PPDB DIGANTI SPMB: SOLUSI ATAU MASALAH BARU?


Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat

Pemerintah resmi mengubah mekanisme Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB). Perubahan ini diklaim sebagai langkah untuk menciptakan sistem seleksi yang lebih adil dan merata bagi semua calon siswa. Namun, banyak pihak menilai bahwa perubahan ini hanya sebatas pergantian istilah tanpa ada perbaikan mendasar dalam sistem pendidikan nasional (Kompas.com, 30 Januari 2025).

Selama ini, PPDB kerap menjadi sorotan karena berbagai permasalahan, mulai dari zonasi yang tidak efektif, pungutan liar, hingga jalur prestasi yang rawan manipulasi. Sistem zonasi yang awalnya bertujuan untuk pemerataan pendidikan justru menimbulkan polemik, terutama bagi siswa di daerah yang minim sekolah berkualitas. Tak jarang, orang tua terpaksa memindahkan domisili anaknya secara administratif demi mendapatkan sekolah yang lebih baik (BBC Indonesia, 2 Februari 2025).

Dengan sistem SPMB, pemerintah berjanji akan meningkatkan transparansi seleksi agar tidak ada lagi praktik curang. Namun, muncul kekhawatiran bahwa sistem baru ini tetap akan menghadapi masalah yang sama seperti PPDB. Salah satu yang menjadi sorotan adalah jalur-jalur seleksi yang masih bisa dimanipulasi oleh pihak tertentu, misalnya dengan pemalsuan dokumen prestasi atau rekomendasi khusus dari pihak-pihak tertentu (Tirto.id, 2 Februari 2025).


Kapitalisme dan Ketimpangan Pendidikan

Ketidakadilan dalam sistem pendidikan tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas, bukan hak dasar rakyat. Dalam sistem ini, sekolah-sekolah berkualitas tinggi hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki modal besar, sementara masyarakat miskin harus puas dengan pendidikan seadanya. Pemerintah cenderung membiarkan mekanisme pasar bekerja, sehingga sekolah unggulan dengan fasilitas lengkap hanya tersedia di kota-kota besar dengan biaya mahal. Sementara itu, sekolah-sekolah di daerah terpencil masih mengalami keterbatasan guru, fasilitas, dan akses teknologi, yang semakin memperlebar kesenjangan pendidikan.

Selain itu, kapitalisme juga mendorong privatisasi pendidikan, di mana negara menyerahkan tanggung jawab pendidikan kepada pihak swasta. Banyak sekolah yang menerapkan biaya tambahan dalam bentuk uang pangkal, sumbangan komite, hingga berbagai pungutan lain yang membebani orang tua. Akibatnya, pendidikan semakin sulit diakses oleh rakyat kecil, sementara sekolah-sekolah swasta elite justru berkembang pesat dengan fasilitas mewah yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu. Ketimpangan ini semakin menguatkan fakta bahwa dalam kapitalisme, pendidikan hanya menjadi alat bagi segelintir orang untuk mempertahankan status sosial mereka.

Kapitalisme juga mempengaruhi kurikulum pendidikan, yang lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja dibandingkan membangun generasi yang memiliki wawasan luas dan pemikiran kritis. Pendidikan bukan lagi tentang mencetak individu yang berpikir, tetapi lebih kepada menghasilkan tenaga kerja yang siap dieksploitasi oleh industri. Kurikulum yang terlalu berorientasi pada keterampilan teknis tanpa keseimbangan aspek moral dan intelektual semakin menegaskan bahwa pendidikan dalam kapitalisme hanyalah alat untuk melanggengkan sistem ekonomi yang timpang.

Pada akhirnya, sistem kapitalisme dalam dunia pendidikan justru memperlebar jurang ketimpangan sosial. Selama pendidikan masih dikendalikan oleh mekanisme pasar, pemerataan pendidikan hanyalah ilusi. Rakyat kecil akan terus menghadapi kesulitan dalam mengakses pendidikan berkualitas, sementara kelompok berprivilege semakin mendominasi. Kapitalisme bukanlah solusi, melainkan akar dari ketidakadilan dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, mengganti PPDB dengan SPMB tidak akan menyelesaikan masalah, karena perubahan ini tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya.


Islam Menjamin Pendidikan untuk Semua

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara, baik kaya maupun miskin. Negara bertanggung jawab penuh untuk menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis bagi seluruh rakyatnya. Dalam sistem Islam, pendidikan bukan sekadar instrumen ekonomi, tetapi menjadi sarana utama dalam mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam dan keterampilan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Pendidikan dalam Islam tidak hanya berfokus pada aspek akademik, tetapi juga membangun karakter individu berdasarkan nilai-nilai Islam. Kurikulum yang diterapkan harus berbasis akidah Islam, yang menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan sejak dini. Dengan sistem ini, masyarakat tidak hanya cerdas dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki moral yang tinggi dan siap membangun peradaban yang lebih baik.

Pendanaan pendidikan dalam sistem Islam berasal dari sumber pemasukan negara yang beragam, seperti pengelolaan sumber daya alam, zakat, fai’, kharaj, dan jizyah. Dengan sistem ini, negara memiliki sumber daya yang cukup untuk mendanai pendidikan tanpa harus membebani rakyat dengan biaya sekolah atau pungutan lainnya. Ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang membiarkan pendidikan dikomersialkan dan menjadi beban bagi masyarakat.

Dalam sistem Islam, negara memiliki kedaulatan penuh dalam mengatur pendidikan. Tidak ada kepentingan kapitalis yang bermain di dalamnya, sehingga semua kebijakan pendidikan murni untuk kepentingan rakyat. Negara Islam pada masa lalu telah membuktikan bahwa dengan sistem ini, mereka mampu menciptakan pusat-pusat pendidikan yang menjadi rujukan dunia.

Pada masa Kekhilafahan, pendidikan menjadi prioritas utama negara. Contohnya adalah Baitul Hikmah di Baghdad yang menjadi pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Lembaga ini tidak hanya memberikan pendidikan gratis, tetapi juga menjadi tempat bagi para ilmuwan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang seperti kedokteran, matematika, dan astronomi. Selain itu, Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko dan Universitas Al-Azhar di Mesir juga menjadi bukti bahwa sistem Islam mampu menciptakan peradaban ilmu yang maju tanpa membebani rakyat dengan biaya pendidikan yang mahal.

Jika sistem ini diterapkan hari ini, maka tidak akan ada lagi kesenjangan pendidikan seperti yang kita lihat saat ini. Semua individu akan mendapatkan pendidikan berkualitas, tanpa harus terbebani biaya mahal atau menghadapi ketidakadilan dalam seleksi masuk sekolah. Sistem Islam memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu, baik di tingkat dasar maupun pendidikan tinggi.


Khatimah

Perubahan PPDB menjadi SPMB tidak akan memberikan dampak signifikan jika hanya sekadar pergantian nama tanpa ada upaya nyata untuk mewujudkan pemerataan pendidikan. Ketimpangan sarana, tingginya biaya pendidikan, serta praktik kecurangan dalam seleksi masuk sekolah tetap menjadi persoalan utama yang tidak terselesaikan.

Sistem kapitalisme telah terbukti gagal dalam menyediakan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat. Pendidikan semakin mahal, hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu, dan masih dipengaruhi oleh kepentingan kapitalis.

Sebaliknya, Islam memberikan solusi yang komprehensif. Dalam sistem Islam, pendidikan adalah hak dasar yang dijamin oleh negara secara gratis dan berkualitas. Dengan pendanaan yang berasal dari sumber daya negara dan pengelolaan yang berlandaskan akidah Islam, pemerataan pendidikan dapat benar-benar terwujud.

Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang terbukti mampu menciptakan peradaban maju dan menjamin kesejahteraan umat.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Posting Komentar

0 Komentar