
Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat
Mudik Lebaran telah menjadi tradisi tahunan bagi masyarakat Indonesia. Setiap tahun, jutaan orang melakukan perjalanan ke kampung halaman untuk merayakan Idulfitri bersama keluarga. Namun, perjalanan mudik sering kali diwarnai berbagai persoalan, mulai dari kemacetan parah, tarif transportasi yang melambung tinggi, hingga tingginya angka kecelakaan. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah ini, seperti diskon tiket transportasi umum dan penyediaan layanan tambahan (Sindonews, 7 Maret 2025). Namun, kebijakan ini belum cukup untuk menjamin kenyamanan dan keselamatan para pemudik.
Salah satu masalah utama dalam sistem transportasi saat mudik adalah tata kelola yang kurang efektif. Pemerintah lebih banyak berperan sebagai regulator yang mengatur harga tiket dan rute transportasi, sementara pengelolaan operasional diserahkan kepada swasta. Akibatnya, transportasi umum menjadi layanan yang bersifat komersial, bukan fasilitas publik yang dapat diakses dengan mudah oleh seluruh rakyat. Kondisi ini membuka celah bagi praktik spekulasi harga, kurangnya standar keamanan yang ketat, serta infrastruktur yang tidak merata di berbagai daerah.
Selain itu, meningkatnya jumlah kendaraan pribadi yang digunakan untuk mudik juga berkontribusi pada kemacetan parah. Hal ini terjadi karena masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada transportasi umum yang dianggap kurang nyaman, mahal, dan tidak tepat waktu. Keberadaan "travel gelap" yang tidak memiliki izin resmi juga semakin menjamur karena ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan layanan transportasi umum (Liputan6, 7 Maret 2025).
Kegagalan Kapitalisme dalam Menjamin Transportasi yang Adil
Permasalahan transportasi yang berulang setiap tahun tidak dapat dilepaskan dari sistem kapitalisme yang menjadikan transportasi sebagai komoditas bisnis. Dalam sistem ini, pengelolaan transportasi lebih berorientasi pada keuntungan daripada pelayanan publik. Akibatnya, akses terhadap transportasi yang layak menjadi hak eksklusif bagi mereka yang mampu membayar lebih mahal, sementara masyarakat ekonomi menengah ke bawah sering kali harus berhadapan dengan keterbatasan layanan.
Ketimpangan pembangunan infrastruktur juga menjadi masalah besar. Pembangunan sarana transportasi lebih banyak difokuskan di daerah perkotaan atau wilayah yang dianggap memiliki nilai ekonomi tinggi. Sementara itu, daerah-daerah terpencil masih kesulitan mendapatkan akses transportasi yang memadai. Hal ini semakin memperparah ketimpangan ekonomi antara kota dan desa serta memaksa masyarakat desa untuk mencari pekerjaan di kota, sehingga arus mudik menjadi fenomena yang terus berulang.
Di sisi lain, liberalisasi sektor transportasi yang membuka peluang bagi swasta untuk mengelola layanan ini telah menambah beban masyarakat. Harga tiket transportasi sering kali melonjak menjelang musim mudik karena mekanisme pasar yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dalam penyediaan layanan transportasi justru membiarkan harga diatur oleh pasar.
Solusi Islam dalam Pengelolaan Transportasi Publik
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki sistem yang menjamin transportasi sebagai kebutuhan publik yang wajib disediakan oleh negara. Dalam Islam, sarana transportasi bukanlah sektor bisnis yang boleh dikomersialkan oleh individu atau perusahaan swasta, melainkan tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa seluruh rakyat dapat menikmati layanan transportasi yang aman, nyaman, dan terjangkau.
Islam mewajibkan negara untuk membangun infrastruktur transportasi yang merata di seluruh wilayah, sehingga akses terhadap transportasi tidak hanya terpusat di kota-kota besar. Pembangunan yang merata ini akan membuka peluang ekonomi di berbagai daerah dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada kota-kota besar, sehingga fenomena mudik dalam skala besar dapat diminimalisir.
Pendanaan dalam sistem Islam juga lebih mandiri dan tidak bergantung pada pajak atau utang luar negeri. Sumber daya alam yang dikelola oleh negara dapat menjadi sumber pendapatan utama dalam pembangunan infrastruktur transportasi. Dengan pengelolaan yang amanah, negara mampu menyediakan layanan transportasi publik yang berkualitas tanpa harus membebani rakyat dengan biaya tinggi.
Selain itu, dalam sistem Islam, negara memastikan bahwa standar keselamatan dalam transportasi benar-benar diterapkan. Pemerintah tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga penyelenggara utama yang mengawasi langsung operasional transportasi. Dengan demikian, praktik seperti "travel gelap" yang berisiko bagi keselamatan penumpang tidak akan terjadi, karena negara telah menyediakan layanan transportasi yang memadai bagi seluruh rakyat.
Khatimah
Masalah transportasi saat mudik merupakan gambaran dari kegagalan sistem kapitalisme dalam menyediakan layanan publik yang adil dan merata. Sistem ini menjadikan transportasi sebagai sektor bisnis yang lebih mengutamakan keuntungan daripada kesejahteraan rakyat. Ketimpangan infrastruktur, harga tiket yang mahal, dan layanan transportasi yang tidak memadai adalah konsekuensi dari sistem yang tidak berpihak pada rakyat.
Solusi sejati untuk masalah ini adalah penerapan sistem Islam yang menjamin transportasi sebagai fasilitas publik yang dikelola negara demi kemaslahatan rakyat. Dengan sistem ini, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam menyediakan layanan transportasi yang aman, nyaman, murah, dan merata. Dengan demikian, fenomena mudik yang penuh dengan kesulitan dapat diminimalisir, dan rakyat dapat merasakan kemudahan dalam bepergian, baik saat mudik maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
0 Komentar