SEJARAH PANJANG PANTAI INDAH KAPUK: DARI REKLAMASI HINGGA KONTROVERSI


Oleh: Rika Dwi Ningsih
Jurnalis Lepas

Pantai Indah Kapuk (PIK) adalah kawasan elit di pesisir utara Jakarta yang dibangun melalui proyek reklamasi sejak awal 1990-an. Kawasan ini telah lama menjadi sorotan karena berbagai kontroversi, mulai dari dugaan pelanggaran tata ruang hingga dampak lingkungan yang ditimbulkannya.


Awal Mula Proyek Pantai Indah Kapuk

Pada tahun 1992, warga di sekitar Angke Kapuk, Jakarta Utara, mulai resah akibat aktivitas reklamasi besar-besaran di wilayah mereka. Puluhan truk dan alat berat bekerja di kawasan yang dekat dengan cagar alam Angke Kapuk untuk proyek yang dinamai Pantai Indah Kapuk. Proyek ini digarap oleh PT Mandara Permai, anak perusahaan Grup Pembangunan Jaya, yang dimiliki oleh raja properti mewah, Ciputra.

Dalam investigasi yang dilakukan oleh Tempo pada tahun 1994, terungkap bahwa proyek tersebut melanggar batas kawasan cagar alam. Pemerintah DKI Jakarta dan Kementerian Kehutanan, meskipun menyetujui proyek ini, tidak memberikan teguran apa pun terkait pelanggaran tersebut. Padahal, Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) sempat merekomendasikan agar proyek ini dievaluasi ulang karena berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang besar.


Peran Para Pejabat Orde Baru

Proyek Pantai Indah Kapuk tidak hanya melibatkan pengembang swasta, tetapi juga didukung oleh sejumlah pejabat tinggi pada era Orde Baru. Gagasan pengembangan kawasan ini pertama kali muncul pada masa Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977). Namun, proyek ini baru terealisasi setelah Ali Sadikin lengser dan digantikan oleh Gubernur Soeprapto. Kontrak pembangunan kawasan ini diteken hanya dua pekan setelah Ali Sadikin tidak lagi menjabat.

Salah satu tokoh penting yang mendukung proyek ini adalah Menteri Kehutanan Sujarwo, yang menjabat pada periode 1983-1987. Ia dikenal dekat dengan keluarga Presiden Soeharto dan pernah menjadi bendahara Yayasan Supersemar. Sujarwo terlibat dalam perjanjian tukar guling kawasan hutan di Angke Kapuk dengan lahan milik PT Mandara Permai di Bogor, Cianjur, Sukabumi, dan Kepulauan Seribu. Namun, tukar guling ini kemudian terbukti sarat dengan kejanggalan, termasuk fakta bahwa Sujarwo sendiri menguasai 2,4% saham PT Mandara Permai.

Setelah Sujarwo, proyek ini semakin mendapatkan dukungan di bawah Menteri Kehutanan Hasrul Harahap. Ia bahkan menyatakan bahwa kawasan Angke dan Kapuk bukanlah hutan lindung, melainkan hutan produksi yang sudah tidak memiliki vegetasi lagi. Pernyataan ini mempercepat pengembangan Pantai Indah Kapuk dan membuatnya terus berlanjut tanpa hambatan.


Dampak Lingkungan dan Banjir Jakarta

Sebelum menjadi kawasan hunian mewah, wilayah Pantai Indah Kapuk adalah rawa dan tambak yang berfungsi sebagai penampung air dari 13 anak sungai yang bermuara ke Muara Angke dan Kanal Cengkareng. Wilayah ini juga menjadi benteng alami Jakarta dari abrasi laut serta berfungsi sebagai perlindungan terakhir dari intrusi air laut.

Sejak 1970-an, Jakarta telah kehilangan sebagian besar hutan bakaunya di Ancol dan Pluit akibat proyek pembangunan. Akibatnya, pada awal 1990-an, warga Jakarta mulai merasakan dampaknya, seperti intrusi air laut yang semakin jauh ke daratan. Investigasi Tempo pada tahun 1991 menunjukkan bahwa air laut telah merembes hingga kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.

Puncak dari dampak lingkungan ini terjadi pada tahun 2002, ketika banjir besar melanda Jakarta. Jalan tol yang menghubungkan ibu kota dengan Bandara Soekarno-Hatta ikut terendam. Salah satu faktor penyebab banjir ini adalah hilangnya kawasan penampungan air di Pantai Indah Kapuk, yang saat itu sudah dikembangkan menjadi perumahan seluas lebih dari 830 hektar.


Kontroversi Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2)

Setelah Pantai Indah Kapuk sukses menjadi kawasan elit, proyek lanjutan bernama Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) kembali dikembangkan oleh Taipan Sugianto Kusuma alias Aguan. Proyek ini pun menuai kontroversi karena berbagai dugaan pelanggaran tata ruang dan lingkungan.

Salah satu bagian dari PIK 2, yakni proyek Tropical Coastland, dilaporkan melanggar ketentuan tata ruang dan masuk dalam kawasan hutan lindung. Tak hanya itu, proyek ini juga tersangkut kasus pemagaran laut di pesisir utara Tangerang, Banten. Pagar laut sepanjang 30 km yang dibangun sejak 2024 ini diduga sebagai bagian dari upaya penguasaan lahan laut oleh perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Aguan, yaitu PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa.


Kesimpulan

Sejarah Pantai Indah Kapuk menunjukkan bagaimana proyek reklamasi yang dilakukan sejak era Orde Baru hingga saat ini terus menuai kontroversi. Dengan adanya berbagai dugaan pelanggaran tata ruang, dampak lingkungan, serta keterlibatan pejabat tinggi dalam perizinan proyek ini, kawasan ini tetap menjadi simbol bagaimana kepentingan bisnis dan politik sering kali berjalan beriringan. Hingga kini, dampak proyek Pantai Indah Kapuk terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat di sekitarnya masih menjadi perdebatan panjang yang belum menemukan solusi yang memuaskan.

Posting Komentar

0 Komentar