FENOMENA "KABUR AJA DULU" DAN KRISIS KEADILAN DI INDONESIA


Oleh: Darul Iaz
Penulis Lepas

Data survei kepuasan publik terhadap figur politik seperti Prabowo dan Gibran yang mencapai 80%, bahkan pernah menyentuh 82% di era Jokowi, seolah menciptakan gambaran optimis tentang kepemimpinan dan kebijakan pemerintah. Namun, di balik angka-angka tersebut, terdapat realitas yang lebih kompleks dan mengkhawatirkan. Fenomena "Kabur Aja Dulu" yang semakin populer di kalangan masyarakat, terutama generasi muda, menjadi indikator kuat bahwa kepuasan yang terukur dalam survei tidak sepenuhnya mencerminkan kebahagiaan atau kesejahteraan rakyat.


Kesenjangan antara Data dan Realitas

Survei kepuasan sering kali dijadikan alat legitimasi oleh pemerintah dan politisi untuk menunjukkan keberhasilan kebijakan mereka. Namun, data kualitatif dan pengalaman sehari-hari masyarakat justru mengungkap ketidakpuasan yang mendalam. Banyak warga, terutama mereka yang vokal dan kritis, merasa terancam, tidak didengar, dan bahkan dipersulit dalam mencari peluang. Ancaman, intimidasi, dan ketidakadilan sistemik menjadi alasan utama mengapa banyak orang mempertimbangkan untuk "kabur" dari Indonesia.

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada mereka yang merasa terancam secara fisik atau politik, tetapi juga pada mereka yang frustasi dengan ketidakadilan sosial dan ekonomi. Contoh kasus, korupsi besar-besaran yang hanya dihukum ringan, sementara kasus kecil seperti pencurian kayu oleh nenek-nenek dihukum berat, menjadi bukti nyata ketimpangan sistem hukum. Ketidakadilan ini menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara dan memicu keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri.


Kualitas Hidup vs. Keadilan

Meskipun kualitas hidup di Indonesia masih bisa ditoleransi oleh sebagian besar masyarakat, ketidakadilan menjadi masalah yang jauh lebih mendasar dan sulit diabaikan. Keadilan adalah fondasi utama yang memungkinkan masyarakat merasa aman dan terlindungi. Tanpa keadilan, kualitas hidup yang baik pun tidak akan mampu menahan gelombang ketidakpuasan.

Contoh nyata adalah kegagalan proyek digitalisasi surat tanah yang menghabiskan anggaran triliunan rupiah, tetapi hasilnya tidak memadai. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya sistem birokrasi dan teknologi di Indonesia. Ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan layanan dasar yang adil dan transparan semakin memperparah ketidakpercayaan publik.


Brain Drain: Pilihan atau Keterpaksaan?

Fenomena brain drain, atau migrasi orang-orang terbaik Indonesia ke luar negeri, sering kali dianggap sebagai tindakan tidak nasionalis. Namun, perlu dipahami bahwa keputusan untuk "kabur" sering kali bukanlah pilihan, melainkan keterpaksaan. Banyak orang berbakat dan berpendidikan tinggi merasa tidak memiliki ruang untuk berkembang di Indonesia. Mereka dihadapkan pada sistem yang korup, birokrasi yang rumit, dan ketidakadilan yang sistemik.

Pertanyaannya bukan lagi "mengapa mereka kabur?", tetapi "apa yang bisa dilakukan untuk membuat mereka tetap tinggal?". Pemerintah perlu menyediakan platform dan kesempatan yang adil bagi semua warga negara. Tanpa solusi konkret, tudingan "tidak nasionalis" hanya akan menjadi omong kosong belaka.


Keadilan sebagai Solusi Utama

Keadilan harus menjadi prioritas utama jika Indonesia ingin menghentikan gelombang brain drain dan memulihkan kepercayaan publik. Keadilan tidak hanya tentang hukum yang adil, tetapi juga tentang akses yang setara terhadap pendidikan, lapangan kerja, dan peluang ekonomi. Tanpa keadilan, upaya untuk meningkatkan kualitas hidup akan sia-sia.

Pemerintah perlu menciptakan sistem yang transparan dan akuntabel, serta memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Proyek-proyek besar seperti digitalisasi surat tanah harus dikelola dengan baik dan diawasi secara ketat untuk menghindari pemborosan anggaran.


Kesimpulan

Fenomena "Kabur Aja Dulu" adalah cerminan dari krisis keadilan yang mendalam di Indonesia. Survei kepuasan yang tinggi tidak boleh membuat kita lengah, karena realitas di lapangan menunjukkan ketidakpuasan yang semakin meluas. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah konkret untuk memperbaiki sistem dan menciptakan keadilan sosial, maka gelombang brain drain akan terus meningkat, dan Indonesia akan kehilangan generasi terbaiknya.

Keadilan bukan hanya tentang hukum, tetapi tentang memberikan ruang dan kesempatan bagi setiap warga negara untuk berkembang. Tanpa keadilan, mimpi Indonesia sebagai negara maju akan tetap menjadi ilusi. Sudah saatnya kita berhenti berdebat tentang angka-angka survei dan mulai fokus pada solusi nyata yang dapat membawa perubahan berarti bagi rakyat Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar