SIDANG KE-6 KASUS PIK-2: MEDIASI ATAU BUKTI KEBOBROKAN OLIGARKI?


Oleh: Rika Dwi Ningsih
Penulis Lepas

Hari ini, Senin (10/2), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang ke-6 kasus PIK-2 dengan agenda mediasi. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016, sebelum masuk ke pokok perkara, para pihak yang bersengketa diwajibkan menempuh jalur mediasi.

Namun, bagi para penggugat, duduk satu meja dengan Aguan dan Anthony Salim tokoh utama di balik proyek PIK-2 adalah sesuatu yang sangat enggan mereka lakukan. Bukan hanya itu, mereka juga menolak perdamaian dengan Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, PT PANI, PT Kukuh Mandiri Lestari, Surta Wijaya, dan Maskota. Bagi mereka, semua pihak tersebut adalah pelaku perampasan tanah rakyat yang harus bertanggung jawab atas kejahatan yang telah mereka lakukan.

Meski demikian, para penggugat tetap hadir dalam mediasi, bukan karena ingin berdamai, melainkan karena tunduk pada hukum dan menghormati institusi negara. Hal ini menjadi ujian bagi para tergugat: apakah mereka juga akan menunjukkan sikap yang sama? Ataukah mereka akan terus memperlihatkan wajah oligarki sejati yang mengabaikan hukum dan hanya menggunakan negara sebagai alat untuk kepentingan bisnis mereka?


Ujian bagi Aguan dan Anthony Salim

Kehadiran para tergugat dalam mediasi ini menjadi indikator penting. Jika Aguan, Anthony Salim, Jokowi, Airlangga Hartarto, PT PANI, PT Kukuh Mandiri Lestari, Surta Wijaya, dan Maskota hadir dalam mediasi, maka mereka masih menghormati hukum dan institusi negara. Namun, jika mereka memilih untuk mangkir, maka semakin terang benderang bahwa mereka hanya menjadikan negara sebagai alat untuk melayani kepentingan bisnisnya, bukan sebagai institusi yang mereka hormati.

Para penggugat sendiri tidak melakukan persiapan khusus untuk mediasi ini, karena kejahatan proyek PSN PIK-2 sudah menjadi rahasia umum. Kasus pagar laut dan sertifikat laut yang dipersoalkan dalam perkara ini menjadi bukti nyata bahwa proyek ini sarat dengan penyimpangan hukum. Pertanyaan utama dalam mediasi ini adalah: apa yang akan ditawarkan oleh Aguan dan Anthony Salim sebagai bentuk kompensasi atas perbuatan melawan hukum yang telah mereka lakukan?


Mediasi Gagal, Bukti Kebobrokan PIK-2 di Pengadilan

Meski hadir dalam mediasi, para penggugat justru berharap mediasi ini gagal. Bagi mereka, kegagalan mediasi adalah jalan untuk membongkar secara lebih luas kejahatan proyek PIK-2 dalam persidangan pokok perkara. Mereka telah mempersiapkan saksi-saksi, para ahli, serta berbagai bukti yang akan mengungkap bagaimana tanah rakyat dirampas demi kepentingan segelintir elite bisnis.

Di dalam ruang sidang, para penggugat siap mengurai secara rinci peran masing-masing pihak dalam proyek ini. Mulai dari Aguan dan Anthony Salim sebagai pemilik proyek, hingga Jokowi dan Airlangga Hartarto yang diduga turut andil dalam memberikan perlindungan politik terhadap proyek ini. Begitu pula dengan peran Surta Wijaya dan Maskota yang akan dipaparkan secara gamblang di hadapan majelis hakim.

Kasus ini diprediksi akan menjadi momentum untuk membuka tabir kebobrokan proyek PSN PIK-2, layaknya kasus ijazah palsu Jokowi yang pernah disidangkan di Pengadilan Negeri Surakarta. Kala itu, persidangan berlangsung selama berbulan-bulan, mengungkap berbagai kebohongan yang selama ini ditutupi.

Para penggugat tidak memiliki niat untuk duduk berdamai dengan para perampas tanah rakyat. Namun, demi menghormati hukum dan institusi negara, mereka tetap hadir dalam mediasi ini. Sekarang tinggal menunggu: apakah Aguan dan Anthony Salim beserta para tergugat lainnya juga akan hadir dan menunjukkan bahwa mereka masih menghormati hukum? Ataukah mereka memilih untuk mangkir, menunjukkan bahwa mereka benar-benar oligarki sejati yang mengabaikan entitas negara?

Jika mereka tak hadir, maka semakin jelas bahwa mereka tak tunduk pada hukum dan hanya menjadikan negara sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar