.
Islam menetapkan batas kepemilikan. Aset-aset publik seperti energi, air, dan hutan tak boleh dikomersialisasi oleh swasta. Hasil dari pengelolaan aset ini harus dikembalikan kepada rakyat.
Sistem fiskal Islam juga tidak bergantung pada utang ribawi. Dana negara berasal dari pengelolaan sumber daya alam dan harta publik. Pajak hanya dikenakan pada orang kaya dan bersifat temporer.
Sementara itu, sistem moneter Islam berbasis emas dan perak, yang lebih stabil dan tahan terhadap inflasi. Sistem keuangan Islam menolak riba dan spekulasi, mendorong skema kerjasama yang adil seperti bagi hasil (mudharabah), serta bantuan sosial seperti wakaf dan qardh hasan.
Saatnya Berani Mengubah Arah
Kondisi global dan domestik saat ini adalah alarm keras untuk melakukan koreksi serius terhadap arah kebijakan ekonomi Indonesia. Ketergantungan pada sistem dan mitra yang rapuh harus diakhiri. Negara perlu berpaling ke sistem ekonomi yang berpijak pada keadilan distribusi, keberlanjutan, dan kemandirian, seperti yang diajarkan Islam.
Dengan reformasi sistemik dan komitmen untuk kembali kepada prinsip ekonomi Islam, Indonesia dapat bangkit menjadi negara yang kuat, stabil, dan mandiri di tengah pusaran krisis global yang tak kunjung reda.
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 Komentar