
Oleh: Nasrudin Joha
Pujangga Politik
Dokumen foto-foto yang menunjukkan kedekatan sejumlah pejabat Polri dengan Sugiyanto Kusuma alias Aguan beredar luas. Dalam foto tersebut, terlihat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Irjen Pol Karyoto, Irjen Pol Fadil Imran, serta mantan Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar Zulkarnain, bersama dengan beberapa petinggi Polri lainnya. Foto-foto ini diduga diambil saat acara Groundbreaking Pembangunan Batalyon A Pelopor Satuan Brimob Polda Metro Jaya di PIK-2 pada 5 April 2023 lalu.
Keberadaan Aguan dalam acara tersebut mengundang banyak pertanyaan. Terlebih lagi, laporan investigasi Tempo menyebutkan bahwa Aguan dikawal oleh Polisi dan menggunakan kendaraan berpelat TNI. Hal ini menimbulkan dugaan kuat adanya hubungan istimewa antara pengusaha besar dengan aparat penegak hukum. Salah satu pertanyaan kritis yang muncul adalah, apakah kedekatan ini berkaitan dengan kasus sertifikat laut dan pagar laut yang sejauh ini hanya menyeret Kepala Desa Kohod, Arsin, sebagai tersangka?
Kasus Sertifikat Laut: Hanya Kades Kohod?
Secara hukum, kasus ini seharusnya tidak berhenti hanya pada Arsin, Kades Kohod. Jika menelusuri alur penerbitan sertifikat di atas laut, seharusnya semua pihak yang terlibat dari tingkat desa, notaris, KJSB, BPN, hingga korporasi yang menikmati manfaatnya juga turut dijadikan tersangka. Namun faktanya, PT Intan Agung Makmur (PT IAM) dan PT Cahaya Inti Sentosa (PT CIS), yang merupakan anak usaha Agung Sedayu Group dan berperan sebagai pemilik serta penerima manfaat sertifikat laut untuk proyek reklamasi PIK-2, tampak steril dari penyidikan.
Menggunakan dalih Pasal 66 PP No. 18 Tahun 2021 tentang Tanah Musnah, perusahaan-perusahaan ini mengamankan kepemilikan atas lahan yang seharusnya tidak bisa disertifikasi. Jika hukum berlaku secara adil, maka perusahaan-perusahaan ini wajib diperiksa dan dijadikan tersangka. Namun, begitu melihat kedekatan Aguan dengan sejumlah pejabat Polri, apalagi dengan adanya hibah tanah dari Agung Sedayu Group kepada Mako Brimob, sulit untuk tidak menghubungkan hubungan ini dengan sterilnya anak usaha Agung Sedayu Group dari jeratan hukum.
Polri Tidak Independen?
Fenomena kedekatan pengusaha dengan pejabat Polri seperti yang dilakukan Aguan bukanlah hal baru. Sebelumnya, Tomy Winata (pemilik Artha Graha Group) dan Dato Tahir (pemilik Mayapada Group) juga menunjukkan pola yang sama. Dengan hubungan yang erat dengan aparat, para pengusaha ini bisa mendapatkan perlakuan khusus dalam kasus hukum yang melibatkan kepentingan bisnis mereka.
Kasus sertifikat laut terkait proyek PIK-2 menjadi contoh nyata bagaimana hukum menjadi tumpul terhadap entitas besar seperti Agung Sedayu Group, namun begitu tajam dalam menindak pejabat tingkat rendah seperti Kepala Desa Kohod. Kondisi ini mencerminkan ketidakindependenan Polri dalam menjalankan tugasnya. Seharusnya, Polri yang dibiayai oleh APBN bekerja untuk kepentingan negara, bukan melayani kepentingan pengusaha yang memberikan bantuan sesaat demi perlindungan jangka panjang atas bisnis mereka.
Memproteksi Polri dari Kooptasi Pengusaha
Untuk menghindari konflik kepentingan yang berbahaya bagi penegakan hukum, ada beberapa langkah yang perlu diterapkan:
- Pejabat TNI dan Polri Harus Menjaga Jarak dengan Pengusaha: Interaksi dengan pengusaha tidak boleh berlebihan dan hanya boleh dilakukan dalam lingkup tugas fungsional. Jabatan dan promosi di tubuh Polri harus diperoleh melalui kapasitas dan pengabdian, bukan karena intervensi pengusaha yang memiliki kepentingan bisnis.
- Larangan Bantuan Pengusaha untuk Institusi Polri dan TNI: Negara harus melarang segala bentuk bantuan dari pengusaha kepada institusi penegak hukum. Setiap bentuk bantuan pasti mengandung kepentingan tersembunyi yang dapat mengganggu independensi penegakan hukum.
- Pengusaha Tidak Boleh Memanfaatkan Polri untuk Kepentingan Bisnis: Dunia usaha harus berjalan secara profesional, bukan dengan mengandalkan kedekatan dengan aparat demi melancarkan proyek-proyek yang berpotensi melanggar hukum.
- Rakyat Harus Mengawasi Polri dan TNI: Masyarakat harus aktif mengontrol dan mengkritisi aparat yang terlibat dalam permainan bisnis ilegal. Jangan memberi penghormatan kepada pengusaha yang mampu mengendalikan pejabat, tetapi justru harus mempermalukan mereka yang memanfaatkan institusi negara demi kepentingan pribadi.
Muhasabah
Kedekatan pejabat Polri dengan pengusaha seperti Aguan mencerminkan adanya potensi konflik kepentingan yang serius dalam penegakan hukum. Kasus sertifikat laut di PIK-2 menunjukkan bagaimana hukum bisa menjadi alat yang hanya menekan pihak lemah sementara entitas besar seperti Agung Sedayu Group tampak kebal dari penyidikan. Jika tidak ada upaya sistematis untuk membatasi hubungan pejabat Polri dengan pengusaha, maka institusi penegak hukum akan semakin jauh dari independensi dan kepercayaan publik.
Sudah saatnya masyarakat menuntut reformasi institusi Polri agar kembali kepada tugas utamanya: melayani dan melindungi kepentingan rakyat, bukan para pemilik modal.
0 Komentar