MEMBONGKAR MODUS PERAMPASAN TANAH OLEH AGUNG SEDAYU GROUP


Oleh: Alex Syahrudin
Pemerhati Kebijakan Publik

Perjuangan melawan oligarki terus berlanjut, baik melalui jalur litigasi maupun non-litigasi. Secara hukum, kasus ini telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 754/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Pst. Namun, perjuangan ini tidak berhenti di ranah pengadilan saja. Upaya di luar pengadilan, seperti aksi penyampaian pendapat di muka umum, diskusi online, wawancara media, hingga dialog dan podcast, juga terus dilakukan demi membuka mata publik terhadap praktik perampasan tanah yang terjadi di Banten.

Pada podcast yang di ikuti Ahmad Khozinudin dan dipandu oleh Bambang Widjojanto, mantan Wakil Ketua KPK periode 2011-2015 terungkap beragam fakta. Dalam diskusi tersebut, berbagai modus operandi perampasan tanah yang dilakukan oleh Agung Sedayu Group (ASG) dan Group Salim dalam proyek PIK-2 diungkap dengan detail.


Modus Operandi Perampasan Tanah

Secara garis besar, perampasan tanah yang dilakukan oleh ASG mencakup dua kategori utama: perampasan tanah daratan dan perampasan wilayah laut. Berikut adalah cara-cara yang digunakan oleh oligarki dalam menguasai tanah rakyat:

1. Perampasan Tanah Daratan
Modus yang dilakukan ASG dalam menguasai tanah daratan rakyat adalah dengan menerbitkan sertifikat atau alas hak secara sepihak di atas tanah yang telah mereka tetapkan sebagai wilayah pengembangan proyek properti. Proses ini melibatkan berbagai pihak, termasuk kepala desa, perantara, notaris, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dengan cara ini, kepemilikan tanah masyarakat yang hanya memiliki bukti girik menjadi tidak berdaya karena Nomor Induk Bidang (NIB) telah diterbitkan atas nama pihak-pihak tertentu yang terafiliasi dengan ASG.

Berdasarkan data yang diperoleh, luas tanah yang telah diterbitkan NIB dan digunakan untuk merampas tanah rakyat mencapai 9.024.890 m² (900 hektare), dengan rincian sebagai berikut:
    • Atas nama Hendry: 5.901.554 m²
    • Atas nama Vreddy: 2.679.883 m²
    • Atas nama A. Gojali: 322.635 m²

Setelah penguasaan legal (de jure) dilakukan, langkah selanjutnya adalah penguasaan fisik (de facto) melalui penggunaan preman bayaran. Preman ini bertugas mengambil alih tanah rakyat, yang umumnya berupa sawah dan empang, dengan dalih bahwa tanah tersebut telah dimiliki pihak tertentu berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) dan sertifikat yang telah mereka buat sebelumnya.

Jika masyarakat menolak dan melawan, mereka akan dihadapkan dengan berbagai tekanan, termasuk:
    • Penawaran harga murah untuk membeli tanah rakyat.
    • Pengurugan paksa tanah tanpa izin pemilik.
    • Kriminalisasi terhadap pemilik tanah yang melawan.

Banyak pemilik tanah yang akhirnya terpaksa menyerah karena tekanan ini. Bahkan, banyak yang sama sekali tidak menerima ganti rugi atas tanah mereka yang kini telah berubah menjadi kawasan perumahan elit PIK-2.


2. Perampasan Wilayah Laut
Selain daratan, ASG juga merampas wilayah laut dengan dalih bahwa lahan tersebut sebelumnya merupakan daratan yang terkena abrasi. Dengan bekerja sama dengan kepala desa, notaris, Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB), dan BPN, mereka membuat sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atau Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan yang sebenarnya adalah laut.

Dalih hukum yang digunakan untuk menguasai laut adalah Pasal 66 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 yang mengatur tentang Tanah Musnah. Dalam regulasi ini, disebutkan bahwa tanah yang sudah berubah bentuk akibat peristiwa alam dapat dikategorikan sebagai tanah musnah. ASG kemudian menggunakan pasal ini untuk mereklamasi laut dan mengubahnya menjadi lahan properti yang menguntungkan mereka.


Perlawanan Terhadap Oligarki

Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana oligarki properti bekerja dengan sistematis untuk menguasai tanah rakyat dengan cara-cara yang melanggar hukum dan keadilan. Sayangnya, banyak korban kriminalisasi yang akhirnya masuk penjara akibat menolak untuk menyerahkan tanah mereka. Jika ada yang menempuh jalur hukum, tim khusus ASG telah menyiapkan strategi untuk memenangkan setiap perkara di pengadilan.

Namun, perjuangan belum selesai. Masyarakat yang dirampas haknya terus berjuang dengan berbagai cara, termasuk melalui litigasi, aksi massa, diskusi publik, dan pengungkapan di media. Bocoran halus dari podcast bersama Bambang Widjojanto ini hanyalah sebagian dari upaya membuka mata publik terhadap kejahatan oligarki dalam perampasan tanah rakyat.

Perjuangan ini tidak boleh berhenti. Masyarakat harus terus bersatu melawan ketidakadilan agar hak atas tanah dan laut tidak jatuh ke tangan segelintir elit rakus yang hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa peduli pada penderitaan rakyat.

Posting Komentar

0 Komentar