
Oleh: Rika Dwi Ningsih
Penulis Lepas
Diskusi di channel Narasi Newsroom dengan bintang tamu Ferry Latuhihin, seorang ekonom dan anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, menyoroti beberapa kebijakan ekonomi yang diusung oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Diskusi ini mengungkap sejumlah kritik dan kekhawatiran yang patut menjadi perhatian publik, terutama terkait dengan pembentukan Danantara, program makan bergizi gratis, dan respons pasar terhadap kebijakan-kebijakan tersebut.
Danantara: Super Holding yang Dipertanyakan
Salah satu topik utama yang dibahas adalah pembentukan Danantara, sebuah super holding BUMN yang dianggap sebagai langkah strategis untuk mengelola aset-aset negara. Namun, Ferry Latuhihin menyatakan skeptisismenya terhadap ide ini. Menurutnya, pembentukan Danantara tidak memiliki justifikasi yang kuat dan bisnis modelnya tidak jelas. Ia mempertanyakan mengapa harus membentuk super holding jika tujuannya hanya untuk mengelola dividen BUMN.
Latuhihin menegaskan bahwa ide ini terkesan "konyol" dan hanya meniru model Temasek di Singapura tanpa mempertimbangkan perbedaan konteks dan kultur bisnis antara Indonesia dan Singapura. Di Singapura, Temasek adalah entitas privat dengan kultur profesional yang kuat, sementara di Indonesia, BUMN sering dikaitkan dengan korupsi dan inefisiensi. Latuhihin juga mengkritik masuknya bank-bank besar seperti BRI, Mandiri, dan BNI ke dalam Danantara, yang menurutnya berisiko tinggi dan bisa memicu moral hazard, mengingat sejarah krisis moneter 1998 yang dipicu oleh praktik serupa.
Respons Pasar yang Negatif
Respons pasar terhadap pembentukan Danantara juga menjadi sorotan. Latuhihin mencatat bahwa pasar merespons negatif dengan anjloknya indeks saham dan melemahnya nilai rupiah. Menurutnya, ini adalah indikator bahwa pasar tidak percaya dengan kebijakan ini. Bahkan, beberapa lembaga internasional seperti Bloomberg dan Stanle memberikan peringatan untuk tidak berinvestasi di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan investor terhadap kebijakan ekonomi pemerintah sedang diuji.
Latuhihin menegaskan bahwa niat baik saja tidak cukup. Pemerintah harus mampu memberikan justifikasi yang kuat dan transparan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil. Tanpa itu, kebijakan seperti Danantara hanya akan dipandang sebagai langkah yang tidak matang dan berisiko.
Antara Niat Baik dan Realitas
Selain Danantara, program makan bergizi gratis (MBG) juga menjadi sorotan. Latuhihin mengkritik implementasi program ini yang dinilai tidak efisien. Menurutnya, program ini seharusnya difokuskan pada daerah-daerah tertinggal yang benar-benar membutuhkan, bukan diberikan secara merata ke seluruh Indonesia. Ia mencontohkan anak-anak di kota besar yang mungkin tidak membutuhkan bantuan makan siang, sementara di daerah terpencil seperti Papua, yang dibutuhkan justru adalah infrastruktur pendidikan yang memadai.
Latuhihin juga mempertanyakan alokasi anggaran program MBG ini yang mencapai Rp171 triliun. Menurutnya, dengan sistem yang lebih terfokus dan efisien, anggaran tersebut bisa dihemat hingga 90%. Namun, yang terjadi justru pemborosan dan manajemen yang buruk, seperti isu sayuran basi dan keracunan makanan di beberapa daerah.
Krisis Kepercayaan dan Ancaman Krisis Ekonomi
Diskusi ini juga menyoroti krisis kepercayaan yang sedang dihadapi oleh pemerintah. Latuhihin mencatat bahwa respons negatif dari pasar dan masyarakat adalah indikator bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil tidak mendapatkan dukungan yang luas. Ia memperingatkan bahwa jika kebijakan ini terus dipaksakan tanpa memperbaiki model bisnis dan transparansi, Indonesia bisa menghadapi krisis ekonomi yang lebih serius, termasuk capital flight dan pelemahan nilai rupiah yang lebih parah.
Latuhihin juga mengkritik cara berpikir pemerintah yang seolah-olah merasa bahwa kebijakan yang dirumuskan oleh "orang-orang pintar" sudah pasti benar dan relevan dengan kondisi lapangan. Padahal, realitasnya justru menunjukkan sebaliknya. Ia menegaskan bahwa pemerintah harus lebih terbuka terhadap kritik dan masukan, serta tidak boleh merasa diri paling benar.
Anak Muda dan Ekspresi Kekecewaan
Tidak hanya dari sisi ekonomi, Latuhihin juga menyoroti ekspresi kekecewaan dari generasi muda. Istilah-istilah seperti "Indonesia gelap" dan "kabur aja dulu" yang viral di media sosial adalah cerminan dari kekecewaan mereka terhadap masa depan yang suram. Latuhihin menegaskan bahwa ini adalah ekspresi spontan yang lahir dari ketidaksesuaian antara harapan dan realitas yang mereka hadapi.
Anak-anak muda yang telah menempuh pendidikan tinggi namun sulit mendapatkan pekerjaan yang layak adalah gambaran nyata dari kegagalan sistem. Latuhihin menyarankan agar pemerintah tidak menganggap enteng ekspresi ini, karena ini adalah tanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam kebijakan dan sistem yang sedang berjalan.
Niat Baik Tidak Cukup
Diskusi ini menggarisbawahi bahwa niat baik saja tidak cukup untuk membawa perubahan yang signifikan. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang diusung oleh pemerintahan Prabowo-Gibran, seperti Danantara dan program makan bergizi gratis, memerlukan justifikasi yang kuat, transparansi, dan implementasi yang efisien. Tanpa itu, kebijakan ini hanya akan dipandang sebagai langkah yang tidak matang dan berisiko.
Pemerintah harus lebih terbuka terhadap kritik dan masukan, serta tidak boleh merasa diri paling benar. Jika tidak, krisis kepercayaan yang sedang dihadapi saat ini bisa berujung pada krisis ekonomi yang lebih serius. Anak muda, pasar, dan masyarakat luas membutuhkan kepastian dan kejelasan, bukan sekadar janji-janji dan niat baik yang tidak diikuti dengan tindakan nyata.
0 Komentar