![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJfWYsJeC3dcZkuXAI8a-TK9EKVL2bFjFkCHCjSDUNrUfuCM950_uIqCIp_E1ZVXL0x5fot0-TH80ki46oc3hLMvVBpO9pqTfdsyRAiWnz0GzdBZVKUvqt9eVCak87dvW2VxfUNoGeK7SLo3rWM3_VNwGCPINNA0s0SeYOrWOIDXOsyRcdgiQcx_e_/s16000/Gudang-Opini-LPG-Langka.jpg)
Oleh: Tety Kurniawati
Penulis Lepas
Sejumlah wilayah di Indonesia mulai merasakan gas elpiji 3 kilogram langka di pasaran. Lantas apa penyebab gas elpiji 3 kg langka?
Diketahui, per 1 Februari 2025, pengecer tidak lagi diperbolehkan menjual gas elpiji 3 kg. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan, pengecer yang ingin tetap menjual elpiji bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau sub penyalur resmi Pertamina (tribunnews.com, 02-01-2025).
Kebijakan Dholim
Fenomena kelangkaan LPG menjadi keluhan warga diberbagai daerah belakang ini. Kelangkaan ini dipicu adanya kebijakan restriktif yang memperlambat aktivitas ekonomi masyarakat menengah kebawah. Rumah tangga berpenghasilan rendah serta pelaku usaha mikro yang menggantungkan aktivitas kesehariannya pada gas subsidi. Mereka harus memutar otak guna mencari solusi. Alternatif pengganti LPG, meski beresiko menanggung biaya lebih tinggi.
Sementara yang memiliki dana terbatas, harus rela berlelah-lelah mengantre. Termasuk meluangkan waktu mencari agen resmi. Meski jauhnya akses pada agen seringkali berbuntut kesulitan tambahan tuk mendapatkan gas LPG. Baik keterbatasan stok maupun membengkaknya biaya transportasi.
Kebijakan pembatasan distribusi LPG hanya sampai ke pangkalan. Konon ditujukan untuk menghindari permainan harga di tingkat pengecer sekaligus memastikan distribusi yang lebih merata dan tepat sasaran. Namun, kenyataan dilapangan justru menunjukkan hal yang bertolak belakang. Alih-alih memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi dan menyelesaikan masalah markup harga LPG. Kebijakan tersebut justru menjadi eksperimen sosial yang menyengsarakan rakyat. Sebab berpotensi memunculkan pasar gelap dengan harga lebih tinggi maupun menambah beban berat bagi golongan masyarakat yang rentan.
Selain itu, kebijakan ini juga mensyaratkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi, bila ingin mendapatkan stok gas melon untuk dijual. Tak hanya menyulitkan, kebijakan ini membuat bisnis pengecer terancam gulung tikar. Sementara bisnis pemilik pangkalan berpotensi kian berkembang. Menjadi bukti tak terbantahkan bahwa kebijakan yang ada, merupakan kebijakan dholim bagi rakyat.
Kapitalisme Meniscayakan Kesengsaraan Rakyat
Perubahan tersebut adalah keniscayaan dalam sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ini memberi kemudahan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar. Mulai dari bahan baku hingga bahan jadi. Rakyat kecil terpaksa harus gigit jari. Mahalnya pemenuhan kebutuhan akan sumber daya energi tak bisa dihindari.
Sistem ini juga meniscayakan adanya liberalisasi migas. Terbukanya jalan bagi korporasi mengelola sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat, tak hanya menyebabkan beralihnya kepemilikan. Namun, penguasaan terhadap sumber daya energi yang berpotensi makin menyulitkan rakyat memenuhi kebutuhan dan mengakses sumber energi. Monopoli pasar oleh pemilik modal jadi keniscayaan atas aktivitas ekonomi yang berorientasi keuntungan. Akibatnya, alih-alih mengoptimalkan kesejahteraan bagi rakyat, kebijakan yang diterapkan justru menghadirkan kesengsaraan.
Islam Mengelola Migas
Islam menetapkan bahwa migas termasuk dalam kepemilikan umum. Negara wajib mengelola sumber daya alam tersebut bagi kepentingan rakyat. Mulai dari pengeboran hingga siap dikonsumsi rakyat. Keuntungan atas pengelolaan tersebut wajib dipergunakan oleh negara bagi kesejahteraan warganya. Oleh karenanya, pengelolaan migas tidak boleh dialihkan pada perorangan atau pihak swasta, maupun asing secara mutlak.
Terkait pendanaan (modal), Islam menentukan bahwa hal ini termasuk dalam kepemilikan. Maka pendanaan individu, swasta maupun asing terhadap industri sumber daya energi, baik yang bersifat eksplorasi maupun eksploitasi tidak diperbolehkan. Pendanaan semua industri milik umum, tidak terkecuali industri energi secara integral masuk dalam anggaran negara (baitulmal) sektor kepemilikan umum. Hasil keseluruhan dari industri milik umum ini nantinya akan langsung dimasukkan dalam Baitulmal. Kegunaan jelas, untuk mendanai berbagai pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.
Sesuai dengan ketetapan Islam yang mengatur fungsi negara sebagai raa'in. Negara berkewajiban memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya akan layanan publik, fasilitas umum dan sumber daya alam yang merupakan hajat publik, termasuk migas. Konsekuensinya kebutuhan rakyat atas sumber energi migas akan mudah diakses dan tersedia dengan harga yang murah. Tanpa perlu mengantre panjang hingga berpotensi jatuhnya korban jiwa dan mengeluarkan biaya transportasi tinggi sekedar untuk menjangkau lokasi penjualan sumber daya energi.
Demikianlah Islam mengelola migas bagi kemaslahatan umat. Kebutuhan esensialnya terpenuhi, hingga kesejahteraan rakyat tak lagi sekedar mimpi. Melainkan keniscayaan atas penerapan Islam secara kaffah dalam kehidupan dimuka bumi.
Wallahu a'lam bishawwab.
0 Komentar