
Oleh: Muzaidah
Aktivis Muslimah
Pagi itu, di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, sebuah rapat tertutup diadakan di salah satu gedung megah di kawasan bisnis. Di dalamnya, sejumlah pejabat tinggi negara dan para taipan besar duduk berdiskusi tentang nasib perekonomian bangsa. Sementara itu, di luar gedung, rakyat merasakan dampak dari kebijakan yang tidak mereka pahami sepenuhnya. Dalam suasana tegang tersebut, muncul pertanyaan besar: Apakah benar langkah menggadaikan aset negara kepada taipan besar akan menyelamatkan perekonomian, atau justru membahayakan kedaulatan negara itu sendiri?
Pada 6 Maret 2025, Presiden Prabowo Subianto mengadakan pertemuan di Istana Kepresidenan, Jakarta, dengan sejumlah konglomerat ternama. Beberapa di antaranya adalah Sugianto Kusuma (Aguan), pemilik Agung Sedayu Grup, serta Prajogo Pangestu, pemilik Barito Pacific. Selain itu, taipan lain seperti Garibaldi Thohir, Franky Oesman Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata Yamak juga turut hadir dalam pertemuan tersebut (kompas.tv, 7/3/2025).
Keberadaan para taipan dalam pertemuan tersebut tentu bukan tanpa alasan. Presiden sedang membutuhkan dana besar untuk mendukung program-program pemerintahannya agar tetap berjalan, seperti proyek Giant Sea Wall, MBG, Koperasi Merah Putih, dan berbagai proyek lainnya yang diperkirakan menelan biaya ratusan triliun rupiah. Oleh karena itu, para taipan dan konglomerat tersebut dipanggil guna menggalang dana. Tentu saja, di balik itu ada hubungan kerja sama bisnis yang menguntungkan kedua belah pihak (kontan.co.id, 8/3/2025).
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak. Keterlibatan taipan dalam pengambilan keputusan ekonomi negara berpotensi menciptakan dominasi kelompok tertentu yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis dibandingkan kesejahteraan rakyat. Apalagi, para taipan yang hadir dalam pertemuan tersebut juga diketahui memiliki keterlibatan besar dalam proyek-proyek seperti PIK 1 hingga PIK 3 yang masih berlangsung, serta proyek Rempang yang sempat menjadi kontroversi tahun lalu.
Fakta ini makin memperjelas bagaimana kekayaan negara semakin terpusat di tangan segelintir individu kaya. Kebijakan pemerintah pun cenderung berpihak pada kepentingan privatisasi dengan dalih meningkatkan efisiensi dan mengurangi beban negara. Namun, realitasnya, langkah ini justru mengurangi kontrol negara atas sektor-sektor vital yang seharusnya dikelola demi kepentingan rakyat. Sayangnya, alih-alih menyejahterakan masyarakat, keuntungan dari sektor-sektor ini lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki hubungan erat dengan para taipan. Akibatnya, perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh mereka lebih mementingkan keuntungan pribadi dibandingkan kesejahteraan sosial.
Keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha besar semakin terlihat jelas dalam berbagai kebijakan yang mereka buat. Salah satunya adalah keringanan pajak dan regulasi yang lebih fleksibel bagi perusahaan-perusahaan besar, sementara usaha kecil dan menengah (UMKM) justru harus menanggung beban yang lebih berat. Kondisi ini semakin memperlebar ketimpangan sosial dan ekonomi, membuat rakyat kecil kian terpinggirkan.
Fenomena seperti ini juga memunculkan pertanyaan besar mengenai transparansi dalam pengambilan keputusan. Apakah kebijakan yang dibuat benar-benar berpihak pada seluruh lapisan masyarakat, atau hanya menguntungkan kelompok elite yang memiliki kuasa dan modal? Isu ini sangat penting untuk diperhatikan, karena jika kebijakan lebih mengutamakan kepentingan segelintir orang kaya, maka negara bisa semakin terjerumus dalam sistem oligarki yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Selain itu, ketergantungan negara pada taipan dan pengusaha besar juga berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Demokrasi yang seharusnya berorientasi pada kesejahteraan rakyat justru semakin menjauh dari esensi sebenarnya. Ketika pemerintah lebih condong kepada kepentingan segelintir elit bisnis, maka rakyat pun semakin sulit mendapatkan hak-haknya secara adil dan merata.
Dalam pandangan Islam, investasi dari pihak luar tidak sepenuhnya dilarang, tetapi ada tiga syarat ketat yang harus dipenuhi.
Pertama, investasi asing tidak boleh mencakup sektor kepemilikan umum, seperti sumber daya alam (SDA), kawasan hutan, dan berbagai aset yang menjadi kebutuhan utama rakyat.
Kedua, investasi tersebut tidak boleh mengandung unsur riba, baik dalam bentuk kerja sama bisnis maupun bunga utang yang bertentangan dengan syariat Islam.
Ketiga, investasi asing tidak boleh menjadi sarana penjajahan ekonomi yang berujung pada ketergantungan negara terhadap pihak luar.
Jika negara tidak mampu memenuhi ketiga syarat di atas, maka Islam melarang keras adanya kerja sama dengan taipan atau pihak asing dengan alasan apa pun. Islam memiliki mekanisme tersendiri dalam mengelola perekonomian negara, sehingga ketergantungan terhadap taipan tidak lagi diperlukan. Dalam sistem Islam, pemasukan negara sudah cukup melalui baitulmal yang mengelola hasil tambang, SDA, harta ghanimah, fai’, dan berbagai sumber lainnya yang telah diatur dalam syariat.
Ketika sumber daya alam dikelola sesuai syariat Islam, maka bantuan dari pihak asing tidak lagi dibutuhkan. Negara harus memiliki prinsip kemandirian dalam menyelesaikan problematika umat, bukan justru menggantungkan nasib pada segelintir kapitalis yang hanya mencari keuntungan.
Lebih jauh, ketika taipan memiliki andil besar dalam menentukan arah kebijakan negara, maka sistem demokrasi dengan sendirinya akan runtuh. Demokrasi yang berbasis kapitalisme menjadikan materi sebagai tolok ukur utama dalam setiap kebijakan, sehingga keuntungan lebih banyak mengalir kepada segelintir orang, yakni para taipan dan konglomerat.
Mengandalkan segelintir taipan untuk menyelamatkan perekonomian negara hanya akan memperburuk kesenjangan sosial. Sejarah telah membuktikan bahwa satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh adalah Islam. Ketika negara menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, kesejahteraan bukan hanya sekadar janji, tetapi menjadi sebuah realitas yang terbukti sepanjang sejarah peradaban Islam.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar