ISLAM DAN KEMULIAAN AKAL: MENGAPA KAPITALISME GAGAL MENCETAK MANUSIA BERPIKIR?


Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas

Allah ﷻ telah mengaruniakan akal kepada manusia sebagai anugerah terbesar. Akal inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya, menjadikannya mampu berpikir, merenung, dan memahami kebenaran. Islam menempatkan akal pada posisi yang sangat tinggi, menjadikannya alat untuk menjemput hidayah dan mencapai derajat tertinggi di sisi Allah.


Islam Mendorong Manusia untuk Berpikir

Tak terhitung ayat dalam Al-Qur’an yang mendorong manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَلَا تَعْقِلُونَ
"Afalā ta‘qilūn?"
Tidakkah kalian berpikir? (QS. Al-Baqarah [2]: 44)

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
"Afalā yatadabbarūnal-Qur’āna am ‘alā qulūbin aqfāluhā?"
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad [47]: 24)

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang mengajak manusia untuk menerima sesuatu secara dogmatis, apalagi hanya karena faktor keturunan. Seorang Muslim sejati adalah mereka yang berislam dengan penuh kesadaran, melalui proses berpikir yang mendalam.

Bukti nyata dari ini adalah wahyu pertama yang diterima Rasulullah ﷺ, yaitu "اقْرَأْ" (Iqro’! – Bacalah!). Perintah ini bukan sekadar ajakan untuk membaca dalam arti harfiah, tetapi mengandung makna luas: memahami, mengkaji, dan merenungi segala sesuatu yang ada di sekeliling. Dengan berpikir, manusia tidak hanya membaca yang terlihat, tetapi juga merenungi yang tidak terlihat, mendalami hakikat kebenaran, serta mencermati mana yang haq dan mana yang batil.

Imam Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullahu Ta’ala berpesan:

تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ
"Berpikir sesaat lebih baik daripada melaksanakan shalat semalam suntuk."

Imam Al-Hasan Al-Bashri menekankan bahwa berpikir bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga bentuk ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah.


Islam: Peradaban yang Mengangkat Derajat Akal

Sejarah membuktikan bahwa Islam telah mencetak generasi cerdas yang tak terhitung jumlahnya. Dari masa ke masa, umat Islam melahirkan ilmuwan, pemikir, dan ulama besar yang berkontribusi dalam berbagai bidang.

Allah ﷻ memuji orang-orang yang menggunakan akalnya untuk mendekatkan diri kepada-Nya:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (QS. Ali ‘Imran [3]: 190)

Ayat ini menunjukkan bahwa peradaban Islam telah mendorong manusia untuk terus berpikir dan mencari ilmu. Tidak heran jika Islam melahirkan ilmuwan seperti Al-Khawarizmi dalam bidang matematika, Ibnu Sina dalam kedokteran, Al-Farabi dalam filsafat, dan banyak lainnya.

Namun, berbeda dengan peradaban Islam, sistem kapitalisme yang hari ini menguasai dunia justru membunuh potensi berpikir manusia.


Kapitalisme: Sistem yang Membunuh Akal

Kapitalisme telah gagal mencetak manusia yang berpikir mendalam dan berkontribusi bagi kebaikan dunia. Alih-alih melahirkan generasi cerdas dan beradab, sistem ini justru menciptakan manusia-manusia yang rusak akalnya. Pendidikan kapitalisme hanya berorientasi pada materi, menjadikan manusia sekadar alat produksi yang sibuk bekerja untuk kepentingan korporasi.

Manusia dididik untuk berpikir pragmatis, mencari keuntungan tanpa memedulikan nilai-nilai moral dan kebenaran hakiki. Akibatnya, lahir generasi yang lebih tertarik mengejar kenikmatan sesaat daripada mendalami ilmu dan memahami kehidupan dengan jernih.

Allah telah memperingatkan bahaya kehidupan dunia yang melalaikan manusia dari berpikir tentang hakikat hidup:

وَمَا هَٰذِهِ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا لَهْوٌۭ وَلَعِبٌۭ ۚ وَإِنَّ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ لَهِىَ ٱلْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا۟ يَعْلَمُونَ
Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, sedangkan negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu berpikir? (QS. Al-Ankabut [29]: 64)

Berbeda dengan Islam yang mendorong manusia berpikir demi kebenaran, kapitalisme justru menenggelamkan manusia dalam budaya konsumtif, hedonisme, dan kebodohan yang terstruktur.


Peran Pengemban Dakwah: Menyadarkan Umat

Di tengah kegelapan peradaban kapitalisme, masih ada segelintir orang yang tetap menjaga kejernihan berpikirnya. Mereka adalah para pengemban dakwah yang berjuang di tengah umat untuk mengembalikan kejayaan Islam.

Namun, sering kali terjadi jarak antara para pengemban dakwah dan umat. Jarak ini sejatinya bukanlah sesuatu yang tidak bisa diatasi. Sebagaimana dijelaskan, kesenjangan ini hanya persoalan komunikasi antara yang menjelaskan dan yang bersedia mendengarkan.

Allah berfirman:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ ٱلذِّكْرَىٰ تَنفَعُ ٱلْمُؤْمِنِينَ
"Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman." (QS. Adz-Dzariyat [51]: 55)

Maka, tugas para pengemban dakwah adalah terus menyampaikan kebenaran, menjelaskan dengan sebaik-baiknya, dan mengajak umat untuk kembali berpikir jernih. Di sisi lain, umat pun harus membuka hati dan akalnya agar dapat menerima penjelasan ini dengan baik.

Karena sejatinya, ketika kebenaran disampaikan dengan jelas dan manusia mau berpikir dengan akalnya yang sehat, tidak ada alasan bagi mereka untuk menolaknya.

Saatnya umat Islam kembali kepada fitrah berpikirnya, meninggalkan sistem rusak yang membutakan akal, dan membangun kembali peradaban yang berlandaskan Islam.

Posting Komentar

0 Komentar