NEGERI ANEH: MEMBUAT MASALAH DARI YANG BUKAN MASALAH, SEDANGKAN MASALAH BESAR DIBIARKAN


Oleh: Nasrudin Joha
Penulis Lepas

Negeri ini memang penuh keanehan. Sesuatu yang sebenarnya bukan masalah justru dibesar-besarkan, dibuat heboh, lalu diselesaikan sendiri dengan penuh drama. Setelah itu, para pemimpin berpidato gagah seolah menjadi pahlawan bagi rakyat. Ironisnya, masalah yang benar-benar merugikan rakyat justru dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi, membuat rakyat semakin sengsara. Negara nyaris tidak hadir seperti anak yatim yang kehilangan perlindungan.


Gas Melon 3 Kg: Drama yang Tak Perlu

Contoh nyata dari fenomena ini adalah kisruh gas melon 3 kg. Gas bersubsidi yang seharusnya tetap mudah diakses oleh rakyat kecil, tiba-tiba dijadikan polemik oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Ia melarang pengecer untuk menjual gas tersebut, menciptakan keresahan di masyarakat. Setelah kegaduhan terjadi, kebijakan tersebut kemudian direvisi kembali, memperbolehkan pengecer untuk berjualan seperti sebelumnya. Seolah-olah ada pahlawan yang datang menyelesaikan masalah yang mereka buat sendiri. Bahkan, pemimpin seperti Prabowo hadir sebagai sosok penyelamat, padahal masalah ini sejatinya tidak perlu ada sejak awal.


Pagar dan Sertifikat Laut: Masalah Nyata yang Dibiarkan

Di sisi lain, ada masalah yang jauh lebih serius, tetapi dibiarkan tanpa solusi. Pembangunan pagar laut dan penerbitan sertifikat laut yang dilakukan oleh pengembang Pantai Indah Kapuk (PIK-2) adalah contoh nyata perampasan hak rakyat serta ancaman terhadap kedaulatan negara. Sudah tiga minggu isu ini mencuat, tetapi hingga kini tak ada tindakan tegas dari pemerintah.

Jangankan mengusut aktor intelektualnya, bahkan aktor lapangan pun dibiarkan bebas. Jika kasus terorisme bisa dengan cepat ditindak dan diumumkan secara terbuka oleh aparat, mengapa kasus ini justru berlarut-larut? Padahal, nama-nama pelaku sudah jelas disebutkan oleh rakyat. Ada Mandor Memet, Eng Cun alias Gojali, serta Ali Hanafiah Lijaya yang dikenal sebagai orang kepercayaan Aguan. Namun, hingga kini mereka tidak tersentuh hukum.

Lebih ironis lagi, di lapangan terdapat koordinator seperti Kepala Desa Kohod, Arsin, yang justru dibiarkan melarikan diri dengan mobil Rubicon-nya. Seakan ada pembiaran terhadap kejahatan yang merampas hak masyarakat pesisir.


Menteri ATR BPN: Komedi dalam Pemerintahan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga ikut andil dalam sandiwara ini. Alih-alih memberikan tindakan nyata, yang dilakukan justru seperti komedi. Pejabat BPN yang sudah pensiun diberi sanksi berat dan dicopot dari jabatannya, padahal mereka sudah tidak aktif lagi. Bukannya menindak tegas para pelaku utama, justru yang dilakukan adalah sekadar formalitas belaka.

Tidak hanya itu, dari total 263 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang bermasalah, hanya 50 yang dibatalkan. Selebihnya tetap dibiarkan. Bahkan, ada indikasi bahwa masalah tanah yang dulunya dianggap sebagai kawasan terdampak abrasi kini dilegitimasi agar bisa direklamasi oleh Aguan. Apakah ini merupakan prakondisi untuk memuluskan reklamasi laut dengan dasar Pasal 66 PP No. 18 Tahun 2021?


Rakyat Marah, Negara Malah Berpura-pura

Semua ini semakin menunjukkan bagaimana negara lebih memilih bermain drama daripada menyelesaikan persoalan nyata. Ketika masalah sepele dibuat besar, solusi pun hadir dalam bentuk pahlawan instan. Namun, ketika masalah yang benar-benar mengancam hak rakyat dan kedaulatan negara terjadi, para pejabat justru diam atau sekadar beraksi ala badut politik.

Negeri ini sedang dipermainkan oleh mereka yang berkuasa. Rakyat marah, tetapi penguasa pura-pura tuli. Sampai kapan kebijakan seperti ini terus terjadi? Mungkin, selama sistem masih berpihak pada segelintir elite, rakyat hanya bisa menjadi saksi atas kebobrokan yang terus berulang.

Posting Komentar

0 Komentar