MEMBONGKAR NARASI FANATISME AGAMA DAN POLITIK DI INDONESIA


Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas

Dalam diskusi yang melibatkan Raymond Chin, Ferry Irwandi, dan Ustaz Felix Siauw, banyak perspektif menarik yang diangkat terkait peran agama, politik, dan fanatisme dalam membentuk lanskap sosial di Indonesia. Salah satu poin utama yang mereka bahas adalah bagaimana agama sering kali digunakan sebagai alat politik dan bagaimana masyarakat kerap dimanipulasi oleh narasi yang menggiring opini publik ke arah tertentu. Namun, pertanyaannya: apakah benar agama adalah sumber pembodohan, atau justru sistem politik yang gagal mengelola keberagaman berpikir?


Agama: Pembodohan atau Kebangkitan Pemikiran?

Salah satu argumen yang dilemparkan dalam diskusi ini adalah bahwa agama, khususnya Islam, memiliki narasi yang begitu "grande" sehingga membuat masyarakat yang tidak memiliki taraf berpikir tinggi cenderung menerima mentah-mentah ajaran tersebut tanpa berpikir kritis. Ini adalah pandangan yang berbahaya karena menempatkan agama sebagai instrumen pembodohan, bukan sebagai jalan menuju kecerdasan dan pemahaman.

Ustaz Felix Siauw dengan tegas membantah anggapan ini, menyatakan bahwa agama tidak bisa disalahkan atas kebodohan masyarakat, melainkan manusia yang salah menafsirkan dan memanipulasi agama demi kepentingan mereka sendiri. Jika agama dianggap sebagai alat pembodohan, bagaimana mungkin peradaban Islam di masa lalu melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Al-Khwarizmi, Ibn Sina, dan Al-Farabi yang membawa kemajuan luar biasa dalam ilmu pengetahuan?


Agama dan Politik: Polarisasi yang Diciptakan?

Pembahasan juga menyentuh bagaimana isu agama selalu menjadi alat polarisasi dalam pemilu, khususnya dalam periode 2014, 2019, dan 2024. Narasi yang diusung seolah-olah agama selalu menjadi alat politik yang memperkeruh suasana. Padahal, kenyataannya, yang memperkeruh adalah sistem politik yang tidak memberikan ruang bagi diskusi yang sehat.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa politik adalah bagian dari agama dalam Islam. Jika politik dilepaskan dari agama, maka akan terjadi kekosongan nilai yang memungkinkan kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat. Masalahnya bukan pada agama yang masuk ke dalam politik, tetapi bagaimana agama itu ditafsirkan dan dimanipulasi oleh kepentingan kelompok tertentu.


Sistem vs. Pemimpin: Apakah Pemimpin yang Baik Cukup?

Diskusi juga menyentuh perbedaan antara mencari pemimpin yang baik dan membangun sistem yang baik. Banyak orang terjebak dalam harapan bahwa pemimpin tertentu bisa membawa perubahan besar, padahal tanpa sistem yang mendukung, pemimpin sehebat apa pun akan tersandera oleh keadaan.

Ustaz Felix menekankan bahwa yang diperlukan bukan hanya pemimpin yang baik, tetapi juga sistem kepemimpinan yang baik. Ini adalah poin yang sangat valid, karena sejarah telah menunjukkan bahwa pemimpin baik dalam sistem yang buruk tidak akan mampu menjalankan kebijakan yang bermanfaat bagi rakyatnya.


Mengapa Orang Jahat Lebih Mudah Bersatu?

Salah satu bagian paling menarik dalam diskusi ini adalah analisis tentang mengapa orang-orang dengan niat buruk lebih mudah bersatu dibandingkan mereka yang ingin membawa kebaikan. Hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa mereka yang memiliki kepentingan pragmatis lebih fleksibel dalam kompromi, sementara mereka yang memiliki idealisme tinggi cenderung lebih sulit untuk berkoalisi.

Namun, apakah ini berarti bahwa mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai tidak bisa bersatu? Tentu saja tidak. Justru tantangan terbesar bagi mereka yang ingin membawa perubahan adalah menemukan titik temu dalam perjuangan mereka tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang mereka pegang.


Mencari Solusi di Tengah Narasi yang Berkembang

Diskusi ini membuka mata bahwa isu fanatisme agama dan politik bukanlah persoalan sederhana. Masalah sebenarnya terletak pada bagaimana sistem saat ini memungkinkan manipulasi narasi untuk kepentingan tertentu. Agama bukanlah sumber pembodohan, tetapi manusia yang salah dalam memahami dan menerapkannya. Sistem politik yang ada tidaklah netral, tetapi dibentuk oleh mereka yang ingin mempertahankan status quo.

Solusi yang dibutuhkan bukan hanya mencari pemimpin yang baik, tetapi juga merancang sistem yang benar-benar mampu membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Selama umat masih terjebak dalam pertarungan narasi yang salah arah, perubahan yang diharapkan akan sulit terwujud. Maka, saatnya umat Islam tidak hanya berpikir reaktif terhadap isu-isu yang berkembang, tetapi juga berusaha membangun sistem yang benar-benar mampu menjawab tantangan zaman.

Posting Komentar

0 Komentar