
Oleh: Ummu Affaf
Penulis Lepas
Anggarannya ikut disunat, nasib riset Indonesia makin suram. Intruksi presiden (inpres) nomor 1 tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD tahun anggaran 2025 semakin kentara berdampak jauh lebih besar dari yang semula diperkirakan. Di media massa dan media sosial terus diramaikan dengan kabar-kabar terkait dampak pemangkasan anggaran di berbagai instansi pemerintahan. Tak terkecuali di sekitar riset dan inovasi di Indonesia. (Tirto.id, 13/2/2025)
Dua kementrian atau lembaga (K/L) yang membidangi riset dan inovasi yakni kementrian pendidikan tinggi, sains, dan teknologi (kendiktisaintek) dan badan riset dan inovasi nasional (BRIN) diketahui ikut terdampak inpres nomor 1/2025. Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemendiktisaintek Fauzan Adzima, tidak nampak bahwa kebijakan pangkas anggaran juga berlaku untuk bidang riset, meskipun demikian dia memastikan bahwa pemangkasan dan riset tak sepenuhnya menghentikan kerja penelitian di Indonesia.
Sebelum ada kebijakan efisiensi pun anggaran kemendiktisaintek yang dialokasikan untuk riset sebenarnya tergolong kecil yakni Rp 1,2 Triliun dari total Rp 57 triliun. Sehingga, Fauzan berharap pemangkasan anggaran riset tidak terlalu besar, jadi merasionalisasikan agar potongan di dana riset itu sekecil-kecilnya. Sementara itu, BRIN melakukan efisiensi anggaran 2025 hingga Rp 2.074 Triliun dari total pagu anggaran sebelumnya sebesar Rp 5.842. Kepala BRIN Tri Handoko melalui paparannya dalam rapat dengar pendapat bersama komisi x DPR RI mengungkap bahwa lembaganya harus menghapuskan seluruh anggaran riset dan inovasi riset di 12 organisasi riset akibat pemangkasan signifikan. Artinya, seluruh organisasi riset di BRIN tidak akan mendapat dana riset jika pemotongan anggaran tersebut dilakukan.
12 organisasi riset yang bernaung di bawah BRIN adalah riset kebumian dan maritim, hayati dan lingkungan, pertanian dan pangan, kesehatan, arkeolog, bahasa dan sastra, ilmu pengetahuan sosial dan humas niora, tenaga nuklir, tata kelola pemerintahan, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, nano teknogi dan material elektronika dan informatika, serta penerbangan dan antariksa. Pemangkasan anggaran riset tersebut menunjukkan bahwa pemerintah menganggap bidang riset tidak penting dan hanya buang-buang anggaran saja. Padahal kebijakan yang baik adalah yang berhasil pada data riset.
Bisa jadi, pemerintah tidak butuh lagi riset untuk sebuah kebijakan. Jika demikian kebijakan pemerintah mungkin dianggap cukup dengan melandaskan pada bisikan-bisikan para kolega.
Bidang riset adalah tulang punggung kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi yang dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah kebangsaan. Maka, berkurangnya data riset akan menimbulkan beberapa dampak negatif. Misal, penurunan kualitas dan kuantitas ritel. Riset-riset yang membutuhkan dana besar seperti riset kesehatan, energi terabaikan dan teknologi tinggi akan terhambat.
Hal itu akan memperlambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Selain itu, daya saing indonesia di kancah global juga akan menyusut. Pemangkasan dana riset juga sangat aneh. Pasalnya, negara-negara lain justru terus meningkatkan investasi mereka dalam riset dan inovasi untuk mendongkrak daya saingnya. Pemangkasan anggaran riset juga bisa berdampak pada hilangnya talenta riset. Peneliti-peneliti muda yang potensial mungkin akan kehilangan motivasi atau beralih ke bidang lain yang lebih menjanjikan secara finansial. Bahkan mereka bisa saja memilih untuk bekerja di luar negri.
Pemerintah mengabaikan riset karena pemerintah belum sepenuhnya memahami betapa pentingnya riset bagi pembangunan bangsa. Riset sering dianggap sebagai biaya yang bisa ditunda. Padahal sebenarnya adalah investasi umum masa depan. Oleh karenanya, pemerintah seharusnya merevitalisasi kembali bidang riset. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali alokasi anggaran dan memastikan bahwa riset mendapatkan porsi yang memadai.
Di samping itu, pemerintah juga harus meningkatkan transparansi dan partisipasi publik. Proses penganggaran lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik. Termasuk para peneliti dan masyarakat sipil.
Efisiensi anggaran seharusnya diprioritaskan untuk rakyat. Bukan untuk program populis yang sarat kepentingan politis. Kebijakan yang diambil dan dijalankan semata-mata dalam rangka melayani rakyat serta merealisasikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat luas. Oleh karenanya, jika anggaran negara sedang kosong, bahkan minus, maka pemuda telah mendapatkan panduan cara melakukan prioritas anggaran. Tidak boleh efisiensi dilakukan jika mengorbankan kebutuhan masyarakat bahkan dalam kondisi darurat dan kekosongan dana.
Seorang pemimpin dapat terus membiayai berbagai penyelenggaraan negara dengan mengenakan pajak (dhorobah) kepada laki laki muslim kaya dengan besaran yang telah ditargetkan. Ketika jumlah yang dibutuhkan telah terpenuhi, maka penarikan dihentikan. Dalam Islam, pendanaan darurat yang harus diprioritaskan pertama adalah pendanaan untuk jihad fisabilillah dan keberlangsungan industri militer penopang jihad.
Kedua, pembiayaan untuk fakir miskin. Sehingga tidak ada masyarakat yang kelaparan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.
Ketiga, belanja pegawai berupa gaji pegawai, hakim, guru, nakes, dan orang-orang yang bekerja untuk kemaslahatan umat.
Keempat, pembiayaan kemaslahatan masyarakat, seperti pembangunan rumah sakit, jembatan, universitas, saluran air, jalan raya, dan semua fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat.
Kelima, pembiayaan untuk penanganan berbagai bencana alam, seperti longsor.
Apapun situasi keuangan negara, syariat telah memerintahkan agar semua pos tersebut dibiayai dan dipenuhi oleh negara dengan berbagai cara halal termasuk pemberlakuan pajak.
Oleh karena itu, tidak pada tempatnya juga efisiensi APBN yang kita saksikan hari ini justru menyasar dana pelayanan kepada masyarakat, dana pembangunan infrastruktur, bahkan dana kesehatan dan pendidikan demi program populasi makan bergizi gratis (BMG) dan program prioritas lain yang ditetapkan pemerintah Indonesia tanpa mempertimbangkan seruan syariat Islam. Untuk itu, pengelolaan keuangan negara harus disadarkan pada ketentuan syariat. Bukan pertimbangan program populasi seperti MBG
Hal ini dapat menyebabkan para pemuda yang sekolah dan kuliah kehilangan beasiswa dan para ayah di dalam keluarga kehilangan pekerjaan akibat kebijakan efisiensi anggaran yang sangat tidak tepat dan tidak efisiensi.
Sudah seharusnya disadari bahwa pengelolaan APBN Indonesia yang tidak sesuai syarat Islam ini telah menyebabkan kekacauan dalam menentukan program perioritas, utang yang menggunung dan defisit anggaran belanja yang sangat lebar. Hendaknya ini segera diatasi dengan kembali kepada pengaturan berdasarkan ekonomi Islam. Wallahua'lam bishshawab.
0 Komentar