
Oleh: Tety Kurniawati
Aktivis Dakwah dan Pemerhati Generasi
Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyatakan pemangkasan anggaran yang dilakukan secara sembrono dan serampangan berisiko besar terhadap kinerja kementerian dan lembaga negara.
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan efisiensi anggaran dalam tiga tahap dengan total penghematan mencapai Rp750 triliun. Saat ini, tahap pertama telah menghemat Rp300 triliun dan tahap kedua direncanakan sebesar Rp308 triliun. "Namun, realitas di lapangan menunjukkan kebijakan ini telah menimbulkan kekacauan, terutama dalam penyelenggaraan layanan publik," ucap Achmad (metrotv.com, 16-02-2025).
Kebijakan yang Tak Berpihak pada Rakyat
Kebijakan efisiensi anggaran tengah menjadi pembicaraan hangat diranah publik. Keberadaannya yang banyak menyasar alokasi anggaran untuk rakyat, membuat tensi keresahan masyarakat pun meningkat. Kekhawatiran ini sangat beralasan. Mengingat efisiensi anggaran pasti berdampak pada penurunan kinerja kementerian dan lembaga. Pada giliran berikutnya, kualitas penyelenggaraan pelayanan publik pun terkena imbasnya.
Berbagai program kegiatan berpotensi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Subsidi maupun bantuan langsung memungkinkan berkurang besaran nominalnya, bahkan dihentikan keberadaannya. Pelayanan publik yang bersifat mandatori seperti layanan pendidikan dan kesehatan pun dipastikan tidak berjalan optimal.
Meski diklaim bahwasanya efisiensi anggaran dilakukan untuk menutup kebutuhan anggaran beberapa program khususnya MBG. Pada prakteknya penerapan MBG justru tidak pernah sepi dari masalah. Mulai dari kendala logistik, biaya hingga keamanan pangan. Maka bisa diprediksi, kebijakan efisiensi berpeluang gagal menyelesaikan persoalan.
Efisiensi juga menunjukkan ketiadaan pemikiran yang matang dalam penyusunannya. Hal ini dapat terlihat dari tidak tepatnya pemangkasan anggaran dilingkup kementerian dan lembaga. Seperti, anggaran kemenhan untuk alusista. Kian menjadi bukti nyata, bahwa keberpihakan kebijakan bukan ditujukan pada rakyat.
Kapitalisme Melahirkan Kebijakan Anti Rakyat
Kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat (anti rakyat), sejatinya merupakan buah dari penerapan sistem Kapitalisme. Sistem ini berorientasi pada pencapaian materi. Wajar jika pengurusan urusan rakyat dalam bentuk kebijakan pun tidak lepas dari memperoleh sebesar-besarnya keuntungan sebagai motivasi tindakannya.
Sekulerisme yang menjadi azas sistem kapitalisme. Mengeliminir fungsi agama dalam mengatur kehidupan. Akibatnya pengaturan kehidupan bernegara didasarkan atas kemaslahatan duniawi semata. Karakter pemimpin yang lahir dari sistem ini pun cenderung populis otoritarian. Secara fisik terlihat seolah melayani kepentingan rakyat, padahal hakikatnya memastikan kepentingan oligarki tetap terawat. Alhasil, keberadaan korporatokrasi kian menguat seiring lahirnya kebijakan anti rakyat.
Pengaturan Anggaran dalam Islam
Islam dengan mekanisme yang sempurna menetapkan bahwa sumber pendapatan negara tidaklah bergantung pada utang dan pajak. Sumber pendanaan ditopang oleh sistem ekonomi Islam yang kuat. Sumber-sumber pemasukan negara dari sektor kepemilikan umum, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam akan lebih dari cukup untuk menutup kebutuhan alokasi anggaran bagi terjaminnya kualitas pelayanan publik yang optimal.
Dilain sisi, negara wajib memastikan sistem pendidikan yang diterapkan dibangun dengan berazaskan akidah Islam. Lahirlah atasnya sistem kepemimpinan Islam yang menjadikan penguasa sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (penjaga) untuk seluruh rakyat. Keberadaannya bertugas menerapkan syariah Islam Kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Profil kepemimpinan Islam (Khalifah) mempunyai kepribadian pemimpin yang kuat dan berintegritas. Paham cara mengurus dan memberi solusi atas permasalahan rakyat. Sekaligus mampu berperan sebagai hakim yang memutuskan segala perkara dengan adil dan bijaksana sesuai ketentuan syariat. Tingkat ketakwaan penguasa tinggi, hingga mampu menjadi sosok teladan.
Wajar jika dalam menjalankan kehidupan politik, para penguasa selalu memberikan nasihat pentingnya menjaga ketakwaan, seraya berupaya menjauhkan diri dari melakukan kedholiman terhadap rakyat. Berupaya sebaik mungkin memenuhi hak dan kebutuhan masyarakat. Juga menjadikan syariat Islam sebagai pedoman dalam membuat tiap kebijakan. Termasuk alokasi anggaran akan dilaksanakan penuh tanggung jawab dan perencanaan yang matang. Sebab Islam menetapkan jabatan adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan.
Syariah Islam kaffah yang diterapkan penguasa atas dasar takwa. Tak sekedar menjadi tuntunan dan solusi tiap masalah kehidupan. Tapi hadirnya menjamin keberkahan dan kesejahteraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mereka tidak berani berkhianat atas amanahnya mengurus kebutuhan rakyatnya. Apalagi membuat kebijakan bermasalah yang berpotensi membuat rakyat susah.
Wallahu 'alam bishawwab.
0 Komentar