MENGAPA KONGLOMERAT MUSLIM DI INDONESIA MASIH MINORITAS?


Oleh: Darul Al-Fatih
Penulis Lepas

Indonesia terkenal sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia. Namun, sejak 2024, posisi ini digeser oleh Pakistan yang punya 240,8 juta jiwa Muslim atau sekitar 98,19% dari total populasinya. Sementara itu, Indonesia berada di urutan kedua dengan 236 juta jiwa Muslim atau 84,35% dari total populasi. Meskipun Indonesia mayoritas secara jumlah pemeluk agama Islam, kondisi ini tidak tercermin dalam penguasaan ekonomi nasional.

Menurut Forbes 2023, hanya 12% dari 50 orang terkaya di Indonesia yang berasal dari latar belakang Muslim, dengan kepemilikan aset sekitar 15,5 miliar USD atau Rp242 triliun. Angka ini jauh dibandingkan dengan hampir Rp565 triliun yang dikendalikan oleh konglomerat dari latar belakang agama lain. Persentase ini relatif stagnan antara 11% hingga 14% sejak 2004 hingga 2023.

Lantas, mengapa negara dengan mayoritas Muslim justru menjadi minoritas dalam puncak piramida ekonomi? Apakah ini sekadar angka statistik atau ada faktor sejarah dan sistemik yang mempengaruhinya?


Konglomerasi dan Struktur Ekonomi Indonesia

Menurut standar Harvard Business Review, yang menjadi indikator utama dalam menentukan seseorang menjadi konglomerat diantaranya:
  • Jumlah kekayaan bersih yang signifikan berbasis aset besar di berbagai sektor;
  • Diversifikasi bisnis melalui kepemilikan saham mayoritas di berbagai perusahaan, serta;
  • Pengaruh ekonomi yang ditandai dengan kontribusi besar terhadap PDB dan penciptaan lapangan kerja.

Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar ke-15 di dunia, dengan PDB sebesar 1,49 triliun USD atau Rp24 kuadriliun (Forbes 2025). Perekonomian ini sebagian besar dibentuk oleh konglomerat besar. Daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes 2024 masih didominasi oleh nama-nama lama seperti Robert Budi Hartono dan Michael Hartono (Djarum Group & BCA), Prajogo Pangestu (Barito Pacific), serta Low Tuck Kwong (Bayan Resources). Nama Muslim yang masuk dalam daftar ini pun masih terbatas.


Ketimpangan Ekonomi dan Dominasi Oligarki

Jurang antara si kaya dan si miskin di Indonesia semakin melebar sejak reformasi 1998. Menurut Bank Dunia (2013), 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 77% dari seluruh kekayaan negara, sementara 1% di antaranya menguasai separuhnya. Pada 2023, data dari LSM Oxfam menunjukkan bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan akumulasi kekayaan 100 juta penduduk lainnya.

Dominasi ini tidak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir. Keluarga-keluarga seperti Salim, Suryajaya, Hartono, Wijaya, dan Riady telah menguasai ekonomi sejak era Soeharto. Mobilitas ekonomi pun sangat statis, di mana hanya sedikit wajah baru yang berhasil menembus jajaran konglomerat.

Data Forbes juga menunjukkan bahwa sekitar 84% dari total konglomerat Indonesia berasal dari keturunan Tionghoa dengan aset hampir Rp3.565 triliun. Meskipun menghadapi diskriminasi sosial dan politik, komunitas ini berhasil mempertahankan dan mengakumulasi kekayaan mereka melalui jaringan bisnis yang solid.


Mengapa Konglomerat Muslim Masih Terbatas?

Ahmad Syarif, kandidat doktor dari Universitas Johns Hopkins, dalam The Conversation (17 September 2024) mengajukan dua hipotesis utama:
  • Muslim secara ekonomi kurang kompetitif dibandingkan kelompok lain.
  • Struktur politik dan ekonomi Indonesia yang tidak dinamis, di mana akses menuju konglomerasi dikendalikan oleh oligarki.

Lebih lanjut, ada tiga faktor utama yang menjelaskan fenomena ini:
  • Prinsip Islam tentang Kekayaan
Islam menekankan keadilan ekonomi, berbagi melalui zakat, infak, dan sedekah, serta melarang akumulasi kekayaan yang berlebihan. Ini menyebabkan banyak pengusaha Muslim lebih mengutamakan kebermanfaatan sosial dibandingkan menumpuk kekayaan pribadi.

  • Minimnya Jaringan Global
Umat Muslim Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk membangun koneksi ekonomi global, terutama dengan dunia Islam di Timur Tengah dan Asia. Namun, jaringan ini belum berkembang seefektif diaspora Tionghoa atau Yahudi, yang memiliki keterikatan bisnis lintas negara dan mendukung sesama mereka dalam membangun kekuatan ekonomi.

  • Kroni Kapitalisme dan Akses Terbatas
Di Indonesia, sistem ekonomi banyak dikendalikan oleh kroni kapitalisme, di mana konglomerat dan politisi memiliki akses eksklusif terhadap peluang bisnis dan investasi besar. Hal ini membatasi kelas menengah Muslim dan kelompok lain untuk naik ke level konglomerasi. Dengan demikian, mobilitas vertikal dalam dunia bisnis menjadi rendah.


Harapan bagi Ekonomi Muslim Indonesia

Meskipun jumlah konglomerat Muslim masih minim, ada pertumbuhan ekonomi berbasis syariah yang mulai berkembang pesat. Konsep ekonomi halal menjadi salah satu alternatif bagi umat Islam untuk membangun sistem ekonomi yang lebih adil dan tidak hanya berfokus pada akumulasi kekayaan pribadi.

Selain itu, Indonesia juga kembali dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia selama tujuh tahun berturut-turut oleh Charity Foundation 2024. Data menunjukkan bahwa 8 dari 10 orang Indonesia menyumbangkan uang untuk amal, dan lebih dari 5 dari 10 orang menyumbangkan waktu mereka untuk kegiatan sosial.

Ini menjadi sinyal positif bahwa umat Islam di Indonesia semakin sadar akan pentingnya mengelolaa ekonomi dengan aturan syariat demi membangun ekonomi yang lebih merata dan berbasis nilai-nilai keadilan tanpa hanya terpaku dengan penguasaan ekonomi secara kapital dengan menabrak norma-norma agama.


Kesimpulan

Konglomerat Muslim di Indonesia masih minoritas karena berbagai faktor, mulai dari prinsip Islam yang mendorong distribusi kekayaan, keterbatasan jaringan ekonomi global, hingga struktur oligarki yang menghambat mobilitas bisnis. Namun, pertumbuhan ekonomi berbasis syariah dan semakin kuatnya kesadaran ekonomi umat Islam menunjukkan bahwa ke depan, peta ekonomi Indonesia bisa lebih beragam dan inklusif.

Perlu disadari bahwa ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari sistem kapitalisme yang secara inheren menciptakan kesenjangan.

Karena itu, umat Islam perlu membangun jaringan ekonomi yang lebih kuat, memperkuat literasi keuangan syariah, dan meningkatkan partisipasi dalam sektor-sektor bisnis strategis. Selain itu, perubahan sistemik dalam kebijakan ekonomi juga diperlukan agar akses ekonomi lebih terbuka dan tidak hanya dikuasai oleh segelintir elite bisnis, dan hal ini hanya dapat terwujud dengan hadirnya Khilafah sebagai institusi yang menjamin terlaksananya syariat secara menyeluruh dan mencegah dominasi kekayaan serta peluang yang tidak merata.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar