
Oleh: Indri Nur Adha, A.Md
Aktivis Dakwah
Rindu untuk pulang ke kampung halaman tak lagi dapat dibendung oleh para perantau. Harapan untuk bertemu orang tua dan saudara semakin besar, namun realitas berkata lain. Kendala ekonomi menjadi penghalang utama, dan meskipun pemerintah menjanjikan penurunan tarif transportasi, tetap saja kebutuhan lainnya, seperti buah tangan dan biaya hidup selama di kampung, masih memberatkan. Kesedihan ini menjadi potret nyata betapa sulitnya hidup di negeri sendiri.
Penurunan harga tiket pesawat sebesar 13 hingga 14 persen diumumkan berlaku selama musim mudik Lebaran 2025, tepatnya mulai 1 Maret hingga 7 April. Kebijakan ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dalam konferensi pers di Bandara Soekarno-Hatta pada 1 Maret 2025. "Selama kurang lebih dua minggu itu, penurunan harga tiket mencapai 13 hingga 14 persen. Ini diharapkan dapat membantu masyarakat yang telah mempersiapkan diri untuk pulang kampung," ujar AHY (tvonesnews.com, 01/03/2025).
Selain itu, pemerintah juga menggelar program mudik gratis pada Lebaran tahun ini. AHY mengungkapkan bahwa program ini merupakan kerja sama antara Kementerian Perhubungan RI dan BUMN, dengan kuota mencapai 100.000 orang untuk berbagai moda transportasi, baik bus, kereta api, maupun kapal laut. Langkah ini sekilas tampak membantu masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi, namun tetap ingin berkumpul bersama keluarga di hari raya.
Tidak hanya itu, pemerintah juga berencana memberikan potongan tarif tol hingga 20 persen bagi masyarakat yang mudik menggunakan kendaraan pribadi. AHY menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan arahan langsung dari Presiden Prabowo Subianto, yang menginginkan perjalanan masyarakat selama Lebaran lebih aman, nyaman, dan terjangkau (viva.co.id, 01/03/2025).
Kebijakan-kebijakan ini sekilas tampak sebagai upaya konkret pemerintah dalam membantu rakyat. Namun, jika dicermati lebih dalam, kebijakan ini hanya bersifat musiman dan tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Tarif transportasi memang turun, tetapi hanya dalam periode tertentu, setelah itu akan kembali naik. Ini menunjukkan bahwa masalah utama, yaitu mahalnya biaya transportasi, tarif tol, dan beban ekonomi rakyat, tidak benar-benar diselesaikan.
Realitas ini semakin menguatkan fakta bahwa transportasi di Indonesia tidak sepenuhnya dikelola oleh negara, melainkan melibatkan pihak swasta. Negara bahkan membiarkan pihak swasta menjadikan fasilitas umum sebagai ladang bisnis yang menguntungkan. Contohnya adalah jalan tol yang seharusnya menjadi milik publik, tetapi justru dikelola oleh perusahaan swasta, termasuk pihak asing. Begitu pula dalam sektor transportasi darat, laut, dan udara, di mana banyak yang telah dikuasai oleh investor asing. AirAsia, misalnya, merupakan maskapai penerbangan asal Malaysia yang didirikan pada tahun 1993 dan kini beroperasi luas di Indonesia.
Keberadaan pihak swasta dalam sektor transportasi ini tidak terlepas dari peran pemerintah sebagai regulator. Namun, pertanyaannya, regulasi seperti apa yang diterapkan? Bukankah seharusnya negara memastikan tarif transportasi tetap terjangkau bagi rakyatnya? Sayangnya, dalam sistem yang berjalan saat ini, negara lebih berperan sebagai fasilitator kepentingan bisnis dibandingkan sebagai pelayan rakyat. Negara hanya berfungsi sebagai pembuat aturan tanpa benar-benar berperan dalam menyediakan transportasi murah dan layak bagi masyarakat.
Kebijakan yang diterapkan justru menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada pemilik modal, bukan kepada rakyat. Negara membiarkan pihak swasta menguasai sektor transportasi dan mengambil keuntungan besar darinya. Hal ini terjadi karena sistem kapitalisme yang diterapkan, di mana kebijakan yang dibuat lebih banyak menguntungkan investor dan pengusaha dibandingkan kepentingan rakyat. Akibatnya, uang rakyat terus dikuras untuk memperkaya pihak tertentu, sementara mereka sendiri kesulitan mengakses layanan yang seharusnya menjadi hak mereka.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam mengurus rakyatnya, termasuk dalam menyediakan sarana transportasi yang mudah, murah, dan dapat diakses oleh semua kalangan. Transportasi bukanlah ladang bisnis, melainkan bagian dari pelayanan publik yang harus disediakan negara tanpa membebani rakyat.
Sejarah mencatat bahwa dalam peradaban Islam, transportasi dan infrastruktur disediakan secara gratis untuk masyarakat. Pada masa Kekhalifahan Umayyah, misalnya, dibangun jalan dan jembatan yang menghubungkan berbagai wilayah di Damaskus, Baghdad, dan Andalus. Sarana ini bisa digunakan oleh siapa saja—masyarakat umum, ilmuwan, hingga pedagang—tanpa dipungut biaya. Model seperti inilah yang seharusnya diterapkan, di mana negara benar-benar hadir untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Rakyat akan hidup lebih tenang dan sejahtera jika sistem Islam diterapkan secara kaffah dalam kehidupan. Sebab, dalam sistem ini, pemimpin benar-benar menjalankan tugasnya untuk melayani rakyat, bukan sekadar menjadi perpanjangan tangan kepentingan pemodal. Rasulullah ﷺ telah memperingatkan para pemimpin agar tidak lalai dalam mengurus rakyatnya:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
"Tidaklah seorang pemimpin yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga baginya." (HR. Bukhari No. 6731 dan Muslim No. 142)
Wallahualam bissawab.
0 Komentar