
Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas
Dalam dunia yang semakin penuh polarisasi, istilah "radikalisme" sering kali digunakan sebagai label yang membingungkan. Radikal dianggap sebagai ancaman, sebagai sesuatu yang harus dijauhi. Namun, jika kita melihat lebih dalam, apa sebenarnya arti radikal? Apakah setiap orang yang memiliki pemikiran kuat dan mendalam bisa disebut radikal? Ataukah istilah ini telah mengalami penyimpangan makna hingga mengaburkan esensi aslinya?
Radikalisme: Akar yang Mengakar, Bukan Sekadar Ekstremisme
Secara bahasa, "radikal" berasal dari kata Latin radix, yang berarti akar. Menjadi radikal berarti memiliki pemahaman yang mendalam, bukan sekadar ekstremisme yang membabi buta. Namun, dunia modern telah menggeser makna ini. Radikalisme tidak lagi dipahami sebagai berpikir sampai ke akar persoalan, tetapi justru diidentikkan dengan kekerasan dan intoleransi.
Ironisnya, ketika seseorang berpegang teguh pada prinsipnya, ia sering kali dicap sebagai radikal. Padahal, jika kita melihat sejarah, banyak tokoh besar dunia yang justru mencapai perubahan karena pemikiran radikal mereka. Mereka tidak mudah goyah, mereka berpikir jauh ke depan, dan mereka tetap teguh meskipun menghadapi banyak tantangan.
Namun, di sisi lain, ada pula orang-orang yang mengklaim diri sebagai pembela agama, tetapi justru menggunakannya untuk membodohi orang lain. Mereka mengambil satu bagian dari agama, mengabaikan bagian lainnya, dan menciptakan narasi yang justru menjauhkan esensi Islam dari makna sebenarnya. Inilah yang disebut sebagai cherry-picking dalam memahami Islam—memilih yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan mengabaikan keseluruhan ajaran yang utuh.
Islam: Rahmat bagi Seluruh Alam
Islam tidak diturunkan hanya untuk satu kelompok manusia tertentu. Dalam Al-Qur’an, seruan kepada "umat manusia" lebih banyak dibandingkan dengan seruan kepada "orang-orang beriman." Artinya, Islam hadir sebagai solusi bagi seluruh umat manusia, bukan hanya bagi mereka yang telah beriman. Namun, bagaimana Islam dipahami dan diterapkan oleh manusia sering kali berbeda dengan nilai aslinya.
Ketika agama hanya dijadikan ritual tanpa pemahaman mendalam, ia kehilangan esensinya. Sebaliknya, ketika agama dijadikan alat politik atau alat untuk menghakimi, maka ia berubah menjadi sesuatu yang menyesatkan. Islam bukan sekadar ibadah individu, tetapi juga memiliki sistem ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang lengkap. Sayangnya, banyak yang memahami Islam hanya dari permukaannya, sehingga ketika ada yang mengingatkan pentingnya penerapan Islam secara menyeluruh, ia justru dianggap sebagai ancaman.
Interpretasi dan Bahaya Ketidaktahuan
Salah satu penyebab utama lahirnya ekstremisme adalah ketidaktahuan. Banyak orang yang tidak benar-benar memahami agama, tetapi merasa sudah cukup tahu. Mereka kemudian dengan mudah terjebak dalam pemahaman yang dangkal, dan lebih parahnya, berusaha memaksakan pemahaman mereka kepada orang lain.
Fenomena ini semakin berbahaya ketika agama dipakai sebagai alat politik. Narasi agama digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu, menciptakan polarisasi di masyarakat. Orang-orang dipaksa memilih kubu, seolah-olah agama hanya bisa dipahami dengan satu cara. Padahal, Islam mengajarkan fleksibilitas, kebijaksanaan, dan pemahaman yang mendalam.
Kembali ke Akar, Bukan Sekadar Label
Jika kita benar-benar ingin memahami Islam, kita harus kembali ke akarnya. Islam bukan hanya tentang aturan-aturan yang kaku, tetapi juga tentang bagaimana aturan itu diterapkan dengan adil dan bijaksana. Agama bukan alat untuk membodohi, tetapi jalan menuju pencerahan.
Radikalisme dalam arti berpikir mendalam dan berpegang teguh pada prinsip adalah sesuatu yang harus dipertahankan. Namun, radikalisme dalam arti ekstremisme yang sempit harus dihindari. Kita harus belajar membedakan antara keduanya, agar tidak terjebak dalam narasi yang membingungkan.
Dunia saat ini membutuhkan lebih banyak pemikir kritis yang berani menggali hingga ke akar masalah, bukan sekadar pengikut yang menerima narasi tanpa berpikir panjang. Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk berpikir, menganalisis, dan memahami sebelum bertindak. Maka, saatnya kita kembali kepada pemahaman Islam yang sejati—bukan Islam yang dikemas dalam narasi kepentingan tertentu, tetapi Islam yang benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam.
0 Komentar