Oleh: Arslan
Jurnalis Lepas
Pada 30 Januari 2025, ratusan warga di Perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Bekasi, turun ke jalan untuk menolak eksekusi rumah mereka. Dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) di tangan, mereka berusaha menghentikan penggusuran. Namun, keputusan hukum telah dibuat, dan alat berat tetap melaju merobohkan bangunan yang telah lama mereka tempati.
Ketukan Palu Hukum vs. Hak Kepemilikan
Eksekusi lahan seluas 3,3 hektare ini dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) Cikarang Kelas II berdasarkan putusan PN Bekasi Nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS yang telah berkekuatan hukum tetap. Meski sejumlah warga memiliki SHM, pengadilan tetap memutuskan bahwa tanah tersebut sah milik Hj. Mimi Jamilah berdasarkan SHM No. 325/Jatimulya.
"Sudah tidak bisa lagi digugat, ini sudah sampai di Mahkamah Agung," ujar Humas PN Cikarang, Isnanda Nasution, menegaskan bahwa keputusan ini tidak dapat diganggu gugat.
Namun, warga mempertanyakan keabsahan keputusan tersebut. Abdul Bari, salah satu korban penggusuran, mengaku bahwa sebelum membeli tanah di Cluster Setia Mekar, ia telah mengecek ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan tidak menemukan adanya blokir atau sengketa. "Kalau tahu dari awal, mana mungkin kami beli tanah ini? Kami tidak pernah terlibat dalam persidangan, tiba-tiba dapat surat eksekusi," ujarnya.
Ketimpangan Hukum dalam Sengketa Tanah
Kasus di Cluster Setia Mekar hanyalah salah satu contoh dari masalah besar di Indonesia: tumpang tindih sertifikat. Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN mencatat bahwa lebih dari 60% sengketa tanah di pengadilan berkaitan dengan sertifikat ganda. Faktor penyebabnya antara lain:
- Penerbitan sertifikat baru di atas hak tanah yang sudah ada, sering kali melibatkan oknum yang bekerja sama dengan pihak tertentu.
- Jual beli tanah dengan dokumen bermasalah, di mana mafia tanah atau pejabat desa menerbitkan sertifikat tanpa dasar hukum yang jelas.
- Kesalahan administrasi dalam pencatatan tanah, yang menyebabkan satu bidang tanah memiliki lebih dari satu sertifikat sah.
Akibatnya, rakyat kecil yang membeli tanah dengan itikad baik kerap menjadi korban dari ketidaksempurnaan sistem pertanahan ini. Ironisnya, ketika sengketa ini masuk ke pengadilan, pemilik sertifikat lama sering kali menang, sementara pemilik baru yang telah menginvestasikan uang dan hidup mereka harus angkat kaki tanpa ganti rugi.
Nasib Warga yang Tergusur
Asmawati (65), salah satu penghuni yang terdampak, tak kuasa menahan tangis saat rumahnya dihancurkan. "Rumah ini sudah saya tempati 30 tahun. Tidak ada masalah hukum, tiba-tiba datang alat berat dan petugas yang membawa surat eksekusi," keluhnya.
Warga sebenarnya telah mengajukan gugatan perlawanan ke PN Cikarang, namun persidangan baru dijadwalkan pada 10 Februari 2025—terlambat untuk mencegah eksekusi yang sudah terjadi. Ini menunjukkan betapa lemahnya posisi rakyat kecil dalam menghadapi proses hukum yang lamban dan sering kali berat sebelah.
Butuh Reformasi Agraria yang Tegas
Sengketa seperti ini seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera mereformasi sistem pertanahan di Indonesia. Beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain:
- Audit menyeluruh terhadap seluruh sertifikat tanah, terutama yang memiliki riwayat sengketa.
- Digitalisasi sistem pertanahan untuk mencegah penerbitan sertifikat ganda.
- Hukuman tegas bagi mafia tanah dan oknum pejabat yang terlibat, agar kasus serupa tidak terus berulang.
- Mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih cepat, sehingga warga tidak harus menunggu puluhan tahun untuk mendapatkan kepastian hukum.
Jika masalah ini terus dibiarkan, rakyat akan terus menjadi korban ketidakpastian hukum. Kejadian di Cluster Setia Mekar bukanlah yang pertama, dan tanpa reformasi yang serius, pasti bukan yang terakhir.
0 Komentar