
Oleh: Nasrudin Joha
Pujangga Politik
Dalam Agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI pada Selasa (4/3), Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat mengungkap sejumlah nama di balik kasus pagar laut dan sertifikat laut di Perairan Laut Tangerang Utara. Nama-nama yang disebut, seperti Ali Hanafiah Lijaya (orang kepercayaan Aguan), Mandor Memet, dan Eng Cun alias Gojali, memiliki peran sentral dalam penerbitan Sertifikat Hak di atas laut serta pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 KM. Pagar tersebut mencakup 12 desa di enam kecamatan di Kabupaten Tangerang serta satu kecamatan di Kabupaten Serang.
Nama-nama ini menjadi penghubung langsung ke Agung Sedayu Group (ASG) yang menggarap proyek PIK-2, milik Aguan dan Anthony Salim. Meski hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan keputusan resmi untuk membatalkan proyek PIK-2, bahkan Presiden Prabowo Subianto justru mengundang Aguan dan Anthony Salim ke Istana, rakyat perlu berfokus pada dua hal utama:
- Menuntut Penegakan Hukum Secara Menyeluruh
Kasus pagar laut dan sertifikat laut harus diusut hingga ke tingkat korporasi yang diuntungkan. Artinya, investigasi tidak boleh berhenti hanya pada individu seperti Arsin Kades Kohod dan lainnya sebagai tumbal, melainkan harus menelusuri keterlibatan Agung Sedayu Group sebagai pihak utama yang mendapatkan manfaat dari kebijakan ini. Tanpa tindakan tegas terhadap korporasi besar, hukum hanya akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
- Menyelamatkan Institusi TNI dan Polri dari Kendali Oligarki
Terbitnya sertifikat laut dan keberadaan pagar laut yang telah mencapai lebih dari 30 KM bukanlah sesuatu yang bisa luput dari pengawasan. Jika TNI dan Polri benar-benar bekerja untuk rakyat dan bebas dari kendali oligarki, pagar laut ini seharusnya sudah dihentikan sejak panjangnya masih satu meter. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pagar ini baru dibongkar setelah kemarahan rakyat memuncak.Ali Hanafiah Lijaya, orang kepercayaan Aguan, diketahui memiliki kedekatan dengan sejumlah pejabat tinggi Polri dan TNI. Berdasarkan informasi lapangan, seluruh tindakan kriminalisasi terhadap rakyat Banten yang enggan melepas hak tanahnya dilakukan dengan memanfaatkan institusi Polri dan TNI di bawah kendali Ali Hanafiah Lijaya.Bahkan, beredar dokumen foto yang menunjukkan kedekatan Ali Hanafiah Lijaya dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jenderal (Purn) TNI Dudung Abdurachman. Hal ini semakin menguatkan dugaan publik bahwa kasus pagar laut dan sertifikat laut sengaja dilokalisir di Desa Kohod, sehingga hanya Arsin dan beberapa pihak kecil lainnya yang dikorbankan, sementara Ali Hanafiah Lijaya dan ASG tetap tidak tersentuh hukum.
TNI-Polri Harus Bebas dari Kendali Oligarki
Selain menuntut penegakan hukum yang adil, rakyat juga harus mendesak agar TNI dan Polri menjaga jarak dari pengaruh oligarki. Tidak boleh ada plat mobil TNI yang digunakan oleh Aguan, sebagaimana yang pernah dilaporkan oleh Tempo. Tidak boleh ada hubungan mesra antara pejabat TNI-Polri dengan jaringan oligarki yang justru menindas rakyat.
Presiden Prabowo Subianto harus memberikan instruksi tegas terkait hal ini. Institusi negara yang dibiayai dari pajak rakyat tidak boleh menjadi alat oligarki untuk merampas hak rakyat. TNI dan Polri adalah milik rakyat, dan tugas mereka adalah melindungi serta melayani rakyat, bukan menjadi alat oligarki untuk menekan rakyat.
Kesimpulan
Kasus pagar laut dan sertifikat laut di Tangerang Utara adalah cerminan bagaimana oligarki menguasai sumber daya negara dengan dukungan jaringan kekuasaan. Rakyat harus terus bersuara dan menuntut keadilan, baik dalam bentuk penegakan hukum terhadap pelaku utama maupun dalam menjaga independensi institusi negara dari cengkeraman oligarki.
Negara ini seharusnya berpihak kepada rakyat, bukan kepada segelintir pengusaha yang rakus. Jika ketidakadilan ini terus dibiarkan, maka rakyat hanya akan menjadi korban kebijakan yang berpihak pada kepentingan segelintir orang kaya, sementara hukum tetap hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
0 Komentar