
Oleh: Sari Ramadani, S.Pd
Aktivis Muslimah
Ramadan adalah bulan suci yang seharusnya menjadi momen bagi umat Islam untuk meningkatkan ketakwaan dan memperbanyak ibadah. Namun, kebijakan yang diterapkan di berbagai daerah justru menunjukkan lemahnya kesungguhan dalam menjaga kesucian bulan ini. Alih-alih menutup celah kemaksiatan, pemerintah justru memberikan kelonggaran bagi tempat hiburan untuk tetap beroperasi dengan dalih menyesuaikan kondisi masyarakat.
Kebijakan ini mencerminkan bagaimana sekularisme terus mendominasi kehidupan, memisahkan agama dari aturan publik, dan menjadikan asas manfaat sebagai tolok ukur utama dalam pengambilan keputusan. Padahal, Allah ﷻ telah memperingatkan dalam firman-Nya: “Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 45).
Belum lama ini Pemkot Banda Aceh merevisi aturan Ramadan dengan mengizinkan tempat hiburan seperti biliar, PlayStation, dan karaoke beroperasi pada siang hari, berbeda dari tahun sebelumnya. Perubahan ini disebut sebagai respons terhadap masukan masyarakat dan hasil evaluasi agar lebih relevan dengan kondisi saat ini. Sementara itu, larangan warung makan buka dari imsak hingga pukul 16.30 tetap berlaku, dengan pengawasan oleh Satpol PP, WH, serta dukungan TNI/Polri. Forkopimda juga mengimbau warga non-Muslim untuk menghormati ibadah puasa guna menjaga toleransi dan kerukunan (viva.co.id, 27/02/2025).
Di Jakarta, Pemprov DKI menerbitkan Pengumuman Nomor e-0001 Tahun 2025 yang mengatur operasional tempat hiburan selama Ramadan. Beberapa tempat hiburan seperti kelab malam, diskotek, mandi uap, rumah pijat, dan arena permainan ketangkasan dewasa diwajibkan tutup mulai sehari sebelum hingga sehari setelah Ramadan. Namun, usaha yang berada di hotel bintang empat dan lima serta kawasan tertentu tetap diizinkan beroperasi dengan pembatasan jam operasional. Meski ada aturan larangan menampilkan unsur pornografi, perjudian, dan narkoba, kenyataannya tempat hiburan yang tetap buka menjadi celah bagi masyarakat untuk melakukan kemaksiatan (metrotvnews.com, 28/02/2025).
Aturan yang dikeluarkan di berbagai daerah ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih mengutamakan asas manfaat ketimbang menjaga nilai-nilai agama. Padahal, Islam telah mengatur dengan jelas bahwa segala bentuk kemaksiatan harus dicegah, bukan sekadar dibatasi.
Realitas ini juga menjadi bukti kegagalan sistem pendidikan sekuler dalam membentuk individu yang berpegang teguh pada syariat Islam. Pendidikan yang diterapkan saat ini lebih menitikberatkan pada aspek akademik dan ekonomi, sementara aspek moral dan spiritual sering kali diabaikan. Akibatnya, banyak individu yang tidak memahami pentingnya menjaga kesucian Ramadan dan malah menganggap hiburan sebagai bagian dari kebutuhan hidup yang tidak bisa ditinggalkan.
Sistem pendidikan sekuler hanya mencetak manusia-manusia yang berpikir materialistis dan pragmatis. Ketika nilai-nilai agama tidak dijadikan sebagai dasar dalam kehidupan, maka manusia cenderung mengabaikan aturan Allah dan lebih mengutamakan kepentingan duniawi. Inilah yang terjadi dalam masyarakat saat ini, di mana Ramadan yang seharusnya menjadi bulan penuh keberkahan malah tetap diwarnai dengan praktik kemaksiatan yang dibiarkan beroperasi secara legal.
Dalam Islam, pendidikan bertujuan untuk menciptakan individu yang bertakwa dan menjadikan syariat sebagai pedoman utama dalam kehidupan. Sistem pendidikan Islam akan membentuk masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi untuk menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Dengan demikian, masyarakat tidak akan bergantung pada regulasi semata, melainkan memiliki kontrol diri untuk tetap berada dalam koridor syariat.
Pemberantasan kemaksiatan tidak cukup hanya dengan aturan yang setengah-setengah atau sekadar imbauan moral. Islam telah menetapkan bahwa kemaksiatan harus dicegah dan diberantas dengan hukum yang jelas dan tegas. Dalam naungan Khilafah, pengaturan seluruh aspek kehidupan, termasuk sektor hiburan dan pariwisata, akan berlandaskan akidah Islam. Segala bentuk hiburan yang menjerumuskan pada maksiat akan dilarang, dan sanksi yang tegas akan diberlakukan bagi para pelanggarnya.
Penerapan hukum Islam bukan sekadar memberikan larangan tanpa solusi, tetapi juga membangun sistem yang mencegah munculnya kemaksiatan sejak akar. Dalam sistem Islam, masyarakat dididik untuk memahami bahaya maksiat, sehingga mereka secara sadar menjauhi segala bentuk perbuatan yang bertentangan dengan syariat. Pemerintah dalam sistem Islam juga memiliki peran aktif dalam memastikan bahwa seluruh aturan yang diterapkan bertujuan untuk menjaga ketakwaan masyarakat.
Selain itu, sistem ekonomi Islam juga turut berperan dalam memastikan bahwa masyarakat memiliki sumber penghasilan yang halal. Dalam sistem kapitalisme, banyak orang yang terpaksa bekerja di sektor hiburan yang penuh maksiat karena alasan ekonomi. Namun, dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan yang halal dan menyejahterakan rakyat, sehingga tidak ada alasan bagi individu untuk mencari nafkah melalui jalan yang haram.
Oleh karena itu, penerapan syariat Islam secara menyeluruh merupakan satu-satunya solusi untuk memastikan kehidupan masyarakat yang bersih dari kemaksiatan. Dengan sistem Islam, masyarakat akan diarahkan untuk menjadikan takwa sebagai standar utama dalam setiap aspek kehidupan, bukan sekadar keuntungan duniawi. Sehingga, Ramadan benar-benar menjadi bulan penuh berkah yang membawa umat pada peningkatan keimanan dan ketakwaan, bukan sekadar ritual tahunan yang tetap diwarnai dengan berbagai bentuk kemaksiatan.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar