![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwT3dKgAtBtyI0Z2llPiFX-IIVTFTXbQyn3huWs4ZWYk5dGCgBtS1EH_pr-6PCnWtgcShPcFT4Bqj_6bbqQ5yN4rHM0PLG6qPVeCQMlKf73r8VDn5SGdtJOH5kEG_AI8cFsCrTOvnETN93E8TlVGOeBYrlnOwdWMoHB_gzfEJVp4oPqu9MTRZzMeQP/s16000/Gudang-Opini-AS-Israel.jpg)
Oleh: Alraiah
Media Palestina
Kunjungan Perdana Menteri Zionis, Benjamin Netanyahu, ke Amerika Serikat dan pertemuannya dengan Presiden Donald Trump pada Selasa, 4 Februari 2025, mendapat perhatian besar dari media dan dunia politik. Hal ini disebabkan oleh pernyataan-pernyataan yang disampaikan terkait Gaza dan pemindahan penduduknya, yang tampak mengejutkan banyak pihak. Dalam konferensi pers bersama di Gedung Putih, Trump menyatakan:
"Amerika Serikat akan mengambil kendali atas Jalur Gaza, dan kami berharap untuk memiliki kepemilikan jangka panjang di sana."
Ia menambahkan bahwa satu-satunya alasan warga Palestina masih bertahan di Gaza adalah karena tidak adanya alternatif, dan ia menggambarkan Gaza sebagai wilayah yang dapat menjadi "Riviera Timur Tengah" setelah direvitalisasi. Trump juga membahas kemungkinan keterlibatan Yordania dan Mesir dalam rencana pemindahan penduduk Gaza, dengan mengatakan:
"Raja Abdullah II dan Presiden Abdel Fattah al-Sisi akan menyediakan lahan bagi penduduk Gaza untuk hidup dengan damai."
Pernyataan ini memicu gelombang kritik dan penolakan dari komunitas internasional yang menentang gagasan pendudukan Gaza oleh Amerika dan pemindahan penduduknya. Banyak pihak mendesak untuk menghidupkan kembali solusi dua negara sebagai alternatif. Menanggapi reaksi ini, Gedung Putih segera memberikan klarifikasi bahwa rencana Trump tidak berarti Amerika akan menduduki atau membangun kembali Gaza.
Dalam konferensi pers pada Rabu, juru bicara Gedung Putih, Caroline Leavitt, menegaskan:
"Presiden tidak berkomitmen untuk mengirim pasukan darat ke Gaza... Amerika Serikat tidak akan membayar biaya rekonstruksi Gaza."
Padahal, sehari sebelumnya, Trump tidak menutup kemungkinan pengiriman pasukan Amerika ke Gaza dengan mengatakan:
"Kami akan melakukan apa yang diperlukan. Jika perlu, kami akan melakukannya."
Bahkan, Menteri Luar Negeri Amerika, Marco Rubio, pada Rabu, 5 Februari 2025, mencoba meredakan kontroversi dengan menyatakan bahwa tawaran Trump terkait Gaza bukanlah langkah permusuhan. Ia menjelaskan bahwa rencana tersebut hanya bertujuan untuk membersihkan reruntuhan dan menyiapkan tempat tinggal sementara bagi penduduk Gaza selama proses rekonstruksi. Pada Kamis, Trump sendiri menyatakan bahwa entitas Zionis akan menyerahkan Gaza kepada Amerika setelah pertempuran berakhir.
Pada Jumat, 7 Februari 2025, dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Jepang di Gedung Putih, Trump mengatakan:
"Pada dasarnya, Amerika Serikat akan menangani Gaza sebagai investasi properti. Bagi kami, Gaza adalah transaksi real estate, di mana kami akan menjadi investor di wilayah tersebut, dan kami tidak akan terburu-buru mengambil keputusan apa pun."
Dengan demikian, dalam hitungan hari bahkan jam pernyataan dari Trump dan pemerintahannya berubah-ubah. Banyak pihak menilai ini sebagai kebingungan dalam pengambilan keputusan atau strategi untuk membanjiri media dengan berita sensasional guna menutupi perubahan dan pemecatan besar-besaran yang sedang terjadi di dalam negeri Amerika.
Namun, teori pengalihan isu ini masih sebatas dugaan tanpa bukti konkret. Amerika adalah negara yang dijalankan berdasarkan konstitusi, hukum, lembaga, dan sistem peradilan. Trump tidak bisa begitu saja melanggar konstitusi atau mengabaikan peradilan. Bahkan, selama ini pengadilan Amerika telah membatalkan berbagai kebijakan presiden, termasuk kebijakan Trump. Selain itu, Senat, DPR, Pentagon, serta lembaga-lembaga pengawas bukanlah institusi lemah yang mudah diabaikan oleh Trump dengan manuver-manuver semacam ini.
Adapun jika dikatakan bahwa Trump bingung atau tidak konsisten, hal itu hanya berlaku jika perubahan sikapnya terjadi tanpa perencanaan. Namun, bagi negara sebesar Amerika, setiap kebijakan ditentukan oleh jajaran pejabat, pemikir, dan perancang strategi.
Kemungkinan besar, yang terjadi adalah bahwa pemerintahan Trump sedang mempersiapkan kondisi untuk melancarkan pemindahan paksa penduduk Gaza. Sebelumnya, rencana ini ditolak oleh para pemimpin di Mesir dan Yordania. Dengan kata lain, ini adalah strategi "mengukur reaksi", untuk melihat apakah para penguasa tersebut bisa ditekan agar memaksa rakyatnya menerima rencana pemindahan ini, atau apakah rencana ini harus ditunda sampai waktu yang lebih tepat menurut Trump. Jika rakyat di Mesir dan Yordania menolak, maka para pemimpin mereka akan kesulitan melaksanakan rencana ini.
Artinya, Trump akan melanjutkan rencana pemindahan penduduk Gaza begitu ia melihat bahwa waktunya sudah tepat dengan risiko minimal. Sementara itu, ia tidak keberatan untuk menunggu dan mempersiapkan segalanya terlebih dahulu, seperti yang ia katakan:
"Bagi kami, Gaza adalah transaksi real estate, di mana kami akan menjadi investor di wilayah tersebut, dan kami tidak akan terburu-buru mengambil keputusan apa pun."
Pernyataan ini tentu menyenangkan Zionis, terutama Netanyahu, yang melihatnya sebagai peluang besar. Selain sejalan dengan impian teologis mereka untuk mengusir rakyat Palestina, rencana ini juga menjadi penyelamat bagi Netanyahu dan pemerintahannya.
Sebelum bertemu Trump, Netanyahu menunda negosiasi tahap kedua yang seharusnya dimulai sebelum keberangkatannya ke Amerika. Ia sebelumnya menyatakan bahwa syarat untuk melanjutkan negosiasi adalah pengusiran para pemimpin Hamas dari Gaza. Namun, setelah bertemu Trump dan mendengar rencana pemindahan penduduk Gaza, Netanyahu segera mengirim delegasi untuk melanjutkan negosiasi tanpa lagi menuntut pengusiran Hamas.
Rencana Trump ini juga bisa meyakinkan Menteri Keuangan Zionis, Bezalel Smotrich, untuk tetap berada di pemerintahan Netanyahu. Sebelumnya, Smotrich mengancam akan keluar dari koalisi jika perang tidak dilanjutkan setelah tahap kedua negosiasi. Dengan adanya rencana pemindahan penduduk Gaza, penghancuran Hamas, dan pembebasan sandera, Netanyahu dan Smotrich bisa mencapai tujuan mereka tanpa perlu kembali berperang, sehingga pemerintahan Netanyahu tetap bertahan dan ia terhindar dari pengadilan.
Inilah sebabnya mengapa pasukan Zionis kembali mematuhi kesepakatan, seperti menarik diri dari Koridor Netzarim pada Minggu, 9 Februari 2025, sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata.
Netanyahu tampaknya melihat rencana Trump sebagai solusi terbaik untuk mencapai tiga tujuan utama tanpa kembali ke peperangan. Hal ini juga ditegaskan Netanyahu dalam wawancaranya dengan Fox News, di mana ia menyebut gagasan Trump sebagai "ide yang luar biasa", yang mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang saat ini, tetapi akan tampak masuk akal di masa depan sebagai solusi akhir bagi Gaza.
Saat ini, mereka sedang memasuki tahap kedua dan ketiga untuk membebaskan sandera, mengakhiri perang, dan menyingkirkan Hamas. Namun, hal itu berjalan bersamaan dengan rencana pemindahan penduduk Gaza. Bahkan, Zionis mulai memperketat kondisi kehidupan di Gaza dengan menunda masuknya bantuan kemanusiaan, tenda, serta rumah-rumah darurat. Kekurangan air, pangan, dan layanan kesehatan semakin membuat hidup di Gaza menjadi tidak tertahankan, sehingga penduduk dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka demi kehidupan yang lebih layak di tempat lain.
Namun, umat Islam tidak akan tinggal diam. Sejarah telah membuktikan bahwa rakyat Palestina tetap bertahan di tanah mereka selama 77 tahun, meskipun menghadapi penjajahan Zionis dan konspirasi internasional.
Rencana Trump dan Netanyahu ini akan hancur di hadapan keteguhan umat Islam. Kekhalifahan yang akan segera tegak, insyaAllah, akan membebaskan tanah suci ini dan menyingkirkan entitas Zionis selamanya.
0 Komentar