
Oleh: Nasrudin Joha
Pujangga Politik
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono mengungkap bahwa dua pelaku pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Tangerang, Banten, bersedia membayar denda Rp48 miliar. Dua nama yang dijadikan tumbal dalam kasus ini adalah Kepala Desa Kohod, Arsin, dan anak buahnya berinisial T. Sementara itu, nama-nama besar seperti Mandor Memet, Eng Cun alias Gojali, dan Ali Hanafiah Lijaya yang dikenal sebagai orangnya Aguan tidak tersentuh hukum.
Pelanggaran Hukum yang Dimaafkan?
Pemagaran laut yang dilakukan seharusnya tidak hanya dikenakan denda, tetapi juga sanksi pidana. Berdasarkan Pasal 98 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tindakan ini masuk dalam kategori perusakan ekosistem dengan ancaman pidana 3 hingga 10 tahun. Namun, anehnya, negara hanya memberikan sanksi denda tanpa ada proses hukum lebih lanjut.
Lebih absurd lagi, seluruh kasus ini seolah dilokalisir hanya kepada Arsin dan T. Seakan-akan dua orang ini bertanggung jawab penuh atas proyek pemagaran sepanjang 30,16 kilometer. Secara logika, bagaimana mungkin seorang kepala desa bersama satu orang lainnya mampu melakukan pemagaran laut sebesar itu sendirian? Apa tujuan mereka memagari laut? Untuk kandang ayam? Atau taman bermain?
Dalang Sebenarnya di Balik Pemagaran Laut
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemagaran laut dilakukan oleh Mandor Memet bersama sejumlah pekerja dan pemasok material dari jaringan Arsin. Namun, pertanyaan yang lebih besar adalah siapa yang mendanai proyek ini? Tidak masuk akal jika proyek sebesar ini hanya dilakukan atas inisiatif kepala desa dan anak buahnya.
Motif pemagaran laut ini adalah untuk melegitimasi klaim "Tanah Musnah", sebuah narasi yang digunakan untuk mendapatkan sertifikat laut. Dalihnya, wilayah pesisir yang terkena abrasi dulunya adalah daratan yang memiliki girik dan dapat diklaim kembali dengan Pasal 66 PP No. 18 Tahun 2021. Yang paling diuntungkan dari skema ini adalah Agung Sedayu Group melalui dua anak usahanya, PT Cahaya Intan Sentosa (CIS) dan PT Intan Agung Makmur (IAM), yang menjadi pemesan sertifikat tersebut.
Siapa yang Dilindungi Negara?
Jika memang ada kejahatan di balik proyek ini, kenapa hanya Arsin dan Desa Kohod yang menjadi kambing hitam? Bagaimana dengan 16 desa di 6 kecamatan lainnya yang juga terdampak? Apakah Agung Sedayu Group sebagai penadah sertifikat laut juga akan dibiarkan lolos begitu saja? Bagaimana dengan Aguan dan Anthony Salim, pemilik proyek PIK-2 yang akan memanfaatkan reklamasi dari sertifikat laut ini?
Yang lebih mengkhawatirkan, bagaimana peran kepolisian dalam kasus ini? Apakah Polri akan membiarkan Ali Hanafiah Lijaya, orang kepercayaan Aguan, lolos dari jeratan hukum hanya karena diduga memberikan suap kepada aparat?
Negara Memihak Penguasa, Bukan Rakyat
Ketidakadilan dalam kasus ini terlalu telanjang. Negara, melalui KKP dan aparat penegak hukum, tampak lebih sibuk melindungi pengusaha besar daripada membela hak-hak rakyat yang semakin tersingkir akibat proyek PIK-2.
Kejahatan pagar laut dan sertifikat laut ini hanyalah sebagian kecil dari masalah besar yang ditimbulkan oleh proyek PIK-2. Di wilayah daratan, dampak proyek ini lebih dahsyat lagi. Ribuan warga terusir, lingkungan rusak, dan kepentingan rakyat dikorbankan demi segelintir oligarki.
Wahai rakyat, sadarlah! Semua ini adalah skenario besar untuk menguasai sumber daya negeri ini, dengan menganggap 280 juta penduduk Indonesia bodoh dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi kita tidak boleh diam. Kita harus terus bersuara, bersatu, dan berjuang demi keadilan dan keberlanjutan negeri ini. Jika negara terus melindungi penjahat, kepada siapa lagi rakyat harus mengadu?
0 Komentar