PAGAR LAUT: ANTARA KEPENTINGAN OLIGARKI DAN PENGALIHAN ISU


Oleh: Zaid Siddiq
Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik

Selasa, 11 Februari 2025, perdebatan panas terjadi dalam dialog terkait kasus pagar laut. Rofi'i Muchlis, yang mengatasnamakan Ketua Barisan Kesatria Nusantara (BKN), tampak geram ketika Ahmad Khozinudin mempertanyakan kedudukannya dalam diskusi tersebut. Pasalnya, meskipun Rofi'i mengklaim mewakili BKN, pernyataannya lebih menyerupai pembelaan terhadap Aguan dan proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2).

Ketika kasus pagar laut dikaitkan dengan Aguan, PIK-2, dan Agung Sedayu Group (ASG), Rofi'i Muchlis sontak menolak. Namun, karena tersulut emosi, ia justru melontarkan pernyataan ketus: "Kalau saya membela Aguan, memangnya kenapa?"

Ahmad Khozinudin sendiri tidak mempermasalahkan posisi Rofi'i sebagai pembela Aguan. Sebab, dalam pertarungan antara kebenaran (Al-Haq) dan kebatilan (Al-Batil), selalu ada pendukung di kedua sisi. Hanya saja, Rofi'i seakan bersembunyi di balik nama 'Barisan Ksatria Nusantara', seolah-olah tidak memiliki kepentingan dengan PIK-2 dan Aguan, meski sikap dan pernyataannya bertolak belakang.

Salah satu contohnya adalah saat Rofi'i menawarkan Ahmad Khozinudin untuk bertemu pihak PIK-2 guna memediasi kasus perampasan tanah sawah dan tambak. Tawaran ini langsung ditolak oleh Ahmad Khozinudin. Ketika ditanya apa legal standing-nya dalam menawarkan pertemuan dengan PIK-2, Rofi'i hanya terdiam. Sikapnya ini semakin menguatkan dugaan bahwa dirinya memang memiliki keterkaitan dengan kepentingan oligarki PIK-2.


Penyelidikan yang Sarat Kejanggalan

Dalam diskusi yang bertajuk "Pagar Laut Diusut, Siapa Tersangkut?" yang disiarkan di Prime Time SindoNews, Ahmad Khozinudin menyoroti berbagai kejanggalan dalam penyelidikan kasus pagar laut oleh Bareskrim Polri.

Pertama, pemeriksaan terhadap Arsin, Kepala Desa Kohod, oleh Bareskrim Polri ternyata tidak berkaitan langsung dengan pagar laut. Arsin diperiksa atas dugaan pemalsuan sertifikat laut, bukan sebagai dalang utama proyek pagar laut. Ini menguatkan prediksi bahwa kasus pagar laut akan dilokalisasi hanya di Desa Kohod, dengan menjadikan Arsin sebagai 'tumbal'.

Padahal, pagar laut sepanjang 30,16 km yang mengelilingi perairan Tangerang meliputi 16 desa di 6 kecamatan, yaitu:
  • Kecamatan Teluk Naga (Tanjung Pasir, Tanjung Burung);
  • Kecamatan Pakuhaji (Kohod, Sukahati, Kramat);
  • Kecamatan Sukadiri (Karang Serang);
  • Kecamatan Kemiri (Karang Anyar, Patramanggala, Lontar);
  • Kecamatan Mauk (Ketapang, Tanjung Anom, Marga Mulya, Mauk Barat);
  • Kecamatan Kronjo (Munjung, Kronjo, Pagedangan Ilir).

Namun hingga kini, belum ada satu pun pihak yang diperiksa terkait pembangunan pagar laut ini. Yang diusut justru perkara sertifikat laut, setelah nelayan Holid mengungkap keberadaan 300 sertifikat di wilayah laut. Menteri ATR/BPN pun mengakui adanya 263 SHGB dan 17 SHM di laut.

Sebaliknya, kasus pagar laut di Bekasi yang baru mencuat belakangan ini justru sudah menemukan pelakunya, yaitu PT TRPN. Bahkan, pihak yang bertanggung jawab telah diperintahkan membongkar pagar tersebut. Lantas, mengapa pagar laut di Tangerang masih belum tersentuh hukum? Apakah pagar laut ini dibangun oleh jin sehingga tidak bisa diselidiki oleh Bareskrim Polri?

Kedua, meskipun penyelidikan terhadap sertifikat laut adalah kewajiban kepolisian, ada pertanyaan besar: mengapa Bareskrim hanya menggunakan Pasal 263 KUHP dan 266 KUHP, sementara kejahatan lingkungan akibat pagar laut diabaikan?

Seharusnya, pagar laut ini juga diselidiki berdasarkan Pasal 98 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengancam pelaku dengan hukuman penjara 3-10 tahun serta denda Rp3-10 miliar. Namun, hingga kini, polisi belum menyentuh aspek ini. Padahal, selain bisa memberikan efek jera, pidana denda dari kasus ini bisa jauh lebih besar dibandingkan sekadar Rp18 juta per kilometer seperti yang disebutkan oleh Kementerian KKP.

Ketiga, penyelidikan pagar laut sejatinya adalah kunci utama untuk membongkar siapa dalang sebenarnya di balik proyek ini. Jika kasus ini diusut dengan benar, maka benang merahnya akan mengarah kepada Agung Sedayu Group (PIK-2), yang diduga memiliki motif untuk menguasai secara fisik wilayah laut dengan cara merekayasa kepemilikan sertifikat.

Sejumlah nama yang berperan dalam proyek pagar laut ini juga sudah mulai terungkap, di antaranya:
  • Mandor Memet (Pelaksana proyek pagar laut);
  • Eng Cun alias Gojali dan Ali Hanafiah Lijaya, yang terhubung langsung dengan PIK-2 (Aguan)

Dengan demikian, jika kasus pagar laut diusut secara menyeluruh, maka otomatis kejahatan sertifikat laut juga akan terungkap. Namun jika yang diselidiki hanya sertifikat laut, ada peluang besar bahwa Agung Sedayu Group dan Aguan akan lolos dari jerat hukum. Yang akan menjadi 'korban' hanyalah aparat desa dan BPN sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas sertifikasi lahan di laut.


Penyidikan Untuk Siapa?

Melihat pola penyelidikan yang dilakukan, Ahmad Khozinudin dengan tegas menyatakan bahwa skenario pengusutan kasus sertifikat laut yang mengabaikan pagar laut ini patut diduga sebagai upaya penyelamatan oligarki. Dalam hal ini, PIK-2, Aguan, dan Anthony Salim justru dibiarkan bebas, sementara pihak yang paling bawah dijadikan kambing hitam.

Jika skenario ini terus berjalan, maka kasus ini akan berakhir dengan glorifikasi penangkapan Arsin, Kepala Desa Kohod, sebagai 'prestasi' pengungkapan kasus pagar laut. Padahal, akar masalahnya masih jauh dari penyelesaian.

Maka, pertanyaannya: apakah rakyat akan membiarkan kasus ini berakhir begitu saja? Bukankah seharusnya kita menuntut keadilan dan transparansi agar kasus pagar laut dan sertifikat laut PIK-2 benar-benar diusut hingga ke akar-akarnya?

Posting Komentar

0 Komentar