ISTILAH TANAH MUSNAH: LEGITIMASI REKLAMASI LAUT OLEH OLIGARKI?


Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Hukum dan Perubahan

Istilah "Tanah Musnah" bukanlah konsep yang dikenal dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Istilah ini baru muncul dalam UU Cipta Kerja melalui Pasal 49 UU Nomor 6 Tahun 2023 Jo UU Nomor 11 Tahun 2020. Pasal tersebut menyatakan bahwa tanah yang telah musnah akibat perubahan fungsi lahan atau bencana alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan peraturan yang berlaku.

Definisi lebih lanjut mengenai tanah musnah tercantum dalam Pasal 1 angka 33 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, dan Satuan Rumah Susun, yang menyebutkan:

"Tanah musnah adalah tanah yang tidak dapat digunakan lagi karena telah mengalami kerusakan fisik dan/atau kerusakan ekologis yang tidak dapat dipulihkan."

Sekilas, konsep ini tampak normatif dan tidak bermasalah. Bahkan, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menolak berdebat dengan Kepala Desa Kohod dan menegaskan bahwa tanah bersertifikat di Desa Kohod telah musnah menjadi laut. Pernyataan ini didukung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono, yang dalam podcast Akbar Faizal Uncensored menegaskan bahwa tanah musnah tidak lagi memiliki hak atasnya.

Namun, di balik itu semua, konsep "Tanah Musnah" justru menjadi pemicu polemik sertifikat laut dan pagar laut yang berhubungan dengan proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2). Pasal 66 PP Nomor 18 Tahun 2021 merinci bahwa:
  • Tanah yang sudah berubah bentuk akibat peristiwa alam dinyatakan sebagai tanah musnah, sehingga Hak Pengelolaan atau Hak Atas Tanah dihapus.
  • Penetapan tanah musnah dilakukan melalui tahapan identifikasi, inventarisasi, dan pengkajian.
  • Pemegang hak tanah, seperti Agung Sedayu Group, diberikan prioritas untuk merekonstruksi atau mereklamasi tanah musnah.
  • Jika reklamasi dilakukan oleh pemerintah atau pihak lain, pemegang hak tanah akan mendapatkan kompensasi berupa dana kerohiman.
  • Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri.

Dalam diskusi di Channel Diskursus Net bersama Yasmin Mumtaz, terungkap bahwa penerimaan konsep tanah musnah ini membuka celah bagi oligarki, seperti Agung Sedayu Group (Aguan) dan Anthony Salim, untuk melegitimasi reklamasi laut dengan dalih tanah mereka telah musnah akibat abrasi. Dengan pasal ini, mereka dapat mengajukan hak reklamasi dan bahkan memperoleh kompensasi finansial.

Namun, pertanyaannya adalah, benarkah tanah tersebut musnah?

Faktanya, tidak pernah ada tanah musnah akibat abrasi. Yang ada adalah penerbitan sertifikat tanah berdasarkan dokumen atau akta otentik yang diduga dipalsukan, seolah-olah tanah itu pernah ada sebelum akhirnya berubah menjadi laut. Dengan skema ini, SHGB maupun SHM yang diterbitkan di atas laut bisa dianggap sah dan berhak direklamasi.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika polemik pagar laut dan sertifikat laut ini tak kunjung selesai. Ada dugaan kuat bahwa penguasa berupaya melindungi kepentingan Aguan dan kelompok oligarki lainnya dalam proyek reklamasi PIK-2. Dengan dalih "Tanah Musnah", mereka berupaya mempertahankan klaim atas lahan yang sebenarnya tidak pernah ada, lalu menggunakannya untuk kepentingan bisnis properti yang menguntungkan segelintir elite.

Pernyataan Menteri ATR dan Menteri KKP semakin memperkuat indikasi ini. Dengan kebijakan ini, oligarki mendapat legitimasi untuk mereklamasi laut dan memperoleh keuntungan besar, sementara masyarakat kehilangan haknya atas ruang hidup dan lingkungan yang sehat.

Posting Komentar

0 Komentar