POLITIK HUKUM DAN PERLAWANAN PDIP UNTUK MEMBELA HASTO KRISTIANTO


Oleh: Fani Kartika
Pengamat Hukum dan Perubahan

Pada Kamis, 20 Februari 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya memutuskan untuk menahan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristianto. Keputusan ini diambil setelah Hasto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi yang melibatkan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR. Meskipun Hasto sempat mengajukan upaya hukum praperadilan, hakim tunggal menolak permohonannya, membuka jalan bagi KPK untuk melakukan penahanan.

Kasus ini bermula dari insiden pada 2019, ketika salah satu kader PDIP, Harun Masiku, terlibat dalam kasus korupsi terkait proses PAW. Menurut aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), PAW seharusnya diisi oleh kader dari daerah pemilihan (Dapil) yang sama dengan suara terbanyak. Namun, Harun Masiku, yang bukan calon dengan suara terbanyak, melakukan manuver politik dengan meminta PDIP mengajukan surat permohonan kepada KPU agar dirinya ditetapkan sebagai anggota DPR pengganti. Kasus ini kemudian menyeret nama Hasto Kristianto, yang diduga terlibat dalam proses tersebut.


Keterkaitan Megawati dan Dinamika Internal PDIP

Yang menarik, surat permohonan PAW yang diajukan ke KPU tidak hanya ditandatangani oleh Hasto Kristianto sebagai Sekjen, tetapi juga oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah Megawati juga akan terseret dalam kasus ini. Megawati sendiri, dalam berbagai kesempatan, menyatakan tekadnya untuk tetap berjuang bagi bangsa Indonesia. Namun, ia juga menuntut agar pemberantasan korupsi dilakukan secara adil, termasuk mengusut kasus korupsi yang melibatkan keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Jokowi dan keluarganya, termasuk anak-anaknya, Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka, telah dilaporkan ke KPK oleh berbagai pihak, termasuk akademisi Universitas Negeri Jakarta. Namun, hingga saat ini, kasus-kasus tersebut belum ditindaklanjuti. Hal ini menimbulkan kesan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum, di mana kasus yang melibatkan lawan politik diproses dengan cepat, sementara kasus yang melibatkan kawan politik diabaikan.


Manuver Politik PDIP: Perlawanan atau Strategi?

Menanggapi penahanan Hasto, PDIP mengambil langkah tegas. Megawati mengeluarkan surat instruksi kepada seluruh kader PDIP yang menjabat sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk tidak menghadiri acara retreat yang diadakan oleh Presiden Prabowo Subianto di Magelang. Bahkan, kader yang sudah dalam perjalanan diperintahkan untuk menghentikan perjalanan dan menunggu instruksi lebih lanjut. Langkah ini dianggap sebagai bentuk perlawanan PDIP terhadap pemerintahan Prabowo, yang dianggap tidak adil dalam menangani kasus korupsi.

Retreat yang dijadwalkan berlangsung dari 21 hingga 28 Februari 2025 ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk PDIP, yang menilai acara tersebut sebagai pemborosan anggaran. Namun, di balik itu, langkah PDIP juga dipandang sebagai upaya menjaga soliditas internal partai. Dengan menunjukkan dukungan terhadap Hasto, PDIP berusaha memastikan bahwa kader-kadernya merasa terlindungi dan partai tidak diam ketika salah satu petingginya dihadapkan pada masalah hukum.


Politik Hukum dan Kekuasaan

Kasus Hasto Kristianto tidak bisa dilepaskan dari konteks politik hukum di Indonesia. KPK, sebagai lembaga antikorupsi, seringkali dianggap sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawan-lawan politik. Dalam kasus ini, penahanan Hasto terjadi di era pemerintahan Prabowo Subianto, yang didukung oleh Jokowi. Meskipun secara formal Prabowo adalah presiden, banyak yang beranggapan bahwa kekuasaan sebenarnya masih berada di tangan Jokowi. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa penahanan Hasto adalah bagian dari upaya melemahkan PDIP, yang merupakan partai oposisi utama.

PDIP, yang dulu pernah berkuasa dan mendukung Jokowi, kini berada di posisi yang sulit. Partai ini merasa dikhianati oleh Jokowi, yang dianggap telah melupakan jasa PDIP dalam membesarkan namanya di panggung politik. Kini, PDIP harus menghadapi kenyataan bahwa kekuasaan yang dulu mereka nikmati telah berbalik melawan mereka.


Adagium Politik Demokrasi

Dalam politik demokrasi, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang terus berubah. Dulu, PDIP dan Gerindra pernah bersatu dalam koalisi yang mendukung Jokowi. Namun, dalam Pilpres 2024, PDIP justru menjadi lawan Gerindra dengan mengusung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Kini, ketika PDIP melemah, Gerindra berpeluang mengambil alih basis pemilih nasionalis yang selama ini menjadi kekuatan PDIP.

Penahanan Hasto Kristianto dan manuver politik PDIP adalah cerminan dari dinamika politik Indonesia yang kompleks. Di satu sisi, PDIP berusaha mempertahankan marwah partainya dengan menunjukkan perlawanan. Di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan realitas politik bahwa kekuasaan tidak abadi, dan apa yang mereka tanam di masa lalu kini sedang mereka tuai.


Refleksi untuk Masa Depan

Kasus ini mengingatkan kita bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan adil dan bijaksana. Setiap tindakan yang dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok suatu saat akan menuai konsekuensinya. Bagi rakyat, situasi ini adalah pengingat bahwa politik tidak selalu tentang membela satu pihak, tetapi tentang bagaimana memastikan bahwa kekuasaan digunakan untuk kesejahteraan bersama, bukan untuk kepentingan segelintir elit.

Dalam konteks ini, penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan tidak memihak. KPK sebagai lembaga antikorupsi harus independen dan tidak menjadi alat politik bagi siapa pun. Hanya dengan demikian, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dapat dipulihkan, dan cita-cita Indonesia yang bersih dari korupsi dapat terwujud.

Posting Komentar

0 Komentar