LAUT TERBELENGGU SANGKAR OLIGARKI


Oleh: Rida Asnuryah
Tenaga Pendidik (Guru)

"Pemerintahan adalah budak oligarki; dan juga, karakter yang paling sewenang-wenang serta kriminal." -Lysander Spooner.

Penemuan deretan pagar bambu yang berdiri di beberapa perairan Nusantara menambah panjang daftar perbincangan berskala Nasional. Agar permasalahan tersebut tidak semakin berlarut-larut, digelarlah rapat antara Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membahas persoalan pagar laut dan sejumlah isu kelautan yang harus segera ditindaklanjuti secara konkrit. (Ayobandung.com, 2-2-2025)

Kendati telah mengeluarkan putusan, nampaknya respon atas problem pagar laut ini belum memuaskan publik, sebab sanksi yang diberikan kepada pihak yang mengkavling wilayah laut hanya berupa sanksi administrasi berupa denda yang murah. Padahal, sejatinya sudah jelas ada pelanggaran hukum. Bahkan, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid tidak mengusut dugaan pidana pagar laut meski ada pejabat ATR dicopot, ia mengaku tidak tahu apakah enam orang yang dicopot tersebut menerima suap atau tidak. Menurutnya, pembuktian mengenai dugaan tindak pidana bukan menjadi ranah atau wewenang kementeriannya. Disini, tercium adanya beberapa pihak yang dijadikan kambing hitam, namun dalangnya tidak tersentuh oleh hukum. Para pejabat pun sibuk bersilat lidah dan berlepas tangan.

Kasus ini, sebagaimana juga kasus penjualan area pesisir laut di berbagai pulau yang sebelumnya pernah menggemparkan masyarakat, menunjukkan kuatnya korporasi dalam lingkaran kekuasaan, atau yang disebut dengan istilah korporatokrasi. Negara kalah dengan para korporat yang memiliki banyak uang. Laut yang harusnya menjadi sumber kemaslahatan rakyat, mulai dibelenggu dalam sangkar para pemodal, yang penuh kesewenangan dan tak punya hati nurani. Bahkan aparat/pegawai negara menjadi fasilitator kejahatan terhadap rakyat, bekerja sama melanggar hukum negara membawa kemadharatan bagi rakyat dan mengancam kedaulatan negara. Prinsip liberalisme dalam ekonomi kapitalisme membuka peluang terjadinya korporatokrasi, yakni munculnya aturan yang berpihak pada oligarki.

Maka kita patut berkaca, Negara sejatinya berfungsi sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi rakyat. Semua ini akan terwujud ketika aturan bersumber pada hukum syara', bukan akal manusia. Berbeda dengan Kapitalisme hari ini, Islam memiliki sistem ekonomi Islam dengan konsep kepemilikan lengkap dengan aturan pengelolaannya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” [HR Abu Dawud dan Ahmad]

Hadis di atas menyatakan bahwa kaum muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu. Imam as-Sarakhsyi di dalam al-Mabsûth menjelaskan hadis-hadis di atas. Di dalam hadis-hadis ini terdapat penetapan bahwa manusia, baik muslim maupun kafir, berserikat dalam ketiga hal itu. Para ulama sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh individu.

Di lain sisi, Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas bagi pelanggar hukum. Semua setara di mata hukum, entah itu orang kecil maupun para Oligarki. Dengan prinsip kedaulatan di tangan syara', maka korporatokrasi dapat dicegah, jadi tidak akan ada kasus semacam pagar laut yang menyulitkan para nelayan mengarungi lautan. Apalagi Islam menetapkan penguasa wajib menjalankan aturan Islam saja, dan haram menyentuh harta rakyat atau memfasiliasi pihak lain mengambil harta miliki rakyat.

Demikianlah, Islam adalah Problem Solving, hanya dengan Islam saja Negeri berjaya dan masyarakat sentosa dapat terwujud. Mari kita sama-sama menerapkannya kembali seperti sedia kala.

Wallahu A'lam.

Posting Komentar

0 Komentar