KRITIK DIBUNGKAM, KEKAYAAN DIKUASAI: NEGERI INI MILIK SIAPA?


Oleh: Arslan
Aktivis Perubahan

Indonesia adalah negeri yang kaya. Dengan sumber daya alam yang melimpah emas, minyak, batubara, gas, nikel, dan sawit seharusnya rakyat hidup sejahtera. Namun, realitas berbicara sebaliknya. Negeri yang kaya ini justru menjadi ladang subur bagi segelintir oligarki, sementara rakyat hanya menjadi penonton dalam perampokan sistematis kekayaan bangsa.

Konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Namun, dalam praktiknya, yang menikmati kekayaan tersebut adalah kelompok elite seperti Anthony Salim, Prayogo Pangestu, Aguan, Tomy Winata, Boy Tohir, Low Tuck Kwong, dan beberapa konglomerat lainnya. Ironisnya, keluarga presiden dan para pejabat juga tak luput dari daftar penerima manfaat dari sistem yang tidak adil ini.

Sementara itu, rakyat hanya bisa mengeluh: “Tanah kami kaya emas, kaya akan minyak. Kami berada di atas bumi yang penuh minyak dan emas. Tapi kami hanya bisa hidup dengan berjualan buah pinang.” Ketidakadilan ini telah berlangsung lama dan semakin diperparah dengan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada pemodal ketimbang rakyatnya sendiri.

Lebih dari sekadar perampokan kekayaan, ketidakadilan juga terlihat dalam upaya sistematis untuk membungkam kritik dan perlawanan. Baru-baru ini, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) bersama TNI menggagas Operasi Siber untuk menangani ancaman terhadap kedaulatan negara. Sekilas, kebijakan ini terdengar masuk akal. Namun, apakah benar sasarannya adalah ancaman nyata terhadap negara, atau justru mereka yang vokal mengkritik pemerintah?

Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa dalih ‘menjaga stabilitas’ sering digunakan sebagai senjata untuk membungkam suara-suara kritis. Polri telah lama menggunakan UU ITE untuk menyerang para pengkritik dengan tuduhan penyebaran hoaks. Kini, dengan revisi UU TNI, bukan mustahil militer akan mengambil peran dalam represifme terhadap kebebasan sipil.

Narasi ‘melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah’ bisa menjadi alat baru untuk membungkam mereka yang berani mengungkap kebobrokan kekuasaan. Padahal, kritik seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah untuk memperbaiki diri, bukan justru dijadikan dalih untuk menekan kebebasan berpendapat.

Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, rakyat telah disuguhi menu harian berupa ketidakadilan, represifme, dan keberpihakan negara kepada oligarki. Kini, di era Prabowo, harapan akan perubahan semakin menipis jika pola represif ini terus dilanjutkan.

Namun, bagi mereka yang berjuang demi keadilan, jangan pernah menyerah. Perjuangan ini bukan tentang popularitas, bukan tentang kepentingan individu, tetapi tentang membela hak rakyat yang terus dirampas. Seperti yang dikatakan Ahmad Khozinudin, “Terimakasih atas segala atensi dan dukungan. Teruslah bersinergi. Cukuplah Allah subhanahu wa ta'ala sebagai tujuan dan harapan atas segala kebajikan yang kita lakukan.”

Perlawanan terhadap ketidakadilan tidak boleh berhenti. Negara ini bukan milik segelintir orang. Indonesia adalah milik rakyat, dan sudah saatnya rakyat mengambil kembali haknya.

Posting Komentar

0 Komentar