
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Anak perusahaan PT. Pertamina, Pertamina Patra Niaga mencatatkan kembali prestasi gemilang dalam anugerah Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) 2024, dengan berhasil meraih 12 PROPER Emas dan 61 PROPER Hijau, jumlah perolehan ini meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Prestasi ini diraih karena dianggap konsisten dalam komitmen terhadap keberlanjutan dan praktik bisnis berwawasan lingkungan. Kompetisi ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (republika.co.id, 24-2-2025).
Pencapaian ini menjadi momentum penting bagi perusahaan untuk terus memperluas dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat. Dan masyarakat terhentak ketika muncul berita Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam penyidikan korupsi tata kelola dan ekspor impor minyak mentah di anak usaha PT Pertamina periode 2018-2023.
Salah-satu yang diumumkan sebagai tersangka adalah Riva Siahaan (RS) selaku direktur utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga (republika.co.id, 25-2-2025). Berita terakhir ada dua orang tersangka lagi yang berhasil ditangkap Kejagung. Sangat paradoks, bagaimana dengan perolehan penghargaan sebelumnya, seolah tak saling berhubungan. Bukankah semestinya prestasi baik menunjukkan kinerja baik pula?
Qohar Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar mengatakan kasus tersebut terkait dengan manipulasi kualitas bahan bakar minyak (BBM) dalam pemenuhan kebutuhan di dalam negeri. Praktik korupsi dan manipulasi ini telah terjadi sepanjang tahun 2018-2023. Dengan nilai kerugian keuangan negara setahunnya mencapai Rp 193,7 triliun. Sungguh angka yang fantastis, padahal praktik manipulasi dan korupsi sudah berjalan selama 5 tahun, jika negara rugi sekian besar bagaimana dengan nasib rakyat?
Mengapa selalu dikatakan negara yang mengalami kerugian? Dari berita-berita selanjutnya didapati banyak pejabat lain maupun rekanan pejabat, stafsus yang terlibat, sejatinya ini proyek busuk mereka guna mendapatkan kekayaan secara curang. Dari kasus korupsi Pertamina ini misalnya sudah tercium ada dana koordinasi yang ditemukan di rumah salah satu ayah tersangka.
Sebenarnya yang paling dirugikan adalah rakyat, sudah sejak lama banyak yang mengeluhkan penggunaan Pertamax merusak mesin kendaraan mereka, yang sebelumnya rakyat ingin berbuat baik, menghindari penggunaan pertalite agar tak disebut salah sasaran subsidi malah merugi.
Menurut Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, diperkirakan kerugian yang dialami konsumen dalam kasus adanya dugaan pengoplosan BBM RON 90 menjadi RON 92 atau Pertamax, bisa mencapai Rp47 miliar per hari. Setara Rp17,4 triliun per tahun.
Nailul Huda, menambahkan, selama ini pemerintah hanya fokus menghitung kerugian negara. Namun tidak menghitung kerugian masyarakat sebagai konsumen (comsumer loss). Masyarakat membayar lebih mahal daripada kualitas yang sebenarnya dan kerugian ini berpotensi mengurangi nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Karena dana masyarakat yang seharusnya bisa dibelanjakan untuk keperluan lainnya, justru digunakan untuk menambah selisih harga (samudrafakta.com, 6-3-2025).
Pencitraan Sebuah Kewajiban dalam Kapitalisme
Mendapati penguasa amanah dalam sistem Kapitalisme ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Semua amal atau aktifitas diukur atas dasar manfaat. Pun sikap terhadap rakyat yang seharusnya memudahkan, karena ada keharusan mendapatkan manfaat berubah menjadi itungan untung rugi.
Sikap tidak amanah ini bertambah subur karena sistem politik Demokrasi, dimana calon pemimpin yang maju tidak disyaratkan amanah apalagi takwa. Melainkan tunduk patuh kepada perintah oligarki korporasi yang menanggung pendanaan mereka untuk maju. Biaya politik di Demokrasi sangatlah fantastis, mustahil dipenuhi dari kantong sendiri. Itulah mengapa kabinet Merah Putih begitu tambun, bagian dari balas budi dengan menempatkan orang-orang yang sudah berjasa menjadi tim sukses.
Islam Wujudkan Kesejahteraan Hakiki
Kekayaan alam Indonesia sangatlah luar biasa, dunia mengakui dan sangat membutuhkan, namun Kapitalisme yang dijadikan aturan dalam mengelola justru memunculkan penjajahan dengan eksploitasi besar-besaran. Semua pihak berlomba memperkaya diri, golongan atau kelompok hingga partainya.
Banyaknya materi sehingga bisa memenuhi semua kebutuhan jasadiyah menjadi satu-satunya makna kebahagiaan. Padahal Rasulullah mencela pemimpin yang hanya berkuasa untuk menipu rakyatnya, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).
Maka, kekayaan alam dalam deposit yang melimpah seperti minyak bumi, batubara, nikel, tembaga, emas dan lainnya wajib dikelola oleh negara, secara mandiri tanpa bergantung pada negara lain maupun individu atau swasta.
Semua keuntungan dari penjualan diberikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan fasilitas umum, seperti sekolah, jembatan, jalan, rumah sakit dan lainnya. Negara praktis tidak memungut pajak sebagai pendapatannya, masih ada pos pendapatan lain selain kepemilikan umum yaitu pos kepemilikan negara berupa jizyah, fa'i, kharaz, harta orang murtad, dan lainnya juga pos Zakat.
Khusus pos Zakat sesuai ketentuan syariat hanya dibagikan kepada delapan asnaf. Bukan lainnya. Di sisi lain, negara juga memastikan setiap pria baligh memiliki pekerjaan, dengan mempekerjakan mereka sebagai ASN, pegawai pabrik di industri negara, maupun swasta dengan modal dari Baitul mal negara (jika mengalami kesulitan modal bergerak maupun tidak).
Hukum dan sanksi tegas diterapkan pada setiap kasus yang menyimpang dari syariat, semisal tindak korupsi, hukuman bagi pelakunya adalah takzir (kadar dan jenisnya ditentukan Khalifah) mulai dari celaaan, pemiskinan, diasingkan, cambuk, hingga dihukum mati sesuai kadar yang ia korupsi.
Sistem pendidikan dalam Islam berperan penting mencetak generasi yang idrak silah billahnya (kesadaran akan adanya Allah) tinggi, yaitu dengan asas kurikulumnya akidah Islam. Sehingga ketika menjadi pemimpin mereka takut jika bermaksiat kepada Allah. Setiap prestasi yang diukir bukan pencitraan namun sebenarnya mengurusi urusan rakyat. Wallahualam bissawab.
0 Komentar