
Oleh: Amey Nur Azizah
Penulis Lepas
Ada tulisan menarik dari sebuah buku berjudul Bukan Anak Muda Palsu karya Adi Wijaya. Di dalamnya terdapat sebuah pertanyaan, mau jadi driver or passenger?
Kalau mau santai, jadi saja penumpang. Tinggal naik, duduk, santai dan sampai. Sambil tiduran pun jadi. Pesan saja sama sang driver, nanti kalau sudah sampai tujuan, tolong dibangunkan. Enak, kan?
Bagaimana dengan driver? Tak ada toleransi untuk lengah. Tidur walau sedetik, tidak bisa. Sepasang matanya harus selalu awas. Di tangannya tergenggam nyawa para penumpang. Penuh risiko hidupnya. Kalau bukan dia ditabrak, mungkin dia yang akan menabrak. Kalau ada salah, semua telunjuk akan menunjuk dirinya. Begitulah pahitnya seorang driver.
Driver or passenger. Di dalam buku itu tidak hendak membahas driver dalam makna sopir. Juga passenger dalam arti penumpang. Itu hanya kiasan belaka. Driver dan passenger adalah lambang dua model mental yang berlawanan sifat. Passenger mewakili anak muda yang takut mengambil sikap. Maunya di zona aman saja. Cukup jadi anak muda rebahan. Tidur bermalasan, sambil punya harapan akan cerahnya masa depan. Mau hidup enak, sementara tidak mau bersusah letih berjuang. Ini Namanya sedang halu. Berhalusinasi. Memilih bermental passenger, sudah cukup menjadikan diri sebagai anak muda palsu. Entah seperti apa nasib Indonesia, bahkan dunia kalau diserahkan pada anak muda palsu, bermental passenger itu.
Kalau mental driver, yakinlah hanya segelintir yang mau menempuh jalan itu. Sulit, penuh risiko. Meskipun begitu, pada setiap zaman, ada saja anak muda yang bersedia menjadi tumbal. Berani mengambil jalan ini, tampil ke depan menjadi driver. Kehadiran mereka adalah nafas untuk peradaban. Dunia selalu merindukan kedatangannya. Selalu ada titik-titik harapan yang mereka hadirkan. Ada saja karya yang dihasilkan, membuat dunia selalu bergairah. Jumlahnya memang tidak seberapa. Namun, peranan dan pengaruhnya, luar biasa. Karena mereka bukan anak muda palsu. Punya mental driver tidak melulu harus menjadi pemimpin dulu. Driver dan passenger itu adalah mental, bukan jabatan.
Berbicara tentang mental, sayang sungguh sayang banyak sekali dari para remaja hari ini yang tengah menderita kesehatan mental, sebagaimana dilansir oleh Tempo.co, (15-2-2025). Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut remaja yang menderita kesehatan mental sangat tinggi, yaitu mencapai 15,5 juta orang atau setara 34,9 persen dari total remaja Indonesia. Wakil Menteri Kementerian Kependudukan Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka mengatakan generasi muda saat ini memang menghadapi tantangan yang semakin kompleks, salah satunya adalah isu kesehatan mental di kalangan remaja.
Sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) bersama Yayasan BUMN melalui inisiatif Mendengar Jiwa Institute menyatakan bahwa 34 persen pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental. Tiga dari sepuluh pelajar sering menunjukkan perilaku marah dan cenderung berkelahi akibat gangguan mental emosional.
Banyaknya remaja yang terkena penyakit mental menunjukkan gagalnya negara membina generasi. Generasi emas yang digadang-gadang akan terwujud pada tahun 2045 nyaris mustahil jika kondisi ini terus dibiarkan. Negara secara sadar menerapkan sistem kapitalisme sekulerisme dan berdampak mewarnai kehidupan dalam berbagai aspek. Pendidikan sekuler misalnya, membentuk remaja berperilaku liberal yang gagal memahami jati dirinya. Remaja pun gagal memahami penyelesaian shahih atas segala persoalan kehidupannya. Maka penyakit mental tak terhindarkan.
Padahal masyarakat itu cerminan negara. Jika masyarakatnya pelaku maksiat, maka begitu pula karakter negaranya. Mengapa maksiat merajalela? Karena negara membolehkan itu. Minuman keras mudah ditemui, sebab negara memberi izin pabriknya untuk berdiri. Khamer silakan diproduksi, asal membayar retribusi. Orang berzina di mana-mana. Dan ini adalah kebejatan luar biasa. Mengapa bisa begitu? Lagi-lagi negara. Pasti ada peraturan pemerintah yang membolehkan tempat perzinaan beroperasi. Dan jika banyak remaja yang berperilaku menyimpang maka sudah pasti negara yang membentuk itu semua dengan penerapan sistem kapitalisme sekulerisme.
Berbeda dengan Islam. Kepemimpinan Islam memiliki tanggung jawab untuk melahirkan generasi cemerlang yang berkualitas, melalui penerapan berbagai sistem kehidupan sesuai dengan syariat Islam. Islam mewajibkan negara membangun sistem pendidikan yang berasas akidah Islam. Negara juga wajib menyiapkan orang tua dan masyarakat untuk mendukung proses pembentukan generasi pembangun peradaban Islam yang mulia, yang bermental kuat. Negara akan menetapkan kebijakan untuk menjauhkan remaja dari segala pemikiran yang bertentangan dengan Islam, yang menyebabkan remaja blunder dengan persoalan hidupnya.
Kenapa negara begitu gigih menyiapkan generasinya, mengawal para anak mudanya? Karena Anak muda adalah tiangnya peradaban. Tanpa mereka suatu peradaban tak akan terwujud. Bila anak muda lemah, maka peradaban akan runtuh. Jika para nabi utusan Allah ﷻ adalah peletak dasar suatu peradaban, maka perhatikan saja di sekitaran para nabi pasti dipenuhi anak muda. Nabi Muhammad ﷺ, beliau dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang muda. Mereka dengan cermat mengamati setiap gerak-gerik Rasulullah. Coba perhatikan jalur hadis, rata-rata hadis yang sampai pada manusia hari ini perawinya adalah anak muda. Hadis yang telah menjadi inspirasi dan energi untuk para pejuang peradaban Islam. Hasilnya begitu nyata, 14 abad Islam tegak memimpin dunia.
Wahai anak muda, bangkitlah detik ini juga. Perbaiki Indonesia. Semua solusi sudah ada di dalam Islam. Tinggal butuh perjuangan untuk menerapkannya. Kasihanlah pada ibu pertiwi, yang langkahnya sudah lama tertatih. Wallahualam bissawab.
0 Komentar