BERULANG, KENAIKA HARGA JELANG RAMADAN DATANG


Oleh: Siami Rohmah
Pegiat Literasi

Ramadan sebentar lagi, tinggal hitungan hari bulan suci umat Islam ini akan datang. Selain persiapan diri menyambut puasa, umat juga harus siap-siap menekan biaya kebutuhan sehari-hari. Pasalnya harga-harga kebutuhan di pasaran kian melambung.

Kenaikan harga ini justru begitu terasa menjelang Ramadhan. Sebut saja gula pasir yang tembus Rp20.000 per kg di pasaran. Dari gula pasir ini menyumbang 1,4 persen angka inflasi. Bahkan, Badan Pangan Nasional (Bapanas) melalui Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama komisi IV DPR RI menyebutkan berbagai komoditas lain juga mengalami kenaikan, yang mana kenaikan ini melebihi Harga Acuan Pembelian (HAP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET). Komoditas yang dijual dengan harga di atas HAP dan HET antar lain MinyaKita, cabai rawit merah, cabai merah keriting dan beras medium. (kumparanBISNIS).

Naiknya harga barang menjelang Ramadan seperti sudah bisa diprediksi, karena hampir setiap tahun terjadi. Naiknya harga saat ini tentu begitu menyulitkan masyarakat. Apalagi sebelumnya sudah didahului berbagai komoditas yang mahal, seperti bawang putih, wortel, belum lagi susahnya mencari gas elpiji dengan harga yang lebih mahal.

Pusing akibat kenaikan harga tidak hanya dirasakan ibu-ibu rumah tangga, tapi juga para pedagang, khususnya pedagang makanan. Kenaikkan harga bahan masakan membuat mereka memutar otak agar tidak ikut menaikkan harga produk mereka, hal ini dilakukan untuk memastikan agar tidak berdampak pada lesunya penjualan. Belum dinaikkan saja pembeli sudah lesu, apalagi jika dinaikkan.

Kenaikan harga yang terus berulang sebenarnya menunjukkan sinyal adanya masalah pada proses pendistribusian barang. Proses distribusi yang bermasalah pasti akan berdampak pada pasokan barang, terjadilah kelangkaan, ketika barang dipasaran langka otomatis menjadi alasan naiknya harga.

Namun, alasan klise yang diberikan ketika terjadi kenaikan harga bahan pokok menelang Ramadan adalah tingginya jumlah permintaan di masyarakat. Padahal ketika mau jujur banyak faktor yang mempengaruhi kenaikan harga di tengah lesunya daya beli. Seperti problem jaminan kelangsungan produksi barang kebutuhan, problem pada rantai pasok, mulai mafia impor, kartel, monopoli, penimbunan, dan sebagainya.

Dengan berulangnya problematik yang sama tanpa problem solving, yang dirasakan masyarakat adalah berjuang sendirian. Tanpa merasakan peran dari pemerintah mereka. Hal ini menjadi hal biasa pada sebuah negara penganut kapitalisme. Di mana yang menjadi penentu justru para pemilik kapital, yaitu para korporasi. Negara akan absen dalam pengaturan rantai distribusi. Kendali akan ada pada spekulan (mafia pangan). Praktek spekulasi dan kartel pangan akan sulit dihilangkan.

Penimbunan bahan pangan yang berakibat melambungnya harga sulit ditertibkan. Tentu kita masih ingat kasus langkanya minyak goreng yang berujung naiknya harga minyak goreng, padahal Indonesia penghasil CPO (Crude Palm Oil) minyak sawit mentah terbesar. Akhirnya ditemukan adanya praktek penimbunan, sementara harga yang sudah naik susah turun. Karena para korporasi penguasa minyak telah menginginkan harga naik. Di sisi lain Negara hanya berperan sebagai regulator atau bahkan fasilitator saja.

Begitu jelasnya dominasi korporasi pada sektor pangan, tentu akan sulit atau kalau boleh dikatakan mustahil pemerintah mampu menstabilkan harga, ketika mayoritas pasokan pangan lepas dari kendali pemerintah. Bahkan, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementan pernah menyatakan kesulitan untuk pemerintah dalam menstabilkan harga karena tidak menguasai 100 persen produksi pangan, tetapi tergantung pada korporasi. (dpr.go.id).

Dalam Islam, pemerintah bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan rakyat baik kebutuhan individu (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan komunal (kesehatan, pendidikan, keamanan). Negara tidak boleh membiarkan korporasi menguasai rantai penyediaan pangan untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Negara (pemimpin) adalah pelindung yang tidak akan membiarkan rakyat berada dalam bahaya.

Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya, "Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggungjawab terhadap rakyatnya." (HR. Ahmad, Bukhari).

Dalam hadis yang lain yang artinya, "Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepada-Nya". (HR. Imam Muslim)

Dengan tanggung jawab yang dipikul negara dalam Islam bisa mengambil berbagai kebijakan. Pertama, menjaga stabilitas harga dengan menjaga stok ketersediaan, bisa dengan memaksimalkan hasil produk (intensifikasi & ekstensifikasi), ataupun bisa impor yang memenuhi syarat sesuai aturan syariat. Kedua, menjaga rantai niaga terhindar dari praktek-praktek yang berakibat pada distorsi pasar, seperti penimbunan, kartel, riba, tengkulak. Ketiga, adanya Qadli Hisbah yang bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan memastikan bahan pangan yang beredar adalah halal dan thayib.

Selain itu hal yang tak kalah penting adalah mengedukasi masyarakat agar bertakwa, taat syariat ketika bermuamalah. Sehingga tidak melakukan praktek-praktek yang melanggar syariat dan akhirnya merugikan orang lain.

Umar bin Khattab r.a. pernah mengatakan, "Jangan berjual beli di pasar, kecuali orang yang berilmu. Apabila tidak, ia akan makan riba, baik sengaja atau tidak."

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar