MINYAKITA SELISIH TAKARAN, MASYARAKAT KEMBALI DIRUGIKAN


Oleh: Sari Yulia
Guru Swasta

Baru-baru ini ditemukan minyak goreng kemasan bermerk MinyaKita yang terbukti mengurangi takaran dan dijual di atas harga ecer tertinggi (HET).

Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, melakukan inspeksi mendadak ke Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan, untuk memastikan ketersediaan Sembilan Bahan Pokok (Sembako) bagi masyarakat. Mentan menemukan MinyaKita dari 3 Produsen berbeda yang tidak sesuai aturan. Terdapat selisih takaran mencapai 100ml hingga 300ml lebih sedikit dari takaran yang tertera pada kemasan. Selain itu, harga jualnya pun lebih mahal dari harga ecer tertinggi (HET) yang dianjurkan Kementrian Perdagangan (Kemendag).

Mentan menuturkan, "volumenya tidak sesuai, harusnya 1 liter tapi hanya 750ml hingga 800ml. Harga di kemasan Rp15.700 per liter tapi dijual Rp18.000 per liter. Ini adalah bentuk kecurangan yang merugikan rakyat, terutama di bulan Ramadhan saat kebutuhan bahan pokok meningkat. Saya sudah berkoordinasi dengan Kabareskrim dan Satgas Pangan, jika terbukti ada pelanggaran, perusahaan ini harus ditutup dan dicabut izinnya." (tirto.id, 9 Maret 2025)

Kepala Satgas Pangan Polri, Brigjen Pol. Helfi Assegaf, menyebutkan nama tiga produsen tersebut, yakni PT Artha Eka Global Asia yang berlokasi di Depok, Jawa Barat; Koperasi Produsen UMKM Kelompok Terpadu Nusantara yang berlokasi di Kudus, Jawa Tengah; dan PT Tunas Agro Indolestari yang berlokasi di Tangerang, Banten.

Menanggapi temuan ini, Brigjen Pol. Helfi, menyampaikan bahwa Satgas telah menyita barang bukti dan melakukan penyelidikan serta penyidikan lebih lanjut. (Antaranews.com, 9 Maret 2025)

Adanya berbagai bentuk kecurangan ini menunjukkan gagalnya negara dalam mengatasi banyaknya korporat berorientasi untung yang seakan berkuasa untuk menggenggam distribusi kebutuhan pangan masyarakat. Sedangkan negara hanya hadir untuk menjamin bisnis yang kondusif bagi para kapital. Bahkan jika pun negara mendapati perusahan yang melakukan kecurangan dan merugikan rakyat, belum ada sanksi yang dapat menjerakan para pelaku.

Inilah potret penerapan sistem ekonomi kapitalisme dengan asas liberalisme yang menyebabkan para korporat seakan mendapat karpet merah untuk menguasai rantai distribusi pangan dari hulu ke hilir. Sehingga negara seolah tidak punya kewenangan dan hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Paradigma kapitalisme menjadikan negara abai terhadap tanggungjawabnya sebagai pengurus dan pelayan umat.

Sedangkan bila dilihat dari pandangan Islam, seharusnya pengaturan tentang pemenuhan berbagai hajat hidup rakyat berada di bawah kendali pemerintah. Sebab pemimpin merupakan pengurus umat yang paradigmanya adalah pelayanan, bukan sekedar bisnis atau mencari keuntungan.

Pelayanan dalam pandangan Islam dapat merujuk pada firman Allah ﷻ, yang artinya, "Dan mereka (Anshar) mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan" (QS. Al-Hasyr ayat 9)

Maka seharusnya pemenuhan kebutuhan pangan pun menjadi tanggungjawab negara yang harus dijalankan dengan berbagai mekanisme syariat. Pemenuhan ini sama sekali tidak diperbolehkan untuk diatur atau diserahkan kepada korporasi, sebab negaralah yang bertanggungjawab untuk memenuhi hajat masyarakat dengan cara mementingkan kebutuhan masyarakat dibanding keuntungan pribadi semata.

Itulah pentingnya mempelajari dan menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh) sebagai aturan dasar kehidupan. Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah ﷺ ketika memimpin daulah islamiyah dalam naungan Khilafah. Bukankah kini sudah saatnya kita bergandengan tangan guna mewujudkannya?

Wallahu a'lam.

Posting Komentar

0 Komentar