PENGUASA BAYANGAN: OLIGARKI DI BALIK KASUS PAGAR LAUT TANGERANG


Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat

Polemik terkait kasus Pagar Laut di Tangerang menjadi perhatian nasional. Kasus ini mencuat setelah pembongkaran pagar laut yang dilakukan oleh pihak TNI AL memicu berbagai pertanyaan, terutama soal siapa yang sebenarnya memberikan perintah tersebut. Pembongkaran ini dilakukan di atas tanah sengketa yang diklaim sebagai milik masyarakat, namun dalam praktiknya, Hak Guna Bangunan (HGB) atas kawasan tersebut telah dikuasai pihak swasta. Beberapa pihak menuding pembongkaran ini menghilangkan barang bukti yang seharusnya dipertahankan, menimbulkan kecurigaan akan adanya intervensi dari pihak tertentu. TB Hasanuddin, salah seorang tokoh yang vokal, menyebut tindakan itu sebagai langkah yang tidak wajar dan berpotensi melanggar hukum (Tribunnews, 18 Januari 2025).

Hak Guna Bangunan (HGB) yang diberikan kepada pihak swasta untuk mengelola area laut tersebut juga menjadi isu krusial. Kawasan yang seharusnya menjadi milik umum justru dialihfungsikan menjadi milik pribadi atau korporasi. Keputusan ini memunculkan spekulasi bahwa ada upaya sistematis untuk mengamankan kepentingan pihak kapitalis dengan mengorbankan hak rakyat. Ketidakjelasan dalam proses hukum terkait kepemilikan lahan semakin menguatkan asumsi bahwa kekuatan oligarki bermain di balik kasus ini.

Lebih jauh, sengketa ini menyoroti lemahnya pengawasan negara dalam menjaga kepemilikan umum dan menegakkan aturan hukum. Ketika publik menunggu langkah tegas dari pemerintah, simpang siur informasi justru menciptakan ketidakpastian dan ketidakpercayaan terhadap otoritas negara. Fakta ini menunjukkan bagaimana negara sering kali kalah oleh tekanan dari pihak-pihak berkepentingan yang memiliki kuasa ekonomi.


Kapitalisme: Negara Tunduk pada Kapital

Kasus pagar laut di Tangerang menggambarkan bagaimana kapitalisme memberikan ruang besar bagi segelintir pihak untuk menguasai sumber daya yang seharusnya menjadi milik publik. Dalam kapitalisme, kebebasan kepemilikan menjadi pilar utama, di mana individu atau korporasi dapat memiliki akses hampir tanpa batas terhadap aset strategis seperti tanah, laut, atau sumber daya alam lainnya. Sayangnya, kebebasan ini sering kali tidak dibarengi dengan tanggung jawab sosial, sehingga aset publik menjadi alat eksploitasi demi kepentingan segelintir pihak, sementara rakyat harus menanggung akibatnya.

Sistem ini juga mendorong terciptanya oligarki, di mana segelintir elite ekonomi memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan negara. Akibatnya, pemerintah yang semestinya bertindak sebagai pelindung rakyat justru berperan sebagai regulator yang bekerja sesuai arahan para kapitalis. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam pengelolaan kekayaan negara, karena kebijakan yang diambil lebih sering berpihak pada kepentingan korporasi dibandingkan dengan kesejahteraan rakyat. Polemik pagar laut menjadi bukti bahwa negara lebih sering tunduk pada tekanan kapital dibandingkan melindungi aset rakyat.

Selain itu, kapitalisme memandang sumber daya alam sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, bukan sebagai amanah yang harus dikelola untuk kesejahteraan bersama. Dalam sistem ini, pemilik modal besar memiliki kemampuan untuk membeli dan menguasai aset strategis, tanpa memperhatikan dampak sosial yang ditimbulkannya. Ketimpangan ini semakin parah karena hukum sering kali dapat dimanipulasi untuk melindungi kepentingan korporasi. Pada akhirnya, rakyat kecil menjadi pihak yang paling dirugikan, kehilangan akses terhadap sumber daya yang semestinya mereka miliki.

Kapitalisme juga menciptakan ketergantungan negara terhadap korporasi besar. Dalam situasi ini, negara kehilangan kedaulatan untuk mengambil keputusan yang murni berdasarkan kepentingan rakyat. Sebaliknya, negara cenderung mengikuti kepentingan para kapitalis, baik dalam hal investasi, regulasi, maupun pengelolaan sumber daya. Kasus seperti pagar laut menunjukkan bahwa kebijakan negara sering kali dirancang untuk melayani kepentingan elit ekonomi, bukan rakyat secara keseluruhan. Kondisi ini menjadikan rakyat hanya sebagai penonton, sementara kekayaan negara dikuasai oleh segelintir pihak.

Dengan dominasi kapitalisme, hukum pun kehilangan kekuatan untuk menegakkan keadilan. Dalam banyak kasus, hukum lebih sering berpihak pada pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan akses terhadap kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme tidak mampu menciptakan keadilan yang sejati. Sebaliknya, sistem ini terus melanggengkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya. Oleh karena itu, solusi nyata haruslah datang dari sistem yang mampu menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya, bukan sistem yang tunduk pada kepentingan kapital.


Islam sebagai Solusi: Kepemilikan Umum yang Dilindungi

Islam menawarkan solusi yang berbeda dalam pengelolaan sumber daya alam dan aset publik. Dalam pandangan Islam, laut, sungai, hutan, dan segala sumber daya yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat adalah milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi. Negara bertanggung jawab penuh untuk mengelola aset-aset tersebut demi kepentingan rakyat.

Prinsip ini didasarkan pada hadis Rasulullah ﷺ:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud).

Konsep kepemilikan umum dalam Islam memastikan bahwa tidak ada satu pihak pun yang dapat menguasai atau mengeksploitasi sumber daya yang seharusnya dinikmati oleh semua orang. Negara berperan sebagai pengelola yang bertanggung jawab memastikan distribusi hasil pengelolaan tersebut merata dan adil.

Selain itu, dalam sistem Islam, pelanggaran terhadap hukum terkait kepemilikan umum dianggap sebagai kemaksiatan yang memiliki sanksi tegas. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya eksploitasi yang merugikan masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme yang cenderung melindungi kepentingan korporasi, Islam menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya.

Pada masa kejayaan Islam, banyak contoh pengelolaan sumber daya yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, mengelola tanah pertanian dengan adil dan memastikan hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Tidak ada satu pun sumber daya milik umum yang dikuasai oleh individu, sehingga rakyat dapat menikmati hasilnya secara langsung.

Jika sistem ini diterapkan, kasus seperti Pagar Laut tidak akan terjadi. Negara akan memiliki kedaulatan penuh untuk memastikan bahwa aset publik tidak jatuh ke tangan korporasi. Selain itu, hukum Islam yang tegas akan memberikan efek jera kepada pihak-pihak yang mencoba melanggar aturan.


Khatimah

Kasus Pagar Laut menjadi gambaran nyata bagaimana kapitalisme telah menjadikan negara tidak berdaya dalam melindungi aset-aset publik. Kepentingan rakyat dikesampingkan demi keuntungan segelintir pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik.

Islam menawarkan solusi melalui sistem Khilafah, yang menjamin pengelolaan aset publik secara adil dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Dengan menerapkan syariat Islam, negara akan memiliki kedaulatan penuh untuk melindungi kepemilikan umum dan memastikan distribusinya merata kepada seluruh rakyat.

Saatnya umat menyadari bahwa solusi hakiki hanya bisa dicapai dengan meninggalkan sistem kapitalisme dan kembali pada syariat Islam yang sempurna.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Posting Komentar

0 Komentar