
Oleh: Nasrudin Joha
Pujangga Politik
Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi II DPR RI pada Selasa (4/3) menjadi babak baru dalam perjuangan rakyat Banten melawan perampasan tanah yang terjadi di Proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2). Namun, realitasnya, penyelesaian permasalahan ini tidak cukup hanya di Komisi II yang berfokus pada isu pertanahan. Permasalahan ini memiliki dimensi yang jauh lebih luas, mencakup aspek hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), serta kedaulatan negara, yang seyogianya menjadi perhatian serius Komisi III DPR RI.
Perampasan Tanah Berkedok Proyek Strategis Nasional
Dalam RDP yang dipimpin oleh Dr. Dede Yusuf Macan Effendi, permasalahan yang dibahas masih terbatas pada aspek pertanahan. Terungkap adanya skema yang mengarah pada perampasan tanah rakyat dengan dalih proyek strategis nasional (PSN). Modus yang digunakan termasuk tidak diakuinya girik per Januari 2026 dan penggunaan konsep "tanah musnah" dalam reklamasi sesuai Pasal 66 PP No 18 Tahun 2021. Ironisnya, regulasi ini justru dijadikan alat untuk menghilangkan hak-hak rakyat atas tanah mereka sendiri.
Namun, akar permasalahan yang lebih dalam belum terungkap secara utuh. Dugaan pelanggaran pidana dan perdata terkait praktik perampasan tanah, manipulasi narasi PSN, serta pelanggaran hukum pidana laut dalam kasus pagar laut menjadi aspek yang belum dibahas tuntas. Tak hanya itu, praktik pemaksaan pelepasan hak atas tanah dan ancaman terhadap kedaulatan negara akibat keberadaan entitas bisnis yang nyaris membentuk "negara dalam negara" di kawasan PIK-2 menambah urgensi persoalan ini.
Komisi III DPR RI Harus Bertindak
Untuk menindaklanjuti permasalahan ini, permohonan audiensi telah diajukan dua kali kepada Komisi III DPR RI. Pertama, pada 5 Desember 2024, setelah gugatan terhadap proyek PIK-2 dengan Nomor 754/Pdt.G/2024/PN.JKT.PST didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua, pada 10 Maret 2025, pasca RDP dengan Komisi II DPR RI. Namun, hingga kini, belum ada kepastian kapan Komisi III DPR RI akan mengundang pihak yang memperjuangkan hak rakyat Banten ini.
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penegakan hukum, HAM, dan keamanan, Komisi III DPR RI memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa kasus ini diusut hingga ke akar-akarnya. Tidak cukup hanya berhenti pada aktor-aktor kecil seperti Arsin, Kepala Desa Kohod, yang dijadikan kambing hitam dalam kasus pagar laut dan sertifikat laut. Nalar publik tidak dapat menerima jika kasus sebesar ini hanya dilokalisir pada satu wilayah kecil tanpa menyentuh aktor-aktor besar di baliknya.
Menyingkap Jaringan Mafia Tanah dan Oligarki
Kasus ini bukan sekadar sengketa tanah biasa, melainkan cerminan dari bagaimana oligarki menggunakan kekuatan ekonomi dan politiknya untuk merebut hak rakyat dengan legalisasi yang dipaksakan. Jika dibiarkan, praktik ini akan menjadi preseden buruk bagi keadilan agraria di Indonesia. Komisi III DPR RI harus berani melawan arus, mengungkap siapa saja yang terlibat, termasuk korporasi dan pemilik modal besar yang berada di balik perampasan tanah ini.
Dalam semangat Ramadhan, saat keadilan sosial seharusnya menjadi refleksi utama, perjuangan untuk membela rakyat Banten dari cengkeraman oligarki harus menjadi prioritas. Harapan besar kini tertumpu pada Komisi III DPR RI yang dipimpin oleh Dr. Habiburrahman, SH, MH, untuk tidak berdiam diri. Rakyat menunggu langkah konkret agar kejahatan perampasan tanah ini tidak lagi menjadi mimpi buruk yang terus menghantui hak-hak mereka.
Jangan Biarkan Negeri Ini Dikuasai Mafia Tanah
Indonesia harus dibersihkan dari mafia tanah yang menggerogoti hak rakyat demi kepentingan segelintir elite. Jika kasus ini tidak ditangani dengan serius, maka kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan demokrasi akan semakin runtuh. Kini, bola ada di tangan Komisi III DPR RI. Akankah mereka berani membuktikan bahwa hukum masih berpihak pada rakyat? Ataukah mereka justru membiarkan praktik perampasan ini terus terjadi tanpa konsekuensi bagi para pelakunya?
Rakyat menanti keadilan. Dan sejarah akan mencatat, siapa yang berdiri membela hak-hak rakyat, dan siapa yang berpaling demi kepentingan oligarki.
0 Komentar