MEMAHAMI PERBEDAAN DZAN DAN KEHATI-HATIAN DALAM ISLAM


Oleh: Diaz
Penulis Lepas

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada dilema antara prasangka (dzan) dan sikap kehati-hatian. Banyak orang yang salah memahami perbedaan antara keduanya, sehingga terkadang kehati-hatian dianggap sebagai prasangka buruk. Padahal, Islam telah mengatur dengan jelas mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.


Kehati-hatian yang Diperlukan

Sikap kehati-hatian sangat diperlukan, terutama dalam situasi yang memang rawan dengan kecurangan atau penipuan. Contoh nyata bisa kita temukan saat berada di Makkah dan Madinah. Banyak jamaah haji dan umrah dari Indonesia yang memiliki hati lembut dan suka menolong. Namun, di tempat suci itu pun tetap ada orang-orang yang memanfaatkan kebaikan jamaah untuk kepentingan pribadi, seperti berpura-pura meminta bantuan finansial dengan alasan yang tidak jelas.

Dalam kondisi seperti ini, kehati-hatian sangat penting. Jika seseorang benar-benar membutuhkan, tentu ia akan mencari bantuan yang sah, misalnya melalui pihak berwenang atau lembaga resmi. Oleh karena itu, memastikan kebenaran sebelum membantu adalah bagian dari sikap bijak, bukan prasangka buruk.


Mengungkap Keburukan yang Jelas

Dalam Islam, ada beberapa kondisi di mana menceritakan keburukan seseorang diperbolehkan, misalnya dalam kasus seseorang yang diketahui sering berhutang tanpa membayar. Jika ada seseorang dalam lingkungan kita yang terkenal suka meminjam uang tanpa niat mengembalikan, lalu kita memperingatkan teman agar berhati-hati, hal itu bukanlah termasuk dzan atau ghibah yang dilarang. Justru, itu adalah bentuk perlindungan agar orang lain tidak menjadi korban yang sama.

Hal ini berlaku juga dalam lingkungan sosial dan bisnis. Ketika seseorang memiliki rekam jejak buruk dalam urusan keuangan, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengingatkan orang lain agar tidak dirugikan. Ini bukanlah prasangka buruk, tetapi tindakan preventif agar tidak jatuh dalam keburukan yang sama.


Peran Petugas Keamanan dan Hukum

Contoh lain adalah dalam konteks tugas aparat keamanan. Polisi, petugas bandara, dan askar di Masjidil Haram memiliki tugas untuk memeriksa dan memastikan keamanan. Jika mereka meminta seseorang membuka tasnya untuk diperiksa, itu bukanlah bentuk dzan yang dilarang, melainkan bagian dari tanggung jawab mereka dalam menjaga keamanan.

Seorang satpam yang memeriksa barang bawaan bukan berarti ia berprasangka buruk, tetapi karena tugasnya memang mengharuskan untuk bersikap waspada. Islam sangat memahami pentingnya keamanan, sehingga memberikan ruang bagi tindakan-tindakan pencegahan seperti ini.


Dzan yang Dilarang dalam Islam

Sebaliknya, dzan yang dilarang dalam Islam adalah prasangka buruk terhadap seseorang dalam perkara kebaikan. Misalnya, ada seseorang yang bersedekah dan mengajak orang lain untuk turut bersedekah, lalu ada yang menuduhnya ingin pamer atau riya. Menilai niat seseorang tanpa bukti yang jelas adalah tindakan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Setiap orang bertanggung jawab atas niatnya sendiri, dan bukan hak kita untuk menilainya.

Hal ini sesuai dengan kisah di zaman Rasulullah ﷺ. Suatu ketika, Ka'ab bin Malik tidak ikut serta dalam jihad bersama Rasulullah ﷺ. Beberapa sahabat pun menganggapnya sebagai orang yang lalai dan tidak siap. Namun, Rasulullah ﷺ justru menegur mereka dan meminta agar mereka mencari alasan baik terlebih dahulu sebelum berprasangka buruk terhadap Ka'ab bin Malik. Sikap husnudzan (berprasangka baik) ini yang seharusnya menjadi dasar dalam menilai sesama Muslim.


Kesimpulan

Islam mengajarkan keseimbangan antara kehati-hatian dan prasangka. Dalam perkara yang memang berpotensi menimbulkan kerugian, kehati-hatian adalah suatu keharusan. Namun, dalam hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan dan amal, kita tidak boleh dengan mudah berprasangka buruk. Sikap bijak dalam memilah mana yang merupakan kehati-hatian dan mana yang termasuk dzan yang dilarang adalah bagian dari ajaran Islam yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga kita selalu diberikan kebijaksanaan dalam bersikap dan mampu membedakan antara prasangka yang dilarang dan kehati-hatian yang diperlukan. Wallahu a'lam.

Posting Komentar

0 Komentar