PRINSIP KEKAYAAN DALAM ISLAM: DARI SAHABAT NABI HINGGA KEHIDUPAN MODERN


Oleh: Rika Dwi Ningsih
Penulis Lepas

Dalam sejarah Islam, banyak tokoh yang tidak hanya kaya raya, tetapi juga mampu menjadikan kekayaan mereka sebagai berkah bagi umat. Tokoh-tokoh seperti Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan adalah contoh nyata bagaimana kekayaan bisa menjadi alat untuk berbuat kebaikan dan membantu sesama. Lalu, apa prinsip utama yang membuat kekayaan mereka tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga bagi umat?


Jihad dengan Harta

Dalam Islam, ada dua cara utama untuk berjuang, yaitu dengan jiwa (pengorbanan fisik) dan dengan harta. Jihad dengan harta menempati posisi yang sangat penting. Bagi para sahabat Nabi, harta bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk berkontribusi pada agama Allah dan kesejahteraan umat. Mereka tidak berlomba-lomba menumpuk kekayaan, tetapi justru bersaing untuk menginfakkannya di jalan Allah.

Contoh nyata dari prinsip ini terlihat dalam kisah Perang Tabuk, salah satu perang paling sulit dalam sejarah Islam karena terjadi di tengah kondisi ekonomi yang berat. Umar bin Khattab berniat menyumbangkan setengah hartanya demi membiayai perang tersebut, dengan harapan bisa menandingi kedermawanan Abu Bakar. Namun, Abu Bakar justru menyumbangkan seluruh hartanya. Ketika Rasulullah menanyakan apakah ia tidak menyisakan sebagian untuk keluarganya, Abu Bakar menjawab, "Allah dan Rasul-Nya sudah cukup bagi keluargaku." Umar pun menyadari bahwa ia tidak akan bisa menyaingi kedermawanan Abu Bakar.

Kisah ini menunjukkan bahwa para sahabat Nabi tidak fokus pada berapa banyak harta yang mereka miliki, tetapi pada seberapa besar harta itu bisa bermanfaat bagi agama dan umat. Mereka menjadikan kekayaan sebagai alat untuk berbuat kebaikan, bukan sebagai tujuan hidup.


Kekayaan sebagai Berkah bagi Umat

Prinsip ini tetap relevan hingga saat ini. Dalam psikologi, memberi (berbagi) dapat membawa ketenangan, sedangkan menahan (menyimpan berlebihan) justru bisa menimbulkan kegelisahan. Dalam Islam, mengeluarkan harta di jalan Allah adalah salah satu cara untuk mencapai ketenangan jiwa.

Salah satu contoh nyata adalah kisah Utsman bin Affan yang membeli sebuah sumur milik seorang Yahudi dan kemudian menghibahkannya untuk kepentingan umat Islam. Hingga kini, sumur tersebut masih ada dan tetap memberikan manfaat bagi banyak orang. Utsman tidak hanya memikirkan keuntungan pribadi, tetapi bagaimana kekayaannya bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat dalam jangka panjang.


Harmoni dalam Rumah Tangga

Selain prinsip kekayaan, penting juga untuk membahas peran wanita dalam rumah tangga, terutama ketika seorang istri menjadi pencari nafkah utama. Dalam Islam, suami memiliki tanggung jawab utama dalam memberikan nafkah kepada keluarganya. Namun, bagaimana jika penghasilan istri lebih besar dari suami?

Menurut ajaran Islam, hal ini tidak menjadi masalah selama kewajiban suami dalam menafkahi keluarganya tetap dipenuhi. Jika istri memiliki penghasilan lebih besar, itu bisa dianggap sebagai sedekah atau tambahan rezeki bagi keluarga. Namun, kewajiban utama seorang istri tetaplah mengurus rumah tangga. Jika ia memilih untuk bekerja, ia harus memastikan bahwa tugas utamanya dalam keluarga tetap berjalan dengan baik.


Tanggung Jawab Sosial dalam Bisnis

Dalam dunia bisnis, Islam mengajarkan bahwa mencari keuntungan bukanlah satu-satunya tujuan. Bisnis harus memberikan manfaat bagi masyarakat dan menjadi sarana untuk menebarkan kebaikan. Dalam Islam juga tidak dibenarkan berbisnis dengan menjual agama, karena jika suatu saat ada masalah pada bisnisnya maka agama yang akan disalahkan.

Sebagai contoh, ada seorang pengusaha hijab yang awalnya hanya ingin mengedukasi masyarakat tentang bagaimana memakai hijab sesuai syariat. Dari edukasi tersebut, muncul permintaan untuk membeli hijab, yang akhirnya berkembang menjadi bisnis. Prinsip yang dipegang adalah bahwa bisnis harus menjadi bagian dari dakwah, bukan sekadar mencari keuntungan materi semata. Lalu contoh kasus dari bisnis yang menjual agama adalah seperti berjualan hijab, namun pembisnisnya mengklaim bahwa hijab itu telah dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an sebelum di jual untuk menarik pembeli, hal inilah yang tidak dibenarkan.


Kesimpulan

Kekayaan dalam Islam bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk berbuat kebaikan dan membantu sesama. Para sahabat Nabi seperti Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan telah menunjukkan bagaimana kekayaan bisa menjadi berkah bagi umat. Selain itu, menjaga harmoni dalam rumah tangga juga penting, terutama ketika peran tradisional dalam keluarga mengalami perubahan.

Dalam dunia bisnis, tanggung jawab sosial harus menjadi bagian dari prinsip dasar, jangan sampai justru kita berbisnis dengan menjual agama. Dalam Islam, bisnis tidak hanya berorientasi pada keuntungan materi, tetapi juga pada kebermanfaatan bagi masyarakat.

Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, kita bisa menjadikan kekayaan dan bisnis sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah serta memberikan manfaat bagi sesama. Seperti yang diajarkan para sahabat Nabi, kekayaan yang berkah adalah kekayaan yang tidak hanya dinikmati sendiri, tetapi juga dirasakan oleh orang lain. Wallahualam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar