
Oleh: Darul Al-Fatih
Pembelajar
Dalam episode kelima dari seri Escape di channel Raymond Chin, Ustadz Felix Siauw membawa pembahasan yang mendalam tentang esensi ibadah, tantangan menjadi muslim yang otentik, serta fenomena "faking" dalam beragama. Episode ini tidak hanya memicu refleksi, tetapi juga memberikan perspektif segar tentang bagaimana kita seharusnya menjalankan agama dengan kesadaran penuh, bukan sekadar ritual.
Membuka dengan Tepuk Tangan, Bukan Salam
Episode ini dibuka dengan sedikit kelucuan ketika Raymond meminta penonton untuk bertepuk tangan, bukan mengucapkan salam seperti biasa. Ini menjadi pembuka yang unik, menunjukkan bahwa episode ini akan berbeda dari yang sebelumnya. Raymond bahkan bercerita tentang pengalamannya baru saja shalat setelah lebih dari 10 tahun, sebuah momen yang sangat personal dan menggugah.
Mengejar Lailatul Qadar: Escape dari Rutinitas
Ustadz Felix Siauw kemudian membahas tentang momen penting di bulan Ramadan, yaitu mencari Lailatul Qadar. Menurutnya, Ramadan adalah waktu yang tepat untuk "escape from routine" atau melarikan diri dari rutinitas yang membosankan. Namun, esensi dari pelarian ini bukan sekadar menghindari rutinitas lama, tetapi menciptakan rutinitas baru yang lebih bermakna.
Ustadz Felix menekankan bahwa ibadah seperti shalat dan wudu seharusnya memberikan energi dan ketenangan, bukan sekadar gerakan fisik. Dia bercerita bagaimana pengalamannya sendiri merasakan energi baru setelah wudu dan ketenangan saat sujud. Ini adalah momen di mana kita menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, atau yang disebut sebagai The Power of Surrender.
Tantangan dalam Menjalankan Ibadah: Ritual vs Esensi
Salah satu poin penting yang dibahas dalam episode ini adalah perbedaan antara menjalankan ibadah sebagai ritual dan memahami esensinya. Felix mengkritik fenomena di mana banyak muslim yang menjalankan ibadah hanya sebagai rutinitas tanpa memahami makna di baliknya. Misalnya, banyak yang hafal Al-Fatihah, tetapi tidak tahu artinya. Ini menunjukkan bahwa ibadah mereka hanya bersifat fisik, tanpa menyentuh sisi spiritual.
Raymond juga menambahkan bahwa banyak orang menggunakan agama sebagai "tameng" untuk membenarkan tindakan mereka. Misalnya, pejabat yang korupsi tetapi rajin shalat atau berhaji. Ini adalah bentuk "faking" dalam beragama, di mana seseorang terlihat religius di luar, tetapi tidak memiliki integritas dalam tindakan sehari-hari.
Fenomena "Faking" dalam Beragama
Ustadz Felix menjelaskan bahwa "faking" dalam beragama bisa terjadi ketika seseorang melakukan ibadah bukan untuk Allah, tetapi untuk mendapatkan pengakuan dari manusia. Ini disebut sebagai riya, sebuah konsep dalam Islam yang merujuk pada tindakan yang dilakukan untuk pamer atau mendapatkan pujian. Akibatnya, semua pahala dari ibadah tersebut tidak dihitung, bahkan bisa berubah menjadi dosa.
Contoh lain yang dibahas adalah fenomena mualaf yang masuk Islam hanya untuk mendapatkan popularitas atau keuntungan politik. Ustadz Felix menegaskan bahwa ini adalah bentuk manipulasi yang berbahaya, karena tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merusak citra Islam.
Membangun Koneksi Spiritual yang Otentik
Untuk menghindari "faking" dalam beragama, Felix menekankan pentingnya membangun koneksi spiritual yang otentik dengan Allah. Ini bisa dimulai dengan memahami esensi dari setiap ibadah yang kita lakukan. Misalnya, shalat bukan sekadar gerakan fisik, tetapi momen untuk berkomunikasi dengan Allah. Puasa bukan sekadar menahan lapar, tetapi melatih kesabaran dan empati.
Felix juga menyarankan agar kita tidak hanya fokus pada ritual, tetapi juga pada pengembangan karakter dan integritas. Agama seharusnya menjadi fondasi untuk membangun kepribadian yang baik, bukan sekadar alat untuk mendapatkan keuntungan duniawi.
Tantangan bagi Pendakwah: Membuat Orang Mau, Bukan Sekadar Bisa
Raymond kemudian mengajak Ustadz Felix untuk membahas tantangan yang dihadapi oleh pendakwah. Menurut Ustadz Felix, tugas utama pendakwah bukan hanya membuat orang bisa menjalankan agama, tetapi membuat mereka mau menjalankannya dengan kesadaran penuh. Ini membutuhkan pendekatan yang lebih personal dan memahami psikologi manusia.
Ustadz Felix mencontohkan bagaimana Rasulullah ﷺ mendekati orang-orang dengan cara yang lembut dan penuh empati. Misalnya, ketika seorang anak kecil bernama Abu Umair sedih karena burung peliharaannya mati, Rasulullah ﷺ tidak langsung memberi nasihat, tetapi mendekatinya dengan cara yang menghibur. Ini menunjukkan bahwa pendekatan psikologis sangat penting dalam dakwah.
Agama sebagai Fondasi, Manusia sebagai Penjaga
Di akhir episode, Ustadz Felix mengutip perkataan Imam Ghazali yang menyatakan bahwa agama adalah fondasi, sedangkan penguasa atau pemimpin adalah penjaganya. Jika fondasinya kuat tetapi tidak ada yang menjaganya, maka agama tidak akan bisa berkembang dengan baik. Ini menjadi tantangan bagi kita semua, terutama para pemimpin dan pendakwah, untuk menjaga dan menyebarkan agama dengan cara yang benar.
Episode ini ditutup dengan pesan bahwa menjadi muslim yang otentik bukanlah hal yang mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan jika kita memahami esensi dari setiap ibadah dan menjalankannya dengan kesadaran penuh. Tantangan terbesar adalah melawan "faking" dalam beragama dan membangun koneksi spiritual yang otentik dengan Allah.
0 Komentar